Opini: Novy Eko Permono*
Dalam gerakan keislaman kontemporer, harus diakui bahwa diskursus mengenai khilafah tidak pernah susut dan surut peminat mulai dari kalangan akademik maupun pesantren. Setelah khilafah Turki Usmani (Dinasti Ottoman) berakhir pada 3 Maret 1924 beberapa kalangan menilai peran Islam dalam pentas politik global selama lebih dari 13 abad juga berakhir. Dan keberadaan umat Islam mulai saat itu telah terpuruk, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, budaya, sains-teknologi maupun lainnya.
Selain itu, penjajahan gaya baru yang dilancarkan dunia Barat terhadap dunia Islam disinyalir kuat menjadi faktor terpenting yang membangkitkan ekskalasi “kerinduan” beberapa kelompok umat Islam terhadap sistem Khilafah Islamiyah yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di masa silam. Maka tidak heran, sejak saat itulah term “khilafah” menjadi isu harakah (pergerakan) Islam dengan misi dan agenda politik membangun kembali Daulah Islamiyah internasional.
Utopia
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, era Reformasi mulai menggeliat dengan memberikan ruang kebebasan publik, menjadikan ide khilafah di Indonesia kian vulgar dan menemukan kembali momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan khilafah semakin intens dan terbuka di kampanyekan, baik lewat opini-opini pemikiran maupun gerakan nyata.
Jika melihat fakta sejarah, khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Namun pada saat umat Islam telah bernaung di bawah negara-negara bangsa, maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia tentu kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa sekarang, menurut hemat penulis adalah sebuah utopia.
Bahkan pada seminar kebangsaan yang diselenggarakan oleh Jaringan Ulama Muda Nusantara (Jumat) dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (8/05/2017), Prof. Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa “Khilafah adalah Sebuah Kekhilafan” memahami khilafah sebagai sistem negara yang pernah terjadi pada masa lalu yang menggabungkan antara otoritas agama dengan politik kekuasaan, sebagaimana dalam berbagai literatur diuraikan bahwa khilafah adalah konstruksi sejarah yang tidak memiliki pijakan naqliyah (Qur’an dan Hadits) untuk diakui sebagai rujukan epistemologinya bahwa khilafah adalah ajaran Islam maupun warisan kenabian yang perlu direaktualisasi.
Kesepakatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan para pendiri bangsa ini. NKRI dibentuk untuk mewadahi segenap elemen bangsa yang majemuk dalam hal suku, bahasa dan agama. Tidak mengeherankan jika pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto (8/5) mengambil langkah tegas berkaitan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yakni membubarkan ormas tersebut yang notabene berideologi khilafah. Di luar kontroversi hukum, secara politik, keberanian pemimpin mengambil keputusan patut diapresiasi karena negeri ini terlalu lama terjebak dalam rezim penuh kebimbangan. Indonesia tentu bukanlah negara yang pertama kali melarang organisasi Hizbut Tahrir, hal yang sama juga dilakukan oleh Saudi Arabia, Mesir, Turki, Tunisia, Pakistan, Bangladesh, dan bahkan Yordania-negara tempat organisasi ini dibesarkan. Tragisnya lagi, pusat organisasi ini berada di Inggris, sebuah negara demokrasi yang ditentangnya. Dan demokrasilah yang melindungi eksistensi mereka.
Patut dicatat, ketika Nabi membangun tatanan politik di Madinah merujuk pada buku Khalil Abdul Karim Negara Madinah: Politik Penaklukan Suku Arab, secara geopolitik, Negara Madinah merupakan sistem pemerintahan yang mengapresiasi banyak kepentingan yang ada, beliau tidak mendirikan Negara Syariah atau Khilafah Islamiyah dengan menjadikan Islam agama resmi negara tetapi mendasarkan negara Madinah pada kesepakatan bersama (kaum Ansor, Muhajirin, penganut Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama Pagan) yang dikenal dengan Piagam Madinah sebagai landasan kehidupan masyarakat Madinah.
Berangkat dari titik itulah, seorang muslim tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang tampak Islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansinya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita lebih menekankan pentingnya pemerintahan yang adil ketimbang khilafah, kita bisa mengatakan-meminjam istilah Bung Karno-bahwa apa yang kita “cutat” dari kalam Allah dan Sunnah Rasul bukanlah abunya, debunya, asbesnya, melainkan api dan nyalanya. Wallahu a’lam.
*Novy Eko Permono, Alumni Mahasiswa PAI IAIN Surakarta.