Pikiran Orang Indonesia – Membaca Dualisme Sejarah Bangsa
Oleh: Supadilah, generasi milenial dan pemerhati kesusastraan Indonesia
Sejarah ditulis untuk kepentingan penguasa. Mungkin sejarah buatan itu pula yang selama ini kita konsumsi dan dianggap benar. Bahwa sejarah tergantung pemesannya. Buku ini mengajak pembaca menerka kebenaran sejarah bangsa terutama di tahun 1965-orde baru-runtuhnya orde baru. peristiwa besar sebagai bagian sejarah bangsa ini tidak lepas dari campur tangan manusia. Penulis menggunakan sudut pandang tokoh saya sebagai tokoh utama dalam novel.
Diceritakan seorang pemuda bernama Ris. Sedari kecil punya keinginan untuk belajar filsafat dan keagamaan. Kakek Pramudya punya andil membentuk pola pikirnya tentang bangsa ini. ‘Jangan sekali kali melupakan sejarah. Jangan hianati rakyat’. Pengaruh dari teman telah menjerumuskan nya untuk bergabung dalam Gerakan Pemuda Orde Baru. Sebuah gerakan yang bertugas mengamankan negara apapun caranya. keamanan dan stabilitas negara adalah tujuan tertinggi. Untuk mencapai boleh menghalalkan segala cara, termasuk dengan teror dan kekerasan. GPOB ini kelak menimbulkan banjir darah dari korban-korban rakyat sendiri.
Dia bersama dengan pemuda lainnya ditempatkan di sebuah asrama dalam rangka pendidikan. Menerima doktrin melalui buku Buku Putih G30S/PKI, Pemberontakan PKI dan Penumpasannya, dan buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Peristiwa yang sangat diketengahkan dalam diskusi dan doktrin adalah tentang gerakan 30 September 1965 dan PKI. Pusat perhatian pada orang-orang PKI.
Maka dengan sendirinya mereka jadi pembenci. Mengarahkan hidup supaya jadi pembenci. Menciptakan gambaran musuh disetiap pemuda bahwa ada satu musuh yang menitiskan kebejatan dan kebiadaban. Musuh itu tak punya masa lalu dan tak terbedakan miskin atau kaya. Dalam asrama itu, tidak jarang mereka dilatih oleh tentara berseragam. Kadang datang pula seorang tentara dengan lambang-lambang kepangkatan yang menunjukkan dia adalah perwira tinggi. GPOB adalah gerakan yang melanggengkan kekuasaan pemerintah di masa itu. Kesewenang-wenangan pemerintah melakukan tindakan represif terhadap pihak yang berusaha mengkritik kebijakan pemerintah. Kelompok masyarakat yang dianggap menggoncang stabilitas nasional disebutlah dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Sehingga setiap pihak merasa perlu mencegah dan menumpas gerakan itu guna menciptakan keamanan.
GPOB itulah yang sering berhadapan langsung dengan kelompok GPK. Kekerasan menjadi salah satu langkah kerjanya. Pembakaran satu kantor partai oposisi pemerintah dilakukan pula oleh GPOB. Dan Ris, adalah salah satu pelakunya. “Jika yang lebih dipentingkan adalah perkara ketertiban dan keamanan nasional, maka segala hal selain itu menjadi tidak penting”. Itulah doktrin gubahan dari pernyataan filosof Albert Camus. Maka, korban harta, benda hingga nyawa tiada masalah dikorbankan demi negara. Itulah landasan berpikir militer di jaman orde baru. Buruh-buruh yang melontarkan protes terhadap pemerintah dihadapi dengan dorongan, pukulan, dan pentungan oleh GPOB yang mendapat dukungan dari tentara di belakangnya. Oknum yang melawan akan dilabeli PKI. Sehingga patut untuk dimusuhi bahkan dianiaya.
Tidak jarang, seseorang yang vokal melakukan perlawanan kepada pemerintah dihabisi dengan seenaknya. Seorang buruh wanita ditemukan tewas di sebuah gubuk. Wanita itu yang dituding otak pemogokan para buruh. Dia aktif dilapangan ketika dia dan teman-temannya mengadakan unjuk rasa di lapangan. Dari hasil otopsi menunjukkan bahwa wanita itu tewas akibat tusukan benda keras. Selaput daranya robek serta tulang kelamin bagian depannya hancur. Diduga keras ia mengalami penyiksaan berat hingga ajalnya (halaman 63).
Wartawan yang gencar memberitakan keburukan pemerintah pun menjadi sasaran. Tiba-tiba saja wartawan iti dinyatakan hilang. Tidak berapa lama setelah itu, tersiarlah kabar kematian sang wartawan. Kebenaran tidak dapat disembunyikan selamanya. Hanya menunggu waktu, batasan kegelapan sang tokoh dalam menjalani kehidupan kelamnya berada terkuak. Melalui temannya semasa kecil dulu yang merupakan seorang wartawan, kegamangan terhadap apa yang dijalaninya semakin menguat. Terngiang sang tokoh pada ucapan kakek Pramudya, ‘Bersiaplah menghadapi peristiwa yang serba penuh misteri. Nanun jangan takut merubah prinsip hidup jika kita menemukan kekeliruan-kekeliruan (halaman 105).
Rencana Ris yang hendaknya berhenti dari GPOB tercium oleh anggota lain. Ris pun disekap dan disiksa tiada ampun. Akibat siksaan yang berat itu, Ris jatuh sakit. Namun bayangan kesalahan atas yang sudah dilakukannya lebih membuat jiwanya terguncang. Dengan alasan kesehatan, Ris pun dipulangkan. Namun tetap diawasi oleh anggota gerakan. Di rumah, Ris terus dibayangi kesalahan. Teror bisikan tanpa wujud terus mengganggu tidurnya. Seringkali Ris meninju-ninju, melempar barang apa saja ke arah munculnya suara. Terganggu oleh mimpi yang meneriakkan kata yang sama: “PKI teroris… PKI teroris..”
Secara umum, buku ini menyajikan fakta sejarah yang mungkin berbeda. Kritikan terhadap pemerintahan orde baru dan tokoh sentralnya bisa saja mempunyai andil atas gerakan G30S. Juga penyimpangan Supersemar yang mengakibatkan adanya sejarah bangsa hingga kondisi sekarang. Buku ini adalah non-fiksi, tapi ceritanya bisa mengandung kebenarannya. Sebelum membaca buku ini hendaknya kita sudah punya prinsip atas sejarah bangsa supaya kita bisa memutuskan mempercayai cerita sejarah novel ini.