Berita UtamaEkonomiTerbaru

Kaleidoskop 2016: KTT G20 dan Tatanan Dunia Baru

NUSANTARANEWS.CO – Sejumlah pertemuan negara-negara kelompok 20 (KTT G20) dihelat beberapa kali sepanjang tahun 2016. Negara-negara yang tergabung dalam G20 tampil ke hadapan publik dunia guna menyampaikan gagasan guna mempersiapkan tatanan dunia baru setelah situasi politik, keamanan dan ekonomi karut marut.

Pertemuan-pertemuan super penting itu tentu tidak boleh dilewatkan dan dianggap biasa-biasa saja. Sebab, kegamangan situasi batas semakin menekan pertumbuhan ekonomi global. Bahkan, negara-negara maju dan berkembang mulai bingung dengan proyeksi pertumbuhan mereka menyongsong 2017.

Krisis global belum sepenuhnya pulih. Sejak krisis keuangan Asia yang menerpa hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997 silam, telah menimbulkan kepanikan global seakan dunia akan runtuh. Seperti diketahui, krisis moneter ini berawal dari Thailand yang dikenal dengan nama krisis Tom Yam Gung; jatuhnya nilai mata uang Baht setelah pemerintahan Thailand terpaksa mengambangkan mata uangnya. Akhirnya, Thailand menanggung utang luar negeri yang sangat besar sampai-sampai negara Gajah Putih itu nyaris dinyatakan bangkrut.

Di tengah upaya pemulihan dari hantaman krisis moneter 1997, dunia kembali diguncang oleh krisis keuangan Amerika, tepatnya 15 September 2008 silam ketika Leman Brothers dinyatakan bangkrut. Sekadar informasi, Lehman Brothers adalah salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior terbesar ke-4 di Amerika Serikat. Bangkrutnya Lehman Brothers menjadi awal dari drama krisis keuangan global 2008.

Dewasa ini, pertumbuhan ekonomi global bisa dibilang mentok. Sementara kerjasama ekonomi multilateral telah mencapai titik balik krusial. Menurut data World Bank, angka penduduk miskin dunia tahun 2015 lalu diestimasikan berjumlah 702 juta, atau sekitar 9,6% dari total penduduk dunia. Dengan situasi pertumbuhan ekonomi global yang begitu suram, ditambah berbagai tantangannya terutama pengentasan kemiskinan, kini mau tidak mau semua mata tertuju pada forum KTT G20 Hangzhou pada 4-5 September 2016. KTT G20 menjadi penting karena forum ini menghimpun 2/3 penduduk dunia yang menguasai 80% transaksi perdagangan internasional dengan nilai output 90% PDB global. Sehingga dunia pun menunggu apa yang akan dihasilkan dari KTT G20 Hangzhou ini. Terutama setelah melahirkan dua lembaga internasional baru yakni, Bank Infrastruktur Asia atau AIIB dan Bank Pembangunan Baru (NDB).

Baca Juga:  Panen Bunga Sedap Malam di Pasuruan, Khofifah Sebut Petani Milenial Jatim Tertinggi di Indonesia

Memprediksi pertemuan KTT G20 Hangzhou, bila mengikuti hasil-hasil pertemuan G20 sebelumnya, maka Cina tampaknya akan menjadi lokomotif “kapitalisme baru” melalui proyek The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road sebagaimana pidato Presiden Xi Jinping di Gedung DPR RI pada 2013 lalu yang dengan bersemangat mengungkapkan bahwa Cina berencana akan membangun koridor Jalur Sutra Maritim Abad 21 yang menghubungkan daratan dan perairan yang membentang dari Cina sampai ke jantung Eropa, yang melewati lebih dari 60 negara dalam koridor jaringan perdagangan dan transportasi yang terintegrasi. China berkeyakinan bahwa dalam era globalisasi tidak ada satu negara pun yang bisa tumbuh sendirian.

Oleh karena itu, dalam 5 tahun ke depan, investasi Cina ke luar negeri akan mencapai US$1,25 triliun. Sebagai perbandingan, inisiatif Marshall Plan Amerika untuk membangun ekonomi Eropa pasca-Perang Dunia II tidak lebih dari US$130 miliar.

Presiden China Xi Jinping dalam KTT G20 di Huangzhou, 4-5 September lalu mengatakan kelompok negara-negara dengan ekonomi paling berkembang di dunia itu seharusnya mengadopsi langkah-langkah baru guna menghasilkan momentum pertumbuhan dan mencegah proteksionisme. KTT G20 itu pun mengangkat tiga isu utama yaitu inovasi, revolusi industri baru dan ekonomi digital. Xi mengajak para pemimpin negara G20 merumuskan kebijakan yang efektif guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang imbang, kuat dan berkelanjutan. Ini dikarenakan kondisi ekonomi yang dihadapi negara-negara G20 saat ini tidak jauh berbeda dengan yang dialami delapan tahun lalu. Pertama, negara-negara G20 harus memperkuat koordinasi dalam merumuskan kebijakan makro ekonomi yang komprehensif, guna mendukung pertumbuhan ekonomi global. Kedua, merumuskan pendekatan baru untuk menciptakan pertumbuhan global jangka menengah dan jangka panjang.

Baca Juga:  Jelang Pilkada 2024, Bawaslu Nunukan Gelar Sosialisasi Netralitas ASN, TNI, dan Polri

Xi menegaskan bahwa tahun ini kita telah memiliki cetak biru guna menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inovatif, reformasi struktural yang inovatif, revolusi industri baru dan pembangunan ekonomi digital. Oleh karena itu, negara G20 harus mampu meningkatkan tata kelola ekonomi global, penguatan sistem keuangan dan moneter, serta peningkatan tata kelola lembaga keuangan global. Terutama meningkatkan jaring pengaman keuangan global, dan merumuskan kebijakan perpajakan secara bersama-sama, serta peningkatan upaya antikorupsi untuk mengurangi resiko perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Presiden Xi menambahkan, bahwa kita harus membangun ekonomi global yang lebih terbuka memberikan fasilitasi dan liberalisasi dalam perdagangan dan investasi guna mendongrak pertumbuhan ekonomi global. Termasuk pembangunan infrastruktur dan interkonektivitas khususnya bagi UMKM dan negara berkembang untuk bisa berpartisipasi dalam global value chain. Sebagai informasi, di sela-sela kegiatan KTT G20 ini juga akan dilangsungkan sejumlah pertemuan bilateral dan diskusi intensif tentang isu-isu strategis di luar pokok bahasan KTT, antara lain soal perubahan iklim dan terorisme.

Baca Juga:  Debat Ketiga, Cagub Luluk Sorot Krisis Lingkungan di Jawa Timur

Kini, Cina sudah tampil ke hadapan dunia bahwa negara komunis itu berambisi ingin menjadi lokomotif tatanan dunia baru. Guna memuluskan kepentingannya, Cina mengajukan program krusial berupa proyek Jalur Sutra Maritim Abad 21 (The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road). Untuk mendukung ambisi ini, Cina telah mempersiapkan sejumlah kebijakan seperti mendirikan lembaga keuangan dunia AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) yang boleh dikatakan sebagai World Bank made in Cina, membuka hubungan dengan Timur Tengah, meratifikasi Traktat Iklim Paris  karena Cina menyumbang 24% gas rumah kaca di dunia, berambisi ingin menjadikan Hangzhou sebagai kota percontohan pertumbuhan hijau (green financing) dengan konsep carbon neutrality (netralitas karbon), memblokade kawasan Laut Cina Selatan serta berusaha keras merangkul pemerintahan Indonesia. (Sego/Er)

Related Posts

1 of 446