Politik

Pancasila dan Himpitan Paham Kutub Besar Dunia

Sekretaris Jendral PB PMII Abdul Haris Wally/Istimewa
Sekretaris Jendral PB PMII Abdul Haris Wally/Istimewa

NUSANTARANEWS.CO – Pancasila dan Himpitan Paham Kutub Besar Dunia. Reformasi yang digulirkan 18 tahun lalu tentu menjadi harapan segenap rakyat untuk ada perubahan kesejahteraan. Proses transformasi sosial masyarakat pasca Reformasi harus berlangsung dan berjalan secara dinamis sebagai agenda pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan falsafah kebangsaan yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI di tengah-tengah himpitan ideologi besar yang merusak pondasi Falsafah Negara dan Bangsa.

Traumatik akan kekerasan empistem yang terjadi di masyarakat,terutama dalam menjalankan instrumen kebijakan politik, negara di bawah penguasa menekankan pandangan falsafah atau ideologi kenegaraan yaitu, Pancasila. Pancasila sebagai manifestasi sosio-kultur-ekonomi masyarakat Nusantara diterapkan secara kaku oleh penguasa dan dijadikan sebagai alat konsolidasi kolektif yang semu untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan berbagai bentuk teror individu dan bentuk pengawasan atau kritik dianggap sebagai oposisi dan penganggu pembangunan ekonomi maka dicap sebagai “partai terlarang”. Tentu hal tersebut saat ini tidak dikehendaki lagi oleh masyarakat Pancasila tidak lah kaku dan menjadi alat politik pelangenggan kekuasaan dalam pelaksanaan nilai-nilainya di era pasca reformasi sekarang.

Baca Juga:  Cagub Luluk Siapkan Pengembangan Pendidikan Pesantren Berkualitas di Jatim

Pancasila Lahir dalam pidato 1 Juni 1945 oleh Ir. Soekarno bukan untuk menciptakan kelas sosial tersendiri, tetapi sebagai proses refleksi panjang akan nilai sosio-kultur Masyarakat Nusantara yang telah berlangsung sejak ratusan tahun adalah buah manifestasi rumusan nilai kebangsaan menuju jembatan emas falsafah Negara.

Sebagai Generasi Muda Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentu sangat memahami akan nilai-nilai yang diwariskan oleh para founding fathers Bangsa, terutama Pancasila. Kita adalah pewaris dan pencetak sejarah masa depan Bangsa ini. Sejarah adalah bentangan waktu masa lampau sebagai media refleksi. Dengan menarik ingatan kebelakang yang terus diungkit menurut kami tentu akan melukai perasaan rakyat dan mengajak kepada traumatik kekerasan fisik dan epistem masa-masa lampau, seperti Simposium Forum Tragedi 65 yang dilaksanakan di hotel mewah Jakarta pada bulan April; mendorong pemerintah untuk mengungkap kejahatan kemanusian dengan membongkar kuburan masal. Kemudian muncul Forum Anti PKI bertepatan dengan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila; untuk mengalang opini bahaya Komunisme Gaya Baru.

Baca Juga:  Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Dukung Cagub Risma di Pilgub Jatim

Dalam pemahaman analisis kami tentang dua kegiatan pro dan kontra tersebut, tentu membuka proses traumatik kekerasan fisik dan epistem yang mengarah pada adu domba masyarakat oleh kekuatan besar di luar bangsa Indonesia dan kita sekali lagi tidak belajar dari sejarah kelam tersebut. Apalagi kegiatan tersebut dilakukan dengan mencatut elemen organisasi masyarakat tanpa konfirmasi kepada pimpinan organisasi tersebut.

Saat ini PKI adalah hantu tidak berbentuk yang tidak jelas wujudnya,namun juga harus diwaspadai gerakan paham politiknya sebagai ancaman proses kebangsaan. Walau pun ada beberapa pihak yang memenfaatkan situasi ini untuk kepentingan kelompok tertentu. Tetapi di sisi lain ada keterjebakan bangsa Indonesia yang mengalami degradasi moral, krisis kepercayaan diri dan dihadapkan oleh dua kutub besar dunia saat ini fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar bebas. Kutub Fundamentalis agama saat ini sudah terang-terangan menampakan wujudnya di masyarakat seperti Jemaah Ansharut Tauhid, NII, ISIS,Hizbut Tahir Indonesia (HTI) yang mendeklrasikan Negara Khilafah Islamiyah di wilayah NKRI, dan sangat bertentangan dengan Pancasila dan simbol-simbol negara lainnya.

Baca Juga:  Ziarah Sunan Ampel dan Sunan Giri, Cagub Risma Dicurhati Tukang Ojek

Namun, organisasi tersebut seperti HTI dibiarkan berkembang di Indonesia dengan mendirikan yayasan pendidikan dan pusat pembelajaran, bahkan di beberapa tempat kegiatannya menggunakan fasilitas negara seperti stadion, aula kampus serta fasilitas publik lainnya dan menjadi lebih parah adalah adanya alat negara masuk ke dalam nya seperti PNS, dosen, guru dan pejabat birokrasi sipil-militer negara. Di sini kami menuntut kepada pihak terkait di bawah kordinasi Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk bertindak tegas dan hadir untuk menertibkan organisasi-organisasi yang bertentangan dengan falsafah negara yaitu Pancasila dan simbol negara yaitu bendera Merah Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. (Penulis Abdul Haris Wally, Sekretaris Jendral PB PMII)

Related Posts

1 of 3,050