NUSANTARANEWS.CO – Kowani (Kongres Wanita Indonesia) awalnya disebut Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Demikian ungkpan pertama pengamat hukum, Nastiti Dwi Arfuzza saat berbincang dengan Nusantaranews beberapa waktu lalu. Lantas bagaimana bisa, Kowani dinilai sebagai pengingat TNI sebagai alat negara bukan alat Kekuasaan? Mari kita tilik kembali sejarah Kowani.
Dulu, ketika bangsa Indonesia berada dalam cengkraman kolonialisme Belanda, tidak hanya dari kalangan lelaki yang melakukan perlawan, melainkan juga dari kaum perempuan. Gerakan-gerakan yang dilakukan waktu itu ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda. Momentum bersejarah yang membakar semangat kaum perempuan ialah lahirnya sumpah persatuan dan kesatuan yang yang diikrarkan dalam Konggres Pemoeda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian dinamai dan kenal dengan Sumpah Pemuda.
Nastiti Dwi Arfuzza menyebut lagi, bahwa Sumpah Pemuda telah mendorong kaum perempuan untuk bersatu sehingga pada tangga 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dilaksanaknlah Kongres Perempoean Indonesia yang pertama. Kongres ini berhasil membentuk badan federasi organisasi wanita yang mandiri dengan nama “Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia” disingkat PPPI.
“PPPI pada tahun 1929 namanya berubah menjadi Perserikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada tahun 1935, PPII berganti nama menjadi Kongres Perempoean Indonesia dan pada tahun 1946 menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI sampai saat ini. Salah satu keputusan penting yang lahir pada Kongres Perempoean Indonesia II tahun 1935 di Jakarta adalah lahirnya konsep ‘Ibu Bangsa’. Artinya, perempuan-perempuan yang ada dalam perekumpulan harus menjadi pembentuk karakter anak-anak bangsa,” tutur perempuan yang akrab dipanggil Nana itu.
Kemudian pada tahun 1938 di Bandung, lanjut Nana, atas keputusan Kongres Perempoean Indonesia III, tanggal 22 Desember diangkat menjadi ‘Hari Ibu’. “Jadi Kowani punya peran besar terhadap bangsa dan negara,” tegas Nana.
Dalam perjalanannya, ada usulan bahwa perempuan-perempuan yang ada di Kowani menjadi Kowat (Kopr Wanita Angkatan Darat). Kemudian pada tahun 1961 dilakukan keperwiraan dan benar-benar baru dibentuk dan disahkan pada tahun 1963. “Berawal dari Kowani dan Kowat lahirlah cabang-cabang perkumpulan perempuan yang ada di instansi-instansi pemerintahan. Misal kepolisian punya Dharma Wanita, Kejaksaan punya Dharma Karini, dll. Jadi Kowani sendiri, walaupun hanya segilintir orang, memiliki peran besar dalam perjuangan Indonesia,” tuturnya.
Menurut Nana, ada perbedaan peran dan fungsi Kowani di era lama dengan era Orde Baru. Ketika di Orde Lama, Kowani fokus pada perannya sebagai “Ibu Bangsa” yang sifatnya memperjuangkan kemerdekaan. Setelah masuk Orde Baru, sifatnya adalah untuk mengisi kemerdekaan dan juga berperan di sektor-sektor pembangunan.
Peran Kowani ini tentunya ada hubungannya dengan dwifungsi ABRI di zaman orde baru. Dimana pada era reformasi, ABRI pecah menjadi TNI dan Polri. “Dulu TNI-Polri jadi satu, tidak ada perbedaan. Seiring dengan adanya reformasi 1998, dalam Tap/MPR No. 7 Tahun 2000, ABRI dipecah menjadi dua yaitu TNI dan Polri. TNI dengan kostumnya, sekarang dimuat dalam UU No. 34 Tahun 2004. Sedangkan POLRI ada dalam UU No. 2 Tahun 2002 pasal 13 dan 14.” ujar Nana.
Baca: TNI-Polri Lahir Demi Bangsa dan Negara Bukan Untuk Politik Kekuasaan
Nana menjelaskan, bahwa sebenarnya dengan adanya dwifunsi TNI-Polri, objek-objek vital yang dimiliki negara rentan dijual atau digadaikan kepada pihak asing, aseng, China, dan komunis. Kenapa hal ini bisa terjadi?
“Kanena saya melihatnya, ketika reformasi tahun 1998, bangsa Indonesia lupa. Hanya melakukan pergerakan, tapi tidak mempersiapkan atribut-atribut hukumnya apa. Sehingga terjadi perubahan atau amandemen UUD 1945 berkali-kali, yang mana apabila disoroti dari UUD 1945 amandemen 2002 ini, di dalam pasal-pasalnya kata-kata “Kedaulatan” sudah tidak ada. Kata “Kedaulatan” hanya ada di pembukaan atau preambul,” ujarnya.
Atas dasar rentetan sejarah di atas, jelas bahwa peranan Kowani di sini adalah mengingatkan kita lagi bahwa TNI adalah alat negara bukan alat kekuasaan. Selain itu pemerintah seharusnya ingat bahwa, di balik TNI-Polri terdapat keluarga. Di dalam keluarga, mereka memiliki figur perempuan, baik itu ibu, istri, anak, maupun perempuan-perempuan lainnya di dalam keluarga mereka.
“Apabila Presiden menjadikan TNI-Polri sebagai alat kekuasaan, ini tentu saja merusak tatanan yang sudah dibangun oleh ibu bangsa pada tahun 1928. Dimana pada tahun itu, bangsa kita telah komit untuk satu bahasa, tanah air, dan satu bangsa. Perlu diingat, dari tahun 1928 sampai tahun 1945, nyaris butuh waktu 20 tahun untuk merealisasikan cita-cita yang mereka perjuangkan,” tegas Nana.
Nana menambahkan, peranan ibu bangsa ini, dengan adanya reformasi, kita tidak punya wadah lagi untuk menyiapkan kegiatan-kegiatan perempuan seperti halnya PKK. Dimana PKK ini menyiapkan perempuan-perempuan menjadi labih mandiri.
“Terkait dengan TNI-Polri dan juga Polwan di dalam Polri, mereka semua lahir karena adanya Kowani. Jadi, jika TNI-Polri sampai menjadi alat kekuasaan, itu sama saja sudah menciderai ibu pertiwi kita,” kata pengamat hukum itu. (Sulaiman)