NUSANTARANEWS.CO – Sudah hari ke-44 usai menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam menjadi tersangka dugaan tindak pidana dalam proses penertiban Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) terhadap PT Anugrah Harisma Barakah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga mengumumkan jumlah kerugian negara akibat perbuatan Nur Alam. Hal tersebut dijadikan senjata oleh kuasa hukum Nur Alam yakni Maqdir Ismail dalam melawan KPK di sidang Praperadilan yang digelar hari ini, Rabu (5/10).
Menanggapi hal tersebut, Kabiro Hukum KPK Setiadi menegaskan bahwa pihaknya sudah mendapatkan beberapa informasi tentang kerugian negara. Informasi tersebut diperoleh dari kesaksian yang dimintakan lembaga antirasuah dari dua instansi sektor penghitungan kerugian negara.
Masih dalam persidangan, Maqdir menyebut bahwa KPK tidak memiliki hak untuk mengusut kasus kliennya. Alasannya kasus yang menjerat kliennya sudah pernah ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Perihal tersebut KPK menjawab “Tapi penyidik di PPNS, Bea Cukai, Kehutanan, dan Imigrasi mereka semua penyidik. Penyidik itu bukan hanya dari Polri,” jawab Setiadi.
Setiadi menegaskan bahwa dalam hal ini Nur Alam telah menyalahi wewenang sebagai Gubernur untuk memberikan izin perusahaan pertambangan di wilayahnya. Dalam hal ini, Nur Alam diduga menerima sejumlah uang dari perusahaan yang diberikan izin olehnya.
Pada 23 Agustus 2016, KPK telah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam menjadi tersangka penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Nur Alam ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penerbitan izin usaha pertambangan di Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014.
Nur Alam diduga telah menyalahgunakan wewenang atas penerbitan izin usaha tambang nikel kepada PT Anugrah Harisma Barakah di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara pada 2009-2014.
Ada imbal balik yang diduga diterima Nur Alam dari penerbitan izin tambang ini. Imbal balik tersebut terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2013.
Dalam laporan tersebut, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar US$ 4,5 juta atau setara dengan Rp 50 miliar dari Richcorp Internasional. Uang itu dikirim ke satu bank di Hong Kong, sebagian lagi di antaranya ditempatkan pada tiga polis asuransi AXA Mandiri. Lalu polis tersebut diduga dibatalkan oleh Nur Alam dan dikirim ke beberapa rekening baru.
PT Realluck International Ltd, yang 50 persen sahamnya dimiliki oleh Richcop, merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia. Kantor PT Billy, yang terafiliasi dengan PT Anugrah Harisma Barakah beralamat di Pluit, Jakarta Utara, sudah digeledah penyidik KPK.
Namun hingga saat ini, Nur Alam belum ditahan dan juga diperiksa KPK. Namun, KPK telah mencegah Nur Alam bepergian ke luar negara. Tiga orang lainnya ikut dicegah bepergian ke luar negeri yaitu Emi Sukiati, Widdi Aswindi, dan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tenggara Burhanuddin. (Restu)