NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Bulan Januari 2017 lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan telah menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
Sebagaimana diketahui, Permen tersebut mengatur harga pembelian maksimum tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) yang dihasilkan dari Energi Baru Terbarukan (EBT) yaitu tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.
Semangat dari Permen tersebut adalah penyediaan listrik dari EBT dengan biaya penyediaan seefisien mungkin agar tidak membebani subsidi energi dalam APBN. Dengan demikian masyarakat bisa mendapatkan tarif listrik yang lebih baik.
Arah subsidi energi dalam APBN diharapkan dapat terus turun. Tahun 2014 realisasi subsidi energi tercatat sekitar Rp. 342 triliun, dan menurun tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar Rp. 119 triliun dan Rp. 108 triliun. Sedangkan untuk tahun 2017 ditargetkan juga terus turun menjadi sekitar Rp. 77 triliun.
Dalam rangka penyediaan listrik dari EBT secara efisien, ada baiknya fokus dilakukan pada wilayah dengan BPP setempat lebih tinggi dari BPP Nasional. Wilayah tersebut terdapat di Timur Indonesia, serta sebagian Sumatera dan Kalimantan. Potensi EBT di wilayah tersebut juga cukup besar yaitu sekitar 210 Giga Watt (GW).
Upaya penurunan BPP pun dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi yang tepat dan menerapkan manajemen rantai nilai yang lebih baik. Beberapa waktu pasca penerbitan Permen tersebut, sempat terjadi keraguan di berbagai kalangan diantaranya asosiasi, pelaku usaha, dan pengamat EBT terkait gairah investasi EBT.
Editor: Romandhon