KolomOpini

Islam dan Kebhinnekaan

Islam dan Kebhinnekaan. Islam agama suci lagi samawi. Turun dari Rabbi disebarkan Nabi, Petunjuk hidup agar tak rugi. Sebab nanti tak mungkin lagi merubah diri.

Pluralitas atau perbedaan dari berbagai aspek merupakan kenyataan yang harus diterima. Bukan karena Tuhan tidak bisa menciptakaan manusia dalam satu suku, agama, bahasa, warna kulit, dan pikiran. Itu sangat mudah bagi Tuhan. Tuhan justru ingin menunjukkan kekuasaan-Nya dengan menciptakan keberagaman itu. Tujuannya agar manusia menyadari, terkagum-kagum; betapa indah Sang Pencipta, betapa besar Allah ta’ala, dan betapa penyayangnya Tuhan kepada kita. Keberagaman hasil ciptaan Tuhan punya maksud agar kita saling mengenal. Mula-mula Tuhan menciptakan kita dari pasangan laki-laki dan perempuan, lalu kita terlahir menjadi anak laki-laki dan perempuan yang banyak. Lantas, Tuhan menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kita saling berinteraksi, menganal satu dengan yang lainnya.

Konsekuensi dari keberagaman itu antara lain adalah tradisi dan budaya yang beraneka dan banyak jumlahnya. Adapun Islam, ia hadir sebagai agama yang melindungi budaya-budaya dan tradisi-tradisi yang baik itu. Dalam pandangan yang lebih fair, Islam bahkan mengadopsi budaya tertentu untuk dijadikan sebagai kebudayaan Islam—biasanya sebagai alat mengislamkan komunitas tertentu, atau tetap menjadi budaya setempat sementara Islam menghormatinya. Bukan karena Islam tidak sempurna. Bukan pula karena Islam hanya soal ibadah (dalam arti khusus) saja. Hal demikian merupakan bukti bahwa Islam bukan Arab, dan Arab bukan bukan pula Islam. Islam hanya petunjuk, pedoman hidup, agama yang mengapresiasi budaya, yang memuliakan akal manusia, membebaskan manusia dari kejahiliyahan ke puncak peradaban, dan suci bersumber dari Tuhan.

Hanya saja, budaya dan tradisi tidak semuanya baik. Beberapa tradisi dan budaya justru merendahkan martabat manusia. Terkadang budaya dan tradisi tertentu bahkan menjadikan manusia lebih rendah dari hewan. Tanpa menyebut budaya-budaya dan tradisi-tradisi apa saja, manusia punya akal yang mampu menalar hal tersebut. Dalam Islam, al-Quran dan sunnah adalah tolak ukur benar tidaknya atau baik buruknya segala sesuatu. Dengan dua tolak ukur ini serta pertimbangan akal budi manusialah suatu tradisi dan budaya nantinya dinilai, apakah dapat diterima (dipertahankan) atau justru ditolak (ditinggalkan).

Baca Juga:  Dampak Budaya Pop Pada Ekosistem Ekonomi Kreatif

Kembali ke persoalan keberagaman, Islam sebagai agama juga merupakan satu identitas sementara Kristen, Hindu, dan agama lainnya merupakan identitas yang berbeda. Dengan kata lain, Islam juga hadir menjadi warna lain yang menjadikan pelangi kehidupan terlihat mempesona. Paling tidak, demikianlah umat agama lain memandang Islam. Layaknya suatu agama, Islampun kerap dianggap sebagai penghambat kemajuan bahkan persatuan. Pandangan demikian, selain keliru, juga cenderung ingin meninggikan satu cara pandang tertentu di atas Islam. Sebut saja pluralisme yang meyakini kita adalah sama (secara terpaksa) dan tersesat di antara pertanyaan-pertanyaan mendasar, lantas mengapa harus Islam jika agama lain sama saja?

Perbedaan atau keberagaman sebagai given (pemberian Tuhan), mesti dipahami sebagai alasan mengapa kita harus bersatu. Karena setelah menyatakan bahwa kita memang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, Tuhan secara tegas menyebutkan tujuan keberagaman itu. Allah meminta kita untuk saling kenal. Di ayat yang berbeda, Tuhan bahkan mewajibkan kita untuk menjadi satu kesatuan ummat yang bersatu dalam menyeru kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Di sini berarti Tuhan juga menciptakan peluang bahwa perbedaan tidak selalu harus dipisahkan, justru sedapat mungkin untuk disatukan. Seperti Indonesia, berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Baca Juga:  Kisah Pilu Penganiayaan Warga Pinrang versus Pencemaran Nama Baik

Namun ada yang keliru dari konsep penyatuan, yaitu penyamaan yang dipaksakan. Agama lain dipaksa masuk Islam – padahal la ikraha fi al-din, lantas Islam juga dipaksa untuk ikut millah agama atau paham yang lain. Allah pernah memberi pernyataan keras terkait hal ini, bahwa jika Dia menghendaki maka semua ummat akan beriman dan menyembah-Nya. Namun, Tuhan tidak menghendaki itu agar nabi Muhammad dan kita tahu posisi dan berdakwah sesuai kapasitas kita masing-masing. Tidak ada yang boleh menyerobot hak Tuhan jika Tuhan tidak memberikan hak itu. Ya, sesungguhnya kita hanya menyampaikan petunjuk, sampai tidaknya, diterima tidaknya, maka tidak ada kewenanggan kita memaksa orang lain.

Kemudian, ada pula anggapan bahwa setiap pemberian (given) harus dijaga dan dipertahankan. Pandangan demikian tidak sepenuhnya benar. Pemberian terkadang punya maksud agar kita mengubahnya. Sebut saja orientasi seks – sebagian negara telah melegalkannya, pemberian seperti ini harus dinormalkan kembali; bahwa perempuan harus suka laki-laki dan laki-laki harus suka perempuan. Mempertahankan given ini justru mengundang musibah karena Allah jelas melarangnya. Contoh besar pernah terjadi di masa Nabi Luth ‘alaihi al-salam, di mana kaumnya diberi azab karena homo seks.

Singkatnya, pemberian terkadang bagaikan penyakit yang kita disuruh untuk berusaha mengobatinya. Mungkin analoginya kurang tepat karena alasan bahwa penyakit tidak tergolong kepada given, sebab manusia bisa menciptakan sakit itu sendiri. Namun dapat dibantah bahwa setiap yang diusahakan manusia sejatinya juga pemberian Tuhan. Lagi pula, sakit juga bukan sesuatu yang diminta oleh manusia, sementara Tuhan memberinya. Jadi, keberagaman seperti ini tidak tergolong kepada keberagaman yang patut diapresiasi, bahkan mesti dibasmi.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Lanjut dari pada itu, keberagaman punya ruang tersendiri dan tidak boleh masuk di segala ruang. Hanya di beberapa aspek kehidupan saja manusia bisa beragam bahkan menciptakan keberagamannya sendiri. Misalnya men-design rumah, berpakaian asal menutup aurat, metode belajar kreatif, dan sangat banyak keberagaman lainnya. Adapun shalat, zakat, puasa, membaca al-Quran, dan lainnya, merupakan contoh amalan yang memiliki aspek khusus, yang tidak boleh diada-adakan, dan mesti mengikuti praktek Nabi. Hal ini karena kita tidak punya wewenang bahkan tidak tahu motif pensyariatannya. Meskipun kita dapat menggali hikmah-hikmah tertentu, namun mengapa tiga rakaat, mengapa 100 kali jilid, mengapa harus ada ruku, harus sujud, dan sebaginya, tidak diketahui persis alasannya. Melaksanakannya hanya karena ketaatan iman semata.

Dapat disimpulkan bahwa, di satu sisi Islam menghormati perbedaan, namun di sisi lain, Islam juga harus seragam. Tidak hanya Islam, agama-agama lain tentu harus punya kesamaan di mana pemeluknya tidak diberi kewenangan menciptakan perbedaan yang merusak kesucian agamanya. Biasanya yang seragam itu adalah persoalan ibadah-ibadah mahdhah saja. Pun demikian, harus pula dipahami bahwa satu amalan belum tentu mahdhah keseluruhannya. Membaca al-Quran tidak khusus dari sisi waktu, kita bisa membaca kapan saja. Al-Quran yang dipakai juga tidak mesti jilidan kertas yang tebal, boleh pakai Quran digital. Namun, membaacanya dengan kaidah tajwid dan langgam Arab yang disepakati adalah keharusan yang tidak bisa diganti dengan cara lain. Apa pun alasannya, terlebih dengan alasan menusantarakan Islam agar lebih sesuai dengan kondisi ke-Indonesiaan.

Penulis: Khairil Akbar, adalah mahasiswa program pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan merupakan aktifis Pemuda Muhammadiyah Aceh.

Related Posts

1 of 11