Berita UtamaEkonomiOpiniPolitikTerbaru

“Hasil Dari Bumi Kita Harus Dibayar Dengan Mata Uang Kita”

“Hasil Dari Bumi Kita Harus Dibayar Dengan Mata Uang Kita”
“Hasil dari bumi kita harus dibayar dengan mata uiang kita”

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar perminyakan Dirgo D Purbo mengungkapkan bahwa dirinya sudah meramalkan sejak 10 tahun yang lalu bahwa Indonesia akan mengalami peningkatan kebutuhan konsumsi minyak sebesar 5-8% pertahun. Prediksi tersebut sekarang sudah menjadi kenyataan dengan terjadinya peningkatan kebutuhan konsumsi minyak yang mencapai 2,5 juta bph. Dengan konsumsi sebesar 2,5 juta bph, maka Indonesia telah menjadi 10 besar negara yang memiliki pengaruh untuk memicu harga minyak internasional.

Sebagai informasi bahwa kemampuan produksi minyak nasional saat ini hanya sebesar 800.000 bph, maka untuk menutupi kekurangannya pemerintah melakukan impor lebih dari 18 negara secara kombinasi, baik crude oil maupun BBM sebesar 1,6 – 1,8 juta bph.

Melihat kenyataan ini, sudah saatnya pemerintah Indonesia membenahi ketidak efisienan bisnis perminyakan nasional. Menurut Dirgo ada tiga aspek yang harus segera dibenahi sebagai langkah strategis pemerintah.

Pertama aspek legalnya. Dalam dunia migas entry point paling utama adalah aspek legalitasnya, baru kemudian masuk eksplorasi, eksploitasi dan tax. Perusahaan minyak itu terikat oleh kontrak. Kalau di kontrak tercantum a, b, c, d, perusahaan minyak pasti mengikuti dan tidak mungkin keluar dari kontrak. Tinggal bagaimana setelah tanda tangan kontrak dan uang sudah masuk pemerintah melindungi dan mengawal perusahaan minyak itu sampai dilokasi dan menghasilkan minyak.

Baca Juga:  Antisipasi Masuk Beras Impor, Pemprov Harus Operasi Pasar Beras Lokal di Jawa Timur

Bila dibandingkan, Undang-Undang Migas Malaysia dan Vietnam, hanya beda-beda tipis, paling di soal tax dan financial sceme-nya. Berbeda dengan Indonesia, sudah paling ribet, ruwet dan bertele-tele tapi ada 276 perusahaan migas yang “beroperasi” meski tidak semuanya agresif. Ajaib bukan!

Kedua, Indonesia sebaiknya menyatakan diri dulu sebagai negara net oil importer. Sejak 2004, Indonesia sudah diprediksi akan menjadi negara net oil importer. Sayang hal itu tidak pernah didengungkan oleh pemerintah, malah seolah-olah malu menjadi negara net oil importer. Padahal sebagian besar negara G20 atau negara industri maju adalah negara net oil importer. Bila suatu negara sudah masuk kategori negara net oil importer, harus segera merancang grand strategy nasional. Khususnya Energy Security.

Ketiga, Indonesia harus mengisi stok nasionalnya. “Jangan bicara lagi crude oil, karena sudah tidak mungkin. Padahal Indonesia harus mengisi stok nasional yang tersebar dalam 460 depo. Karena stok nasional bbm itu merupakan simbol kekuatan ekonomi dan pertahanan negara. Jangan diabaikan ini,” tegas Dirgo.

Baca Juga:  Fraksi Karya Kebangkitan Nasional DPRD Nunukan Minta Pemerintah Perkuat Insfratrukrur di Pedalaman

Menurut Dirgo, ada satu hal lagi yang perlu dilakukan oleh pemerintah sebagai skema untuk menyikapi ketergantungan trade oil nasional, yakni membangun spirit bersama bahwa hasil dari bumi kita harus dibayar dengan mata uang kita. Tidak sulit. Tinggal Bank Indonesia (BI) mematok mid rate.

Bila disimulasikan, misal hari ini produksi 800 ribu barrel, sudah di-book oleh buyer. Kalau mau lifting harus bayar dengan Rupiah, yaitu Rp 13.000 kali 800.000 barel, kira-kira 10 milyar lebih. Nilai itulah yang harus dibayar oleh perusahaan migas untuk booking minyak per hari. Besok ada buyer lagi, bayar juga seperti itu. Apa yang terjadi? Buyer pusing cari rupiah. Otomatis akan terjadi rush terhadap permintaan rupiah, yang tentu saja akan memperkuat nilai tukar rupiah. Inilah salah satu cara memperjuangkan kepentingan nasional kita ujarnya.

Saat ini Indonesia harus menyiapkan US$ 110 juta per hari. Cari kemana? Bayangkan harga minyak sudah dimainkan, nilai tukar mata uang juga dimainkan – jelas yang diuntungkan adalah trader-trader di Singapura yang memang sudah memahami kebutuhan Indonesia.

Baca Juga:  Jawara Hasil Survei, Ponorogo Bisa Jadi Lumbung Suara Khofifah-Emil di Pilgub Jawa Timu

Gambaran ini menunjukkan bahwa betapa lemahnya kedaulatan negara ketika dihadapkan dengan persoalan energi. Salah satu contoh lagi adalah soal distribusi minyak Indonesia yang mengimpor dari Aljazair. Meski kapal Tanker itu milik Pertamina, namun sangat disayangkan bahwa pengawalannya bukan oleh TNI, tetapi oleh tentara Srilangka. “Ini tidak boleh terjadi. Seharusnya dikawal oleh militer kita, karena ini simbol kedaulatan atau simbol ketahanan negara kita. Rakyat membayar pajak untuk menjaga simbol kedaulatan kita,” tegas Dirgo. (AS)

Artikel Terkait: 276 Blok Migas Dikuasai Asing = 276 Pangkalan Militer Asing di Bumi Nusantara

Related Posts

1 of 39