NUSANTARANEWS.CO – Dahsyat! 5 Ketua Umum Partai Politik Ini Terjerat Kasus Korupsi. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan butuh pemberantasan yang luar biasa pula. Koruptor merugikan keuangan negara, melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat, dan menghambat pembangunan negara.
Pemberantasan korupsi mulai marak semenjak bergulirnya era reformasi. Banyak pejabat negara, politisi dan pengusaha menjadi pesakitan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Ketua Umum Partai Politik yang seharusnya menjadi corong aspirasi masyarakat malah melakukan tindak pidana korupsi.
Adapun Ketua Umum Partai Politik yang pernah menjadi tersangka kasus korupsi, antara lain:
- Akbar Tanjung (AT)
AT merupakan Ketua Umum Partai Golkar periode 1998-2004. Ia dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung atas kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar semasa menjadi Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Habibie. Pada 4 September 2002, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memvonis 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp 10 juta.
Tidak terima dengan putusan tersebut, AT mengajukan Banding. Namun Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta malah menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Selanjutnya AT mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di tingkat Kasasi inilah, AT divonis bebas.
Saat berstatus tersangka dan terdakwa, AT tidak mau mengundurkan diri dari Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar bahkan ia sukses menjadikan Partai Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif tahun 2004.
- Anas Urbaningrum (AU)
AU menjabat Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-2015. Ia terpaksa mengundurkan diri pasca KPK menetapkannya sebagai tersangka pada 22 Februari 2013 atas kasus korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor.
Pengadilan Tipikor Jakarta mengganjar AU dengan 8 tahun penjara, denda sebesar Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan, diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 57 miliar dan USD 5,261. Hukuman AU diperingan menjadi 7 tahun penjara di tingkat banding. Akan tetapi, MA memperberat hukuman AU di tingkat kasasi menjadi 14 tahun penjara, denda sebesar Rp 5 miliar subsider 16 bulan penjara, diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara dan hak politik menduduki jabatan publik dicabut.
- Lutfi Hasan Ishaq (LHI)
LHI menahkodai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk periode 2009-2015. LHI melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum PKS dan Anggota DPR RI setelah ditetapkan tersangka oleh KPK pada 25 Maret 2013 terkait kasus suap pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian.
Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum LHI 16 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Di tingkat banding, PT DKI Jakarta mengurangi lamanya subsider denda menjadi 6 bulan penjara. Nasib jelek menimpa LHI di tingkat kasasi, MA memperberat hukumannya menjadi 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta mencabut hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik.
Sebagai anggota DPR, LHI terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berupa janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan telah menerima uang Rp. 1,3 miliar melalui Ahmad Fathanah.
- Suryadharma Ali (SDA)
SDA ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 23 Mei 2014 atas kasus korupsi dana haji. Tidak berselang lama setelah penetapan tersebut, SDA menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PPP dan Menteri Agama RI.
Kasus korupsi tersebut menyebabkannya harus mendekam di penjara selama 10 tahun dan pencabutan hak politik selama 5 tahun berdasarkan putusan PT DKI Jakarta No.25/Pid.Sus/TPK/2016/PT.DKl tanggal 19 Mei 2016. Hukuman tersebut lebih berat dari putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang memvonis 6 tahun penjara.
- Setya Novanto (Setnov)
Pada 17 Juli 2017, KPK menetapkan Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2019 ini atas dugaan kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Setelah penetapan tersebut, Setnov tetap bertahan menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar meski terdapat suara tuntutan Munaslub dan pelengserannya. (Red0101)
Editor: Achmad Sulaiman