NUSANTARANEWS.CO – Sebuah peristiwa bersejarah tercatat di Inggris pada Kamis (12/6/2016). Rakyat Inggris melaksanakan agenda referendum untuk menentukan apakah negaranya akan tetap berada di dalam Uni Eropa ataukah keluar. Penghitungan akhir referendum menunjukkan bahwa 52% rakyat Inggris memilih keluar, sedangkan 48% menginginkan Inggris tetap berada di dalam Uni Eropa. Demikian hasil perhitungan final kehendak rakyat Inggris yang selanjutnya dikenal dengan istilah Brexit.
Brexit tentu saja membuat Uni Eropa, bahkan dunia sontak kaget. Sebab, berbagai kosekuensi logis hasil referendum itu terhampar luas di depan mata di masa-masa mendatang bagi Inggris. Salah satu paling menonjol sebagai akibatnya ialah mundurnya David Cameron dari kursi perdana menteri. Seperti diketahui, Cameron adalah sosok yang memimpin kampanye agar Inggris tetap berada di dalam Uni Eropa. Namun, hasil referendum justru berkata lain.
Dalam pidatonya, Cameron mengungkapkan bahwa dirinya tidak pantas lagi menjabat sebagai perdana menteri Inggris karena hasil referendum menunjukkan fakta bahwa senagian besar rakyat Inggris menginginkan Brexit. Didampingi istrinya, Samantha, Cameron bulat mengumumkan pengunduran dirinya.
Dampak lain dari Brexit adalah pertanda buruk bagi imigran di Inggris yang diperkirakan mencapai 1,2 juta orang. Mereka terancam dideportasi. Dan sebaliknya, Brexit justru membuat partai sayap kanan Inggris dan kelompok ultra-nasionalis di daratan Eropa gembira.
Kelompok partai sayap kanan Inggris, salah satunya adalah Partai UKIP, pimpinan Nigel Farage, yang juga sebagai sosok rasis. Menurut Nigel, Inggris mulai kebanjiran pengungsi karena bergabung dengan UE. Dalam kampanye Brexit, UKIP membuat poster rasis soal gelombang pengungsi Suriah ke Inggris.
Tokoh dalam negeri lainnya adalah Boris Johnson, mantan wali kota London. Johnson dianggap rasis setelah mengkritik Presiden Amerika Serikat Barack Obama karena “keturunan Kenya”. Menurut Johnson, Inggris telah dibanjiri para imigran Timur Tengah dan Eropa yang tidak memiliki kemampuan kerja.
Sedangkan kelompok-kelompok ultra-nasionalis lain yang berada di belakang Johnson dan Farage, antara lain organisasi supremasi kulit putih English Defence League, partai nasional-ekstrem Britain First dan British National Party.
Situasi Inggris pasca Brexit menyimpan pekerjaan rumah seabrek untuk Theressa May. Theressa tampil sebagai sosok pengganti David Cameron di kursi perdana menteri Inggris. Ia tercatat sebagai wanita kedua yang sukses menjadi perdana menteri setelah Margaret Thatcher. Meski awalnya Theressa mendukung Inggris tetap berada di dalam Uni Eropa, namun ia menuturkan bahwa keputusan dan kehendak rakyat Inggris yang tertuang dalam hasil referendum tidak dapat ditolak, apalagi dilakukan referendum kedua. Tidak ada istilah itu, kata dia.
Untuk itu, pekerjaan rumah Theressa sebagai perdana menteri Inggris tentu tidak mudah. Politisi Partai Konservatif ini harus menyatukan kembali Inggris yang terbelah akibat referendum, memimpin perundingan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit), serta membangun kembali soliditas Partai Konsevatif yang turut terbelah.
Apakah Brexit Berdampak pada Indonesia?
Inggris merupakan mitra strategis Indonesia sejak tahun 2012. Nilai perdagangan kedua negara mencapai 2,35 miliar dollar AS (2015) dan nilai investasi Inggris di Indonesia mencapai 503,2 juta dollar AS (2015) serta jumlah wisatawan Inggris ke Indonesia tercatat sebesar 69.798 wisatawan pada tahun 2015.
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi memastikan Brexit tak berdampak bagi hubungan bilateral Indonesia-Inggris. “Hasil referendum di Inggris tidak serta merta langsung berlaku, karena pasal 50 treaty on European Union harus di aktifkan dan proses negosiasi antara Inggris dan Uni Eropa harus berlangsung untuk menyepakati Withdrawal Agreement. Indonesia meyakini hasil referendum tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral Indonesia-Inggris dan menjadi kepentingan bersama kedua negara untuk terus memupuk kerja sama di berbagai bidang strategis,” jelas Menlu dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (25/6/2016).
Meski demikian, pemerintah diminta benar-benar mencermati Brexit karena berpotensi memicu proteksionisme. Sebab Brexit merupakan inspirator besar bagi semangat arus balik globalisasi yakni lokalisasi proteksi domestik yang semakin kuat. (Sego/Er)