Diskusi Hati
Sembari menatap kerumunan
Dia bercumbu dengan sunyi
Sang qalbu menggiring
Agar dia menulis puisi
Dipungutnya ribuan kata
Manifesta hati
Menjawab seluruh gulana
Purwokerto, 26 September 2019
Keluh Kesah
Jangan terlalu larut sebab duka
Nestapa jiwa mengundang lara
Mengisi hari menghibur bahagia
Membungkam duka lara
Membuat ringin angan seolah nyata
Menelusuri sisa bahagia hilangkan gundah
Dia ku panggil Beringin
Kokohnya kuat menahan ribuan angin
Tak lelah menopang resah
Ketika gemuruh menggelora gelisah
Purwokerto, 26 September 2019
Lara
Jangan senang ketika digenggam
Besok atau lusa kau akan dihempas begitu kejam
Jangan nyaman ketika dipuji
Besok atau lusa kau akan dipukuli sampai mati
Jangan percaya, jangan mau percaya
Kau bukanlah segalanya untuk dia
Besok atau lusa ia akan lupa segalanya
Sekarang ia akan selalu ada
Namun besok ia akan merobek dada
Menangis, lara
Tak penting baginya
Panen
Setibanya di “Peraduan”
Yang kurindukan, tiba-tiba
Teringat kisah Basudawa Krisna
Rupawan, berani, bela kebenaran
Dan kisah cinta Rama Sinta
Yang tak lekang oleh masa
Lalu, ku atur ritme sajakku
Kumainkan pena
Selayaknya panah sang Rama
Ku “solek” sajakku agar se’tampan sang Krisna
Hujan Mei
Selamat malam
Hujan kali ini begitu perdu
Ia membuatku ingat akan suatu kepergian
Dari sebuah lagu yang hampir kehilangan
Melodi-melodi sepertiga bait telah punah
Dikaramkan seribu anak panah mata hujan
Dan aku lelah
Mengantar rindu dan perih ini ke ujung pulaumu
Jejak nafasku di Mei ini adalah yang terakhir
Merupakan jamuan sepi menghidang lara
Garis-garis penaku telah terukir di baitku menyebut namamu
Aku menyerah
Gerak jemariku menulismu terhenti
Semenjak hujan mengirimiku sebuah buku dongeng tak berjudul
Detak jantungku serasa berdegup di irama hela nafasmu
Izinkan aku melarikan segala sajak di matamu
Sekali ini saja
Aku ingin kembali ke sepinya mata angin di utara kota
Meskipun Mei ini belum benar-benar dimulai
Kapan dan dimana kita akan merajut
Kembali kepulangan itu
Purwokerto, 30 September 2019
Perahu Senja
Dan aku
Aku telah mengubur semua kerinduan
Di lahat samudera yang paling dalam
Telah aku kebumikan nafas yang dulu pernah menghembus
Lelaki
Andai saja kau mau belajar memahami waktu
Perihal masa yang tak selamanya soal menunggu
Aku pasti akan bercerita banyak
Tapi aku terlambat
Purwokerto, 30 September 2019
Tentang penulis:
Izzatun Nutfah, lahir di desa pelosok, Siwuluh Bulakamba Brebes, pada 07 Februari 2001. Saat ini, dia sedang menjalani pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto Fakultas Dakwah Prodi BKI.