NUSANTARANEWS.CO – Smartphone berdampak pada penurunan kesehatan mental remaja? Penggunaan teknologi dan masalah kesejahteraan kini menjadi hal penting mengingat semakin banyaknya remaja yang menderita dan mengalami depresi. Meskipun sulit untuk menentukan penyebab tren ini, namun sulit memikirkan faktor lain yang berdampak besar terhadap kehidupan remaja dalam dua dekade belakangan ini – selain ponsel cerdas dan media digital.
Smartphone saat ini sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat di seluruh belahan dunia. Keberadaannya sangat menjamur dengan berbagai merk yang di produksi di berbagai negara. Kecangihan demi kecanggihan semakin dipamerkan untuk menarik minat masyarakat.
Sebut saja salah satu produk yang paling diminati yaitu Apple. Pada tahun 2015, Aplle diketahui menjual 61 juta iPhone hanya dalam waktu tiga bulan saja. Jumlah ini hampir mencapai jumlah seluruh penduduk Inggris.
Smartphone seperti racun dan menguasai diri kita, namun mungkin kita sebagai pengguna tidak menyadari hal tersebut. Justru menjadikan diri kita semakin menjadi-jadi dan tidak dapat melepaskan diri dari smartphone selama beberapa waktu saja.
The Independent memberitakan sebuah temuan dari penelitian yang di lakukan di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini bahwa 75% remaja memiliki iPhone. Jumlah tersebut diketahui terus saja melonjak sejak taun 2007. Ironisnya pelonjakan jumlah kepemilikan iPhone pada remaja tersebut justru dibarengi dengan tingkat kesejahteraan mental yang semakin mengkhawatirkan.
Jean M Twenge mengemukakan bahwa jumlah remaja yang normalnya mereka berada dalam masa di mana berkumpul dengan teman-temannya dan menghabiskan waktu menurun jauh. Penurunan dari minat berkumpul, menikmati waktu remaja dengan teman-temannya menunjukkan angka 40% di hitung dari kurun 2000-2015. Sehingga mereka memiliki resiko merasakan kesepian yang lebih tinggi.
Bukan hanya persoalan dalam bergaul dan perhatian terhadap kehidupan sosial, hal ini terjadi pada orang dewasa di mana smartphone merebut kehidupan seks mereka, tidur dan mengakibatkan tidak tenang (fokus) saat berkendara. Tentu ini adalah hal yang membahayakan.
Kini muncul sebuah pertanyaan apakah remaja sekarang kurang mandiri dari generasi sebelumnya?
Secara umum penelitian ini menjawab bahwa penggunaan smartphon dengan segala aplikasi dan fiturenya menyebabkan kecanduan, tidak dapat dikontrol dan tidak berkembangnya penilaian atau kemampuan impulsii remaja. Hal yang kerap dilihat pada remaja pecandu smartphone adalah masalah kesehatan mental yang meningkat.
Beberapa akun media sosial didesain untuk dapat membagikan segala informasi diri baik melalui foto, tulisan di beranda serta caption, dan video. Ini menjadi banyak digemari masyarakat dan kalangan remaja tentunya. Tidak ada yang menyoroti bahaya yang ada di baliknya bahkan kita mungkin tidak menyadarinya sama sekali.
Beberapa penelitian lain juga belakangan mengungkapkan bahwa mengunggah foto di media sosial dapat menjadi gejala depresi.
Ini barulah hal yang mengerikan dari penggunaan smartphone oleh remaja. Di negara kita, orang tua bahkan banyak yang membiarkan anak-anak balita mereka terkungkung dalam dunia gadget.
Menurut Centers for Disease Control (CDC), dari 2009 hingga 2017, tingkat depresi di kalangan remaja berusia 14 hingga 17 di Amerika Serikat (AS) melonjak lebih dari 60%. Nah, sama halnya dengan masalah kesehatan masyarakat terkait “rokok”. Jika harus menunggu bukti “eksperimental mutlak bahwa rokok menyebabkan kanker paru-paru”, maka para pendukung mungkin masih harus menunggu untuk mengambil tindakan.
Jadi, apa yang harus dilakukan orang tua Gen X yang khawatir tentang penggunaan teknologi bagi anak-anak tanpa menghalangi kemajuan.
Kabar baiknya, solusinya cukup mudah. Pertama, tidak ada ponsel atau tablet di kamar tidur pada malam hari. Jika Anda menggunakan ponsel Anda sebagai jam alarm, belilah jam alarm yang sebenarnya. (Jika Anda harus menggunakan tablet, matikan semua pemberitahuan.)
Kedua, tidak menggunakan perangkat dalam waktu satu jam sebelum tidur. Hampir semua yang kita lakukan pada mereka merangsang secara psikologis, dan cahaya biru mereka dapat mengganggu tidur. Kurang tidur merupakan faktor risiko utama depresi.
Ketiga, batasi waktu perangkat menjadi kurang dari dua jam di waktu luang. Apa salahnya membatasi (bukan menghilangkan) penggunaan perangkat elektronik? Tidak ada ruginya bukan? (Alya)