Di kota Cilegon, selama ditentukan sebagai zona merah di masa pandemi Covid-19, toko-toko sudah tutup sejak jam delapan malam. Kecuali ada beberapa toko kelontong yang masih buka. Tadinya, perampok itu merencanakan untuk menyerang toko ponsel di tikungan perempatan jalan, tetapi apa boleh buat, malam itu ia mengubah pendiriannya.
Oleh: Muhamad Pauji
Dengan mengenakan jaket kulit, masker hitam, dan topi yang bisa menutupi dahi dan alis matanya, ia merasa tak perlu memakai topeng lagi. Ia memutuskan untuk menyerang toko kelontong yang masih buka hingga jam sepuluh, sambil menyelipkan sebilah belati di balik jaket hitamnya.
Toko itu berbentuk ruko (rumah toko) berlantai dua yang memanjang ke belakang, terbagi atas dua ruang. Ruang depan dijadikan toko sedangkan ruang belakang yang bertangga dijadikan gudang penyimpanan sembako, seperti beras, tepung, minyak goreng, telor, gula, kopi dan lain-lain. Pemilik toko tinggal di lantai dua, bersama istrinya yang sedang sakit-sakitan, berumur sekitar 60 tahun, hanya selisih tiga tahun di bawah suaminya. Sedangkan perampok itu sendiri sudah berumur sekitar 62 tahun.
Sejak Pk. 21.30 perampok tua itu mengincar toko kelontong itu dari seberang jalan. Pemilik toko terlihat sedang beres-beres menjelang tutup toko, merapikan dagangannya, melipat plastik, kantong kresek dan kardus bekas, memasukkan beberapa barang yang terpajang di halaman depan. Nampak raut muka sang perampok berseri-seri ketika melihat pemilik toko sedang menghitung uang di atas meja kasirnya.
Dengan santai perampok tua itu menyeberang jalan, setelah merapikan topi dan maskernya, serta memastikan belati terselip di balik jaket hitamnya.
Ia segera masuk melalui pintu depan yang lebar membentang, melihat kiri-kanan, kemudian langsung menuju meja dan mengeluarkan belati tersebut dari balik jaketnya. Setelah melompat di depan meja, ia berteriak keras sambil menodongkan belati ke muka si pemilik toko, “Angkat tangan!”
Pemilik toko diam terpaku di kursinya. Ia menutup kotak meja pelan-pelan, menatap wajah perampok dengan terbengong-bengong, lalu pelan-pelan mengangkat tangan kirinya.
“Angkat kedua tangan!” teriak si perampok.
Pemilik toko itu tak bisa mengangkat tangan kanannya, hanya menggesernya pelan-pelan dari atas meja dengan bahu gemetar. “Saya nggak bisa mengangkat… yang kanan…,” katanya dengan muka meringis dan kesakitan.
“Nggak bisa kenapa? Tadi saya lihat kamu sedang menghitung uang di atas meja?” bentak perampok.
“Ya benar, tapi dengan tangan kiri.”
“Kenapa tangan kananmu?”
“Nggak bisa bergerak.”
“Saya bilang kenapa?”
“Asam urat.”
“Oo, begitu.”
***
Pada saat penodongan itu, si perampok melihat kendaraan mobil berhenti di jalan depan toko. Dia bertanya siapakah yang datang itu. Si pemilik toko menjawab, itu mobil salah seorang pelanggannya, barangkali mau membeli sesuatu. Bergegas perampok itu menyalakan rokok dengan korek yang terlindung sebelah tangan. Ia minta si pemilik toko agar jangan menanggapi pembeli itu, cukup diam saja di tempat. “Biar saya yang ngurus,” katanya setelah menghisap batang rokok terakhir dari dalam sakunya.
Ia bergegas menyelipkan belatinya, langsung menuju pintu mobil, dan katanya pada pelanggan itu, “Tokonya sudah tutup, Pak.”
“Tapi itu masih buka, dan lampunya masih menyala,” sela si pelanggan.
“Sudah tutup barusan, Pak. Saya ini masih keluarga, sedang membicarakan urusan keluarga dengan pemilik toko kelontong ini. Sebaiknya Bapak cari warung atau toko lainnya saja.”
“Oo begitu, maaf ya.”
Pelanggan itu naik kembali ke mobilnya, kemudian setelah memastikan sudah menjauh, perampok itu segera kembali ke meja, mengeluarkan belatinya, dan kembali memasang muka seram dan garang. “Siapa yang nyuruh Bapak menurunkan tangan? Tadi saya bilang, angkat tangan! Walaupun cuma tangan kiri!”
Pemilik toko itu mengangkat tangan kirinya pelan-pelan. Ia disuruh berdiri membelakangi meja. Perampok itu melangkah dan membuka kotaknya, kemudian mendapatkan setumpuk uang yang diikat dengan karet, lalu memasukkannya ke saku jaket. Dia melihat ke sekeliling ruang toko. Ada hiasan keramik berwarna keperakan di atas meja, ada kipas angin berkaki, dispenser, hiasan dinding, dan lukisan kaligrafi Arab. Ia tak berminat untuk menggondol barang-barang berat itu. Termasuk berbagai jenis makanan dan minuman yang terpajang di kastok-kastok dinding dan etalase-etalase kaca. Ia hanya menanyakan di mana letak rokok. Si pemilik toko memberitahukan letaknya sambil melangkah pelan ke kastok tempat penyimpanan rokok. Ia menyerahkan beberapa dus rokok kepada perampok, tetapi si perampok rupanya hanya membutuhkan sebungkus rokok saja.
Ketika pemilik toko menaruh kembali kardus-kardus itu di kastok bagian atas, tiba-tiba terdengar suaranya lirih dan merintih, “Aduh… sakit sekali! Sakit sekali, Pak…!” ia memegang lengan kanannya sambil terjatuh dalam posisi duduk.
Si perampok merasa tak tega. Ia maju empat langkah mendekati si pemilik toko, kemudian menjongokkan wajah ke arahnya, “Serius apa yang Bapak bilang… apanya yang sakit? Coba saya lihat.”
Perampok itu menggelontorkan belati di atas meja. Ia pun melepas topinya, kemudian memegang bahu si pemilik toko dengan hati-hati. “Aduuuh… jangan dipegang keras-keras, Pak… sakit sekali…!”
“Saya cuma memagang pelan, sakit apanya?” kata si perampok membela diri.
“Bagian ini, Pak…,” sambil meregang dan gemetaran. “Tolong pijit bagian ini, Pak, aduh… sakit banget…”
Si perampok memijit lengan kanan hingga bahunya, “Apakah di toko ini ada remason… Bapak menjual remason, nggak?” kata perampok sambil celingkukan mencari-cari remason di sekitar etalase kaca.
“Bapak ambil saja minyak kayu putih di bagian kastok itu… cepat ambilkan, Pak!”
Perampok itu segera mengambil minyak kayu putih, membuka segelnya, kemudian langsung menuangkannya di bagian bahu pemilik toko. “Tolong, sambil dipijit, Pak, tolong, aduuuh!”
“Bapak buka dulu bajunya, biar nanti saya borehi dari bahu hingga punggung.”
“Aduuuh, sakit sekali, Pak. Ini gara-gara tadi, Bapak memaksa saya angkat tangan, sih?”
“Sekarang buka bajunya, mau diobati nggak? Jangan malu buka baju… kita ini sama-sama laki-laki….!”
Akhirnya, si pemilik toko membuka bajunya pelan-pelan dengan tangan kirinya. Si perampok membantu melepas bagian lengan kanannya. Setelah diborehi minyak kayu putih, pemilik toko masih merintih kesakitan, meskipun terasa agak hangat dan mendingan.
***
Setelah mendudukkan pemilik toko ke atas kursi, ia pun menarik napas lega. Ia nampak kelelahan karena menahan rasa sakit. “Seperti ada bengkak-bengkak di bahu kanan Bapak?” tanya si perampok.
“Ya, sudah lama bengkak itu, sudah berbulan-bulan,” katanya lirih
“Apakah asam urat bisa menimbulkan bengkak juga?”
“Tergantung jenis asam uratnya. Kalau ada penyakit lainnya seperti rematik, bisa lebih parah lagi. Tapi, alhamdulillah, sejak dipijit Bapak tadi, sekarang sudah lumayan. Mungkin ini karena faktor rematiknya. Ngomong-ngomong, apakah Bapak pernah menjadi tukang pijit?”
Pertanyaan itu membuat si perampok agak tersinggung. Melihat reaksi yang kurang mengenakkan, pemilik toko mengubah pertanyaannya, “Maksud saya, apakah Bapak pernah memijit seseorang, baik keluarga atau sahabat dekat, begitu?”
Ia pun berusaha mengendalikan diri, dan jawabnya, “Memang pernah, kalau beberapa teman dekat sih.”
“Oo, begitu.”
Mereka saling diam dalam waktu yang cukup lama. Untuk memecah keheningan, si perampok angkat bicara, “Sudah berapa lama Bapak mengalami asam urat dan rematik seperti ini?”
“Wah, sudah bertahun-tahun, Pak.”
“Selain asam urat dan rematik, apakah Bapak punya keluhan penyakit lainnya?”
“Wah, banyak sekali, Pak, kadang-kadang juga sesak napas, batuk, mual-mual dan pusing. Bahkan tiga bulan lalu, makanan dan minuman nggak bisa masuk ke tenggorokan, sehingga saya harus dirawat dan hanya menerima makanan dari selang infus.”
Perampok itu melirik ke berbagai jenis makanan dan minuman yang terpajang berderet-deret di ruang toko kelontong. Kemudian, si pemilik toko balik bertanya, “Kalau Bapak sendiri bagaimana?”
“Maksudnya?”
“Apakah Bapak juga suka sakit-sakitan?”
“Yaa kalau sakit, tentu pernah, tapi nggak terlalu sering. Dua tahun lalu, saya juga pernah kena rematik. Dan penyakit ini, sekali menyerang tubuh kita, selamanya ia akan menempel seperti perangko.”
“Benar sekali, Pak,” si pemilik toko semakin tertarik mendengar uraian si perampok. Mereka berdua sudah tak mempedulikan sebilah belati tajam tergelatak di atas meja. “Memang benar, Pak, kalau lagi keluar kumatnya, waduh sakitnya bukan main.”
“Bapak pernah coba minyak tawon dicampur minyak kletik?”
“Wah, kalau minyak kletik lengket sekali, Pak, saya kurang suka yang lengket-lengket begitu.”
“Kalau minyak Star Krim?”
“Kalau minyak itu pernah pakai, walaupun agak lengket tapi cepat kering. Bapak sendiri pernah coba kapsul Rumasol, nggak?”
“Ah, saya nggak mempan minum Rumasol. Pernah saya coba selama beberapa bulan, tapi tak ada pengaruhnya. Seminggu kemudian, saya agak membaik setelah minum ekstrak Habat Suda yang diproduksi PT Harbol dari Bogor. Nah, PT Harbol juga memproduksi balsem, namanya Moon Krim, Bapak pernah coba nggak?”
“Boleh kalau Bapak ada, kirim ke sini, nanti saya mau beli.”
“Baik, nanti akan saya bawakan.”
***
Pemilik toko kelontong menarik kursi satu lagi dari dalam gudang sembako, kemudian mempersilakan si perampok agar duduk. “Penyakit saya ini, Pak,” katanya lagi, “kalau lagi kumat, sering menyerang malam-malam. Wah, saya nggak bisa tidur sama sekali, apalagi pas musim-musim hujan begini.”
“Kalau pagi, bagaimana?”
“Pagi juga sama. Kalau jam 5.00 pagi, paha ini seperti ditusuk-tusuk duri. Mau salat nggak bisa. Kalau nggak salat, istri saya marah-marah, bahkan saya dibilang orang kafir, murtad, sesat, macam-macam… lalu saya membela diri, bagaimana harus salat, ruku dan sujud, wong bangun tidur saja harus dipaksakan setengah mati?”
Perampok itu berdehem dan mendelikkan alis matanya. Supaya perbincangan tidak melebar ke urusan salat, ruku dan sujud, ia pun mengalihkan pembicaraan pada soal lainnya. “Apakah Bapak pernah coba larutan pembersih darah yang mereknya Cula Badak, wah itu bagus, Pak,” sambil mengangkat jempol tangannya.
“Cula Badak… yang gambarnya ada tiga badak itu, ya?”
“Nah, itu dia! Pernah?”
“Pernah, tapi nggak ada pengaruhnya tuh.”
Mereka diam sejenak, kemudian kata si perampok lagi, “Selain waktu pagi, apakah rasa nyeri juga menyerang kalau sore hari?”
“Kalau sore nggak seberapa. Tapi pas menjelang tutup toko, atau setelah tutup sekitar jam sepuluh malam, dia suka datang tiba-tiba, tanpa diundang. Rasanya bukan seperti ditusuk duri, tetapi seperti ditusuk pisau belati…”
Perampok itu memejamkan pelupuk matanya, serta-merta mengalihkan pembicaraan, “Kalau Bapak naik tangga ke lantai dua, bagaimana?”
“Wah, saya harus melangkah pelan-pelan, sambil berpegangan dinding di sekitar tangga. Kalau tidak, saya bisa ambruk.”
“Kalau pergi ke dokter, di mana Bapak bisa cocok berobat?”
“Wah, semua dokter sudah saya coba, Pak. Saya bahkan sudah menghabiskan ratusan juta untuk mengobati ini.”
“Sama saya juga, Pak. Apalagi kalau yang menangani dokter-dokter muda zaman sekarang itu, wah tahu apa mereka tentang penyakit yang menyerang kita yang sudah sepuh begini?”
“Barangkali mereka perlu penyakitan dulu seperti kita, baru bisa menyembuhkan orang lain,” canda si pemilik toko. Dan keduanya pun tertawa terpingkal-pingkal.
“Memang penyakit ini sangat aneh,” sambung si perampok, “ketika pergantian musim, dari musim panas ke musim hujan, tahu-tahu dia menyerang badan kita seperti sakit gigi yang menyerang secara tiba-tiba… sakitnya bukan main…”
“Tepat sekali… benar sekali apa yang Bapak bilang, saya juga begitu… saya juga begitu…,” katanya sambil tertawa. “Tapi ngomong-ngomong, kita keluar dulu yuk, ke warung kopi Pak Salim di perempatan sana. Kita bisa ngobrol sambil begadang di sana, soalnya kalau di sini kurang begitu nyaman, bagaimana?”
“Baik, kalau begitu.”
“Tapi, saya harus pakai baju dulu, lalu menutup warung, Masitoh… biar saya panggil istri saya dulu, Masitoh…!”
“Husst, Bapak nggak usah panggil-panggil istri Bapak. Biar saya yang memakaikan baju dan membantu menutup toko ini.”
Setelah memakai kemeja, pemilik toko dan perampok itu melangkah menuju tirai besi penutup toko, ditariknya keras-keras dari arah kiri dan kanan. Bunyinya berdecit keras memekakkan telinga. Ia segera mengamit topi dan belati dari atas meja, serta menyelipkannya ke balik jaket.
Tak berapa lama, istri pemilik toko muncul seketika di depan mata. Perampok itu agak gugup dan canggung, tetapi si pemilik toko justru memperkenalkan, “Ini kenalkan, sahabat lama Bapak, namanya… siapa Pak?”
“Kasanun.”
“Ya, Pak Kasanun. Ini istri saya Masitoh.”
Setelah bersalaman, mereka bergegas meninggalkan toko. Setelah berjalan beberapa langkah, si pemilik toko tiba-tiba berbalik sambil berujar, “Waduh, Pak Kasanun, saya lupa bawa dompet, nanti saya ambil dulu.”
“Ah, nggak usah repot-repot, Pak,” katanya sambil merengkuh tangan pemilik toko. “Tenang saja… biar nanti saya yang traktir….” (*)