NUSANTARANEWS.CO – Pada Pilpres 2014 lalu sesungguhnya ada sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati dalam alam demokrasi Indonesia yakni tampilnya Prabowo Subianto sebagai Capres. Mengapa? Bayangkan saja sebuah konspirasi besar dan sistematis yang didukung oleh kekuatan global secara terus menerus berupaya dengan keras menyingkirkan Prabowo Subianto dari pentas politik di tanah air.
Sebuah peristiwa yang paling kasat mata adalah ketika penetapan Parliamentary Threshold 20% oleh Parpol di legislatif – yang jelas-jelas untuk mengganjal Gerindra agar tidak bisa mencalonkan Presiden sendiri. Dan Berhasil. Terbukti setelah berlangsung Pemilihan Legislatif Partai Gerindra hanya mendapat 11,81%.
Tapi diluar dugaan semua orang. Menjelang detik-detik akhir pencalonan presiden dan wakil presiden terjadi sebuah drama politik yang mengejutkan. Golkar tiba-tiba mendukung pencapresan Prabowo. Demikian pula partai politik lain, diluar koalisi PDIP, yang tadinya turut menyingkirkan Prabowo Subianto keluar arena politik tiba-tiba balik badan mendukung pencapresan Prabowo Subianto. Apa yang terjadi sesungguhnya? Rupanya koalisi Golkar-Demokrat dan Koalisi Partai Islam tidak memiliki figur yang bisa melawan Jokowi.
Drama politik pun berlanjut, bak jamu di musim hujan tiba-tiba muncul dukungan dari berbagai elemen masyarakat terhadap Prabowo Subianto tanpa henti. Tiada hari tanpa deklarasi dukungan terhadap pasangan Capres Prabowo-Hatta diberbagai daerah. Koalisi Merah Putih tiba-tiba melesat menyusul pasangan Capres Jokowi-JK dalam waktu singkat. Berdasarkan hasil survei Pasangan Prabowo-Hatta unggul 51,2% berbanding 48,8% sebagaimana disinyalir Sunday Herald Morning yang mengatakan bahwa ada tiga lembaga survey kredibel di Indonesia yang tidak mempublikasikan hasil surveinya.
Perkembangan tersebut tentu saja mengejutkan pasangan Capres Jokowi-JK yang diusung oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang sejak awal memang sudah nyaman dan yakin pasti menang. Keyakinan KIH bukan tanpa alasan, karena mereka sudah bekerja keras mencitrakan dan mempromosikan habis-habisan Jokowi sebagai Capres yang bersih, jujur dan sederhana selama lebih dari lima tahun belakangan ini.
Sebagai catatan bahwa memang keberhasilan PDIP itu, bukanlah kebetulan. Tapi memang hasil kerja relasi dan agenda setting yang sistematis terorganisir dalam dunia pers yang sudah dibangun sejak bertahun-tahun lalu ketika menjadi alat untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Jadi keberhasilan media massa mengemas Jokowi sebagai simbol “wong cilik” merupakan “modus” yang sama dari orang yang sama ketika menjatuhkan Soeharto. Hasilnya memang luar biasa – survei menunjukkan bahwa Jokowi unggul sampai diatas 20% terhadap kandidat-kandidat lain di periode April-Mei 2014.
Nah, Tampilnya Prabowo Subianto sebagai Capres 2014 memang sungguh diluar dugaan banyak pihak yang berkepentingan. Terutama tim sukses Jokowi yang sama sekali tidak menyangka bahwa Prabowo Subianto bisa menjadi Capres. Sehingga membuyarkan skenario pemenangan Capres Jokowi yang memang tidak disiapkan untuk menghadapi Prabowo Subianto. Mesin operasi pemenangan Jokowi-JK langsung hang. Memasuki bulan Juni, mesin dukungan terhadap pasangan Capres Jokowi-JK mengalami stagnasi, kalau tidak mau diakatakan mogok. Dan skenario alternatif ternyata tidak siap. Jadi bila seandainya pasangan Jokowi-JK pada waktu itu kalah ya wajar saja. (Agus Setiawan)