CerpenTerbaru

Sang Calon Suami

Sang Calon Suami
Sang Calon Suami

Sang Calon Suami

Cerpen Oleh: Irawaty Nusa

Malam Jumat. Fauziah dan calon suaminya melangkah menyusuri jalan di sebelah kuburan sepulang makan baso di pasar Jombang. Malam itu tak seperti biasanya, dipenuhi kabut setelah hujan turun pada sore harinya. Sengaja mereka tidak mengendarai motor, karena jaraknya yang tak begitu jauh dari rumah, juga supaya ada kesan romantis berjalan berduaan dengan sang calon sambil berpegangan tangan satu sama lain.

“Malam ini mengingatkan kita pada lagi thriller yang dinyanyikan Michael Jackson,” kata Fauziah.

“Atau seperti lagu Zombie yang dinyanyikan The Cranberries,” balas sang calon suami.

Seketika mereka berdua mendengar suara seperti jeritan orang dari lokasi kuburan. Lalu, terdengar seperti sesuatu yang berat bergerak di belakang. Mereka berhenti melangkah, dan seketika saling berpandangan satu sama lain.

“Tenang saja,” kata calon suami menenangkan, “paling cuma suara daun dan ranting pohon. Tenang saja.”

Tapi anehnya, tak ada angin bertiup yang menyebabkan ranting bergesekan. Fauziah menelan ludah dan melihat sekeliling. Ada firasat kurang baik yang menyelinap dalam dirinya. Firasat itu berkembang pada sesuatu yang tidak mengenakkan, semacam firasat buruk yang bakal menimpa dirinya.

Ada apa ini? Apakah benar dalam bayangannya bahwa makhluk zombi itu memang ada? Ah, saya kira tidak mungkin (pikirnya). Mana ada orang yang sudah mati bangkit kembali. Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan hal seperti itu, bahkan sulit diterima oleh akal sehat.

Tapi ada apa ini? Fauziah tiba-tiba menatap wajah sang calon suami yang berubah menjadi diam dan kaku.

“Fauziah, kenapa jalanmu itu kayak WTS saja?” tiba-tiba laki-laki itu berkata ketus.

“WTS itu apa?” tanya Fauziah.

“Ah kamu pura-pura bloon saja? WTS itu perek alias jobong alias perempuan sundal, ngerti?”

“Oo begitu.”

“Jalanmu itu memalukan, tahu?”

“Saya kira, jalan saya biasa-biasa saja…”

“Kakimu itu mengangkang kayak perek!”

Fauziah merasa jengkel mendengarnya. Padahal, memang sandal kirinya agak terkelupas karena jalanan becek yang membuat lem sandalnya tidak terekat dengan kuat. Yang membuatnya jengkel, si calon suami tak mau bertanya baik-baik kenapa jalannya agak pincang atau agak miring ke kiri.

Tapi Fauziah berusaha untuk ridak membalas omongannya. Dia mencintai lelaki itu, dan lelaki itu pun mencintainya. Rencananya mereka akan menikah dua bulan lagi, dan tentu saja Fauziah tak mau terjebak dalam pertengkaran konyol. Barangkali memang benar, cara jalannya agak mengangkang seperti perek. Tapi apa salahnya dengan jalan seperti itu?

Baca Juga:  Bupati Nunukan Pimpin Upacara Hari Sumpah Pemuda Ke-96

“Baru pertama kali saya punya pacar yang jalannya seperti itu, tahu?”

“Oo begitu?”

Fauziah menduga-duga apakah sang calon suami sedang mabuk? Ah, tadi dia tidak minum apa-apa kok. Cuma makan baso dan teh botol, lalu merokok seperti biasa. Dan yang ia hisap pun rokok kretek biasa, yang dibeli dari warung samping tukang baso?

“Yang paling bikin saya sebal dan muak adalah dua tahi lalat yang ada di leher kananmu itu! Bagi saya, itu sama saja dengan tahi kucing, tahu?”

“Ah, masak sih? Tahi kucing kan bau? Sedangkan tahi lalat saya wangi kan, Sayang?”

“Wangi apaan? Tahi lalat di leher itu sama saja dengan tahi tikus yang baunya minta ampun!”

“Ah masak sih?”

“Masak sih, masak sih…,” kata sang calon tambah jengkel.

“Tapi kamu nggak pernah bilang kalau tak suka pada tahi lalat?”

“Yang bikin saya nggak suka itu tahi lalat yang norak, yang jelek kayak di leher kamu itu!”

Fauziah menggigit bibirnya. Ia masih berusaha mengendalikan diri sedapat mungkin.

“Yang lainnya yang perlu saya omongkan adalah soal bau badanmu itu, seperti bau pesing, tahu? Menjijikkan! Bau badanmu itu seperti bau terasi. Kamu tahu terasi nggak?”

“Ya, saya tahu,” jawab Fauziah lembut.

“Nah, itu sama saja dengan bau ikan asin. Kamu tahu kan, ikan asin?”

“Ya, tentu saya tahu.”

“Nah, kalau ikan asin masih mending, tapi kadang-kadang keringatmu itu kayak bau bangkai tikus yang tergeletak di bawah rak dapur…”

“Oo begitu?”

“Ya, kalau musim hujan begini masih bisa saya maklumi, tapi kalau musim panas, dan cuacanya membikin badan berkeringat, saya tidak bakal dekat-dekat dengan kamu.”

Fauziah menghela napas dalam-dalam, lalu ia menarik tangannya dari lelaki itu.

***

“Sebenarnya kamu mau ngomong apa sih tentang saya? Saya kira, selama ini kamu tenang-tenang saja tetapi kenapa tiba-tiba tega ngomongin yang begituan di depan saya sebagai calon istrimu sendiri?”

“Oo jadi kamu pengen dengar penilaian saya tentang kamu? Baiklah, oke, saya punya beribu-ribu kata yang mau diomongkan. Pertama soal jalanmu yang mengangkang, lalu soal bau badanmu yang tengik, lalu yang lebih parah lagi soal dua tahi lalat di lehermu yang menyebalkan. Nah, itu baru permulaan. Masih banyak yang perlu saya omongkan lagi selain itu.”

“Ayo silakan, omongkan saja semaumu.”

“Caramu memakai anting yang norak dan kampungan. Persis kayak perek dan pelacur. Saya heran kenapa anting itu digantung di bawah kupingmu yang jelek itu? Mending dipasang saja di bawah hidungmu. Itu akan lebih bagus menghiasi kedua pipimu yang berlemak itu. Persis kayak lemak domba dan babi. Sama juga dengan ibumu itu yang badannya gendut kayak kebo. Kalau dia bersuara, dari mulutnya terdengar seperti kambing yang sedang mengembik, eee…. Lalu bapakmu itu, tahu nggak, dia itu kayak teroris kelas kakap. Jenggotnya itu mirip penjahat yang kemarin dipenjara seumur hidup karena makan daging orang. Saya nggak tahu, jangan-jangan kedua orang tuamu itu seperti kebanyakan orang tua dari Baduy yang masih buta huruf. Ibumu juga tampangnya seperti perembuan pengemis yang badannya gendut, tapi matanya buta, persis kayak Nyi Mumun dalam novel Perasaan Orang Banten itu…”

Baca Juga:  HUT TNI Ke 79: Jajaran TNI di Nunukan dan NTC Gelar Trabas Gembira

“Saya tidak tahu, saya belum pernah baca novel itu…”

“Nah, itu juga menjadi satu masalah baru… jangan-jangan kamu juga baru bisa belajar membaca dan menulis seperti orang tuamu itu…. Karena itu, sepantasnya bagi keluarga kamu itu diikat dan disekap bersama-sama di dalam kamar. Lalu rumahnya disiram dengan bensin dan dibakar seperti kembang api… saya jamin itu akan lebih meriah dan semarak, dan semua orang akan bertepuk tangan…”

Fauziah terdiam kaku. Dia begitu marah sehingga mulutnya tidak bisa bekerja. Dengan agak terbata ia bertanya, “He lelaki! Kalau kamu memang benci dengan saya dan keluarga saya… lalu kenapa kamu memutuskan untuk menikah dengan saya?”

“Taik kucing! Itu karena terpaksa! Saya merasa sangat-sangat amat terpaksa! Terpaksa banget! Saya sudah pasrah mau menikahi kamu. Saya sudah menyerah. Karena hidup ini begitu kejam… hidup ini hanya sia-sia belaka… karena itu lebih baik saya memilih pasangan hidup yang sia-sia dari keturunan orang tua yang tidak ada gunanya sama sekali. Jadi, selama ini saya menganggap bahwa saya sama saja menikah dengan seekor kambing atau domba… ya, sekarang saya sudah putus asa… dan biarkan saya menikah dengan seekor babi! Dasar babi!!”

Fauziah berdiri di sana dalam keadaan pening dan limbung, “Lalu, bagaimana mungkin kamu….”

Tiba-tiba sang calon suami mencengkeram kepalanya sendiri. Wajahnya berkerut dan mengelupas, lalu dia terhempas jatuh ke tanah. Dia menggaruk pelipis mata dengan kukunya. “Hihi… ini sangat menyakitkan! Kepala saya rasanya mau pecah… aduhh, ini benar-benar menyakitkan…!”

“He, kenapa Akang? Apakah Akang baik-baik saja?” tanya Fauziah kaget.

“Saya nggak enak badan… kulit saya seperti terbakar… aduh, saya nggak kuat… saya nggak tahan….!”

Baca Juga:  Cawagub Jakarta Kun Wardana Temui Pengurus APTIKNAS

“Akang! Waduh, bagaimana ini?”

Fauziah menyentuh wajah calon suaminya. Tapi tangannya seperti ikut terbakar. Kulitnya panas sekali. Pelan-pelan Fauziah mencoba mengusapnya, tapi kulit mukanya tiba-tiba terkelupas. Semakin terkelupas. Daging merah berlendir kelihatan jelas. Fauziah tersentak dan melompat ke belakang.

Sang calon mengakak, lalu merobek seluruh kulit wajah dengan tangannya sendiri. Tiba-tiba bola matanya menjuntai keluar dari tempurung, lalu terpental ke bawah. Hidungnya menyusut ke dalam menyisakan dua lubang hitam pada matanya. Lalu, bibirnya menciut dan giginya gemeretak dan menyeringai di depan wajah Fauziah.

“Kalau kamu pengen tahu alasan saya bertahan dengan kamu, karena saya berencana untuk mengunyah dagingmu mentah-mentah seperti daging kambing. Ya, saya berencana mencincang dagingmu seperti sate dan menikmatinya dengan sambal terasi! Kamu juga pengen tahu, kenapa saya mau hidup denganmu? Semata-mata karena kamu itu perempuan bodoh, dungu, tolol, tetapi kamu tidak menyadarinya selama ini, hehehe….!”

Fauziah berlari sekencang-kencangnya. Tetapi gumpalan daging itu semakin mendekat dan mengejarnya. Fauziah merasa kesulitan untuk berlari, terasa ada beban yang berat, kemudian jatuh terhuyung-huyung ke belakang. Di samping kuburan, tangan berlendir itu berhasil mencengkeram kerah baju Fauziah, hingga ia berteriak menjerit-jerit.

***

Lelaki itu segera menuju kamar calon istrinya. Ia menepuk-nepuk pipinya hingga terkesiap kaget. Ia menatap wajah Fauziah sambil tersenyum.

“Kenapa, Sayang? Ada apa? Kamu mimpi buruk ya?”

Fauziah duduk dan melihat sekeliling, lalu katanya, “Apakah saya menjerit?”

“Ya, berteriak dan menjerit-jerit.”

“Apakah suaranya keras?”

“Ya, keras sekali.”

“Maafkan saya,” katanya merendah.

“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi buruk.” Ia menatap wajah Fauziah yang kelihatan memerah, “Mimpi apa, Sayang… apakah mau disampaikan mimpinya sama Akang?”

“Aduh nggak usah, mimpinya buruk sekali… buruk sekali…”

“Ayo ceritakan saja, mimpi apa itu?” desak sang calon suami.

“Jangan, saya nggak mau… saya nggak mau lagi mempersoalkan mimpi itu….”

“Tapi akan lebih plong kalau kamu menceritakannya terus-terang…”

“Nggak sanggup… saya nggak mau ngomongin mimpi itu sekarang….”

Keduanya diam mematung. Si lelaki memeluk calon istrinya. Dari kejauhan terdengar suara-suara kambing mengembik.

“Akang,” kata Fauziah dengan mata menerawang, “Coba tolong lihat, apakah masih ada tahi lalat di leher saya ini…”

“Maksudnya dua tahi lalat di leher kananmu itu?”

“Iya benar, bagaimana menurut Akang?”

“Maksud kamu, dua tahi lalat yang seperti tahi kucing itu?”

Fauziah mengucek-ucek kedua bola matanya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, apakah mimpi buruknya itu sudah berakhir atau masih berlanjut? (*)

 

Penulis: Irawaty Nusa,Cerpenis dan peneliti historical memory Indonesia

Related Posts

1 of 3,057