Esai

Dari Fiksi Menjadi Fakta

sebuah esai, penyihir kata, yanwi mudrikah, kumpulan esai, esai indonesia, esais indonesia, esais, esais nusantara, nusantaranews, nusantara news
Penyihir Kata. (Ilustrasi/Lukisan Nasirun/Istimewa)

Dari Fiksi Menjadi Fakta

Oleh: Chudori Sukra, Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Jawilan, Serang

“Realisme dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer telah mampu mengurai benang-benang merah dalam satu kesatuan, bagaikan menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang berserakan, sehingga karya sastranya berhasil melampaui realitas sejarah itu sendiri.” (Eka Kurniawan)

Apa yang disampaikan sastrawan muda Eka Kurniawan tersebut, mengingatkan saya pada novel Pikiran Orang Indonesia, yang pernah saya singgung dalam opini “Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani” (Kompas, 21 November 2018). Kita melihat bagaimana seriusnya para sastrawan mengurai gagasan melalui kata-kata, hingga sarat dengan bobot kedalaman makna dan tafsir. Dalam novel Pikiran Orang Indonesia, fakta-fakta yang ditemukan kaum jurnalis dapat dihimpun dan dipadukan secara apik dan menarik.

Fakta dan fiksi di seputar kejatuhan rezim Orde Baru dan kerusuhan Mei 1998, seakan menjelma kembali menuju realitas masa kini pada 21-22 Mei 2019 lalu. Ketika pihak antagonis yang mengemuka adalah kaum perusuh, sedangkan pihak protagonis sebagai penyelenggara keamanan negara, hal itu adalah kemasan fisik yang bersifat kasatmata. Tetapi pada prinsipnya, apa yang dikemukakan Pramoedya Ananta Toer tetap valid, bahwa pelaku-pelaku kesewenangan dan ketidakadilan – dari unsur manapun – tetap harus diadakan perlawanan, sebab kebenaran harus diperjuangkan agar menjadi benar.

Pada opini-opini saya di harian Solopos, Analisa, Kalteng Pos, hingga Padang Ekspres yang berjudul “Tantangan Universalitas dalam Sastra Indonesia”, saya ingin mamparalelkan novel Pikiran Orang Indonesia dengan uraian-uraian yang dikemukakan sastrawan muda Jawa Barat, Eka Kurniawan melalui artikel terbarunya tentang dosa-dosa kolektif bangsa ini:

“Bagaikan membaca roman Max Havelaar, di situ nampak kekuatan yang menerbitkan rasa malu pada diri sendiri. Saya yakin buku itu akan membuka mata dan kesadaran banyak orang. Karena bagaimanapun, sangat penting bagi kita untuk mengakui kebiadaban diri kita, serta didera oleh rasa malu karena kebiadaban itu. Saya merasa terganggu bukan pada peristiwa penculikan dan pemerkosaan, atau klandestin yang disiksa, tapi justru pada pelaku-pelaku kejahatan yang seakan mewakili diri kita sebagai manusia Indonesia.”

Sastra masa kini

Saat ini, mestinya kita menyadari fungsi dan peran kebangsaan kita, sebagai ahli waris dari kebudayaan dunia yang sah, tanpa harus menghancurkan nilai-nilai masa lalu yang dianggap usang (obsolete). Pada novel Pikiran Orang Indonesia seakan kita disentakkan oleh kontekstualitas sastra Indonesia dalam bingkai humanisme universal. Sebab bagaimanapun, Indonesia hanyalah bagian dari lokal yang global ini. Dalam dunia fiksi, meskipun kita mengakui fakta Indonesia yang memiliki hukum kausalitasnya sendiri, ia tetap menjadi bagian dari peradaban manusia-manusia dunia yang sedang berlangsung hari ini hingga ke masa yang akan datang.

Baca Juga:  Tangkis “Serangan” Paslon 01 dengan Data dan Fakta Akurat, Khofifah-Emil The Best

Nilai-nilai masa lalu juga menjadi bagian dari fakta masa kini. Semangat kebangsaan yang tertuang dalam novel Pikiran Orang Indonesia, menunjukkan bahwa sejarah Indonesia merupakan matarantai tak terpisahkan antara masa lalu dan masa kini, hingga kita mampu melangkah dengan ringan di masa yang akan datang. Seorang penulis yang baik, akan sanggup membangun fakta dan fiksi masa lalu, kemudian secara kausalitas menjelma ke dalam fakta masa kini. Meskipun novel tersebut telah terbit sejak 2014 lalu, tapi coba Anda perhatikan ramalan-ramalan yang terungkap di bawah ini (hal 132-133):

Kerusuhan itu terus menjalar seperti ular-ular berbisa. Mereka menyerobot, menjarah, menyelusup masuk seperti pohon-pohon beracun yang serta-merta merembeti dinding-dinding rumah, seperti semut-semut rangrang yang menggeremet, seperti belalang-belalang yang menyerbu pesawahan, dan seketika itu menggerogoti hektaran lahan-lahan padi yang siap panen.

Dan lihat itu! Gerombolan-gerombolan berseragam hitam itu! Mau apa mereka menggedor pintu-pintu rumah penduduk, bahkan menyerobot masuk?
Semua anggota Gerakan berpencar ke sana kemari, termasuk kesatuan-kesatuan militer di bawah komando pimpinan ABRI. Kami hanya diam melompong, sama sekali tak paham harus berbuat apa. Saya melihat beberapa perwira ABRI juga melongo saja di ruas-ruas jalan.

Dan coba lihat itu! Nampak dua orang sedang bersedekap di samping mobil tentara! Siapa mereka-mereka itu?

Mamat membisiki saya bahwa ia mengenal dua orang yang sedang bersedekap itu. Ia menyatakan bahwa mereka adalah perwira militer yang pernah diutus Presiden Soeharto untuk mengikuti program-program Terrorism in Low Intensity Conflict, suatu training kemiliteran menganai teror yang diselenggarakan oleh Pentagon Amerika, melalui program kerjasama militer IMET.

Saya katakan bahwa saya tidak mengerti apa yang dimaksudkan Mamat itu, meski ia tetap melanjutkan bahwa kedua orang itu juga pernah ditugaskan untuk memimpin Operasi Militer di wilayah Timor Timur sejak tahun 1990-an.

Namun yang menjadi pikiran saya: mau apa mereka bersedekap di situ? Memantau kerusuhan? Memantau dengan tenang puluhan mayat yang mati terbakar atau tertembak? Untuk apa?

Jujur pada diri sendiri

Pada prinsipnya, masyarakat Indonesia akan mampu menilai kualitas karya sastra dengan syarat, mereka harus punya kehendak untuk membuka diri, serta mengakui dosa-dosa kolektif yang diperbuat oleh tangannya sendiri. Sebab, karya sastra yang baik bersumber dari kelapangan hati dan akal budi, dengan niat dan itikad baik untuk mencerdaskan umat. Penikmat karya sastra akan memulai diri dengan hati yang bersih dan lapang, tidak dinodai oleh kabut prasangka, intoleransi, dan primordialisme. Karya sastra yang ditulis berdasarkan olah rasa yang baik, memang hanya dapat dinikmati oleh para pembaca yang mau membuka hati nuraninya.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Persoalan jati diri manusia Indonesia yang terungkap dalam Pikiran Orang Indonesia menunjukkan betapa gambaran masa lalu yang tersampaikan melalui kekuatan imajinasi, telah mampu menembus sekat-sekat masa kini, sebagai matarantai yang tak terpisahkan. Masa lalu telah hadir ke dalam fiksi, pikiran dan gagasan masa kini, bahkan impian-impian manusia masa kini.

Pencerahan fiksi masa kini, dapat mengarahkan pembentukan fakta manusia Indonesia di masa depan. Fakta dan fiksi di seputar peristiwa Mei 1998, telah menjelma sebagai fakta di seputar Mei 2019 lalu. Begitupun dengan fiksi masa kini, yang digarap dengan kekuatan imajinasi sastrawan dapat menjelma sebagai gambaran fakta masa depan. Karena itu, kualitas sastra yang mampu menghubungkan kehidupan dalam lintas zaman, telah berhasil menghubungkan genealogi manusia dan bangsa masa kini. Termasuk karakteristik kaum anarkis, perusuh, hingga genealogi kaum agamawan dan seniman sekalipun. Coba perhatikan pengakuan sang perusuh dalam Pikiran Orang Indonesia (hal: 77-78) berikut ini:

Mula-mula saya diberitahu Martono agar menghadap Pak Sapta, salah seorang pembimbing Gerakan. Bergegaslah saya menuju kantornya. Wejangan-wejangan dari Pak Sapta mengarahkan saya agar menuruti apa-apa yanag diperintahkan atasan, meski saya tak pernah diberi alasan apapun mengapa harus bergabung dengan kesatuan baru, di bawah Arif selaku komandannya. Semua perintah itu serba kabur dan tersamar, akan tetapi membawa saya pada situasi yang sangat memaksa hingga mau tak mau harus terjun dan melibatkan langsung di tengah insiden itu.

Saya tidak tahu apakah penulis novel Pikiran Orang Indonesia pernah mengacu dari motto hidup para sastrawan Pujangga Baru yang mendasarkan diri pada pemikiran, bahwa tiap-tiap karya fiksi hanya dapat dikatakan fiksi manakala ia mampu mengemas harmoni dan kesenyawaan pada fakta masa lalu. Dan setiap fiksi masa kini, adalah modal utama dalam menggagas fakta masa depan.

Pengarang novel tersebut yang merupakan pemuda kelahiran Cilegon-Banten, barangkali tergenangi oleh nafas religiositas kebantenan lalu menuangkannya ke dalam cita-rasa kesenian Indonesia masa kini. Joesoef Isak selaku penerbit novel-novel Pramoedya Ananta Toer, juga mantan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) pernah menyebut-nyebut nama Hafis Azhari, sebagai cendikiawan muda Indonesia yang membangun kekuatan fiksi atas fakta zamannya. Ia mendobrak kultur eksistensialisme Indonesia yang digagas para seniman kita, yang seringkali mengacu dari pos-modernisme Eropa hingga Amerika Latin.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Sementara, postmodernisme Indonesia, baik secara kultural maupun religiositas, jelas memiliki latar yang amat berbeda. Tidak jarang kaum seniman kita – termasuk yang senior – melahap mentah-mentah fiksi global, atau lokalitas lain, untuk diadopsi dalam gaya penulisan sastra Indonesia, tanpa sikap kritis yang memadai. Tetapi, dalam Pikiran Orang Indonesia, nampak sekali narasi-narasi yang kental keindonesiaan, dan digali melalui olah rasa dan olah pikir penulisnya. Ia telah berhasil menggali genealogi persoalan-persoalan masa kini, sambil menghubungkan diri dalam sejarah masa lalu, karena banyak nilai-nilai penting dalam sejarah kita yang patut diperhitungkan untuk kemaslahatan generasi ke depan.

Demi masa depan

Kita semua hidup pada masa kini dalam realitas konkret. Kita telah terlibat dan mengalami efek dan dampaknya, baik maupun buruknya. Masa kini hadir setelah adanya masa lalu. Karena segala sesuatu berada dalam rentang waktu, konsekuensinya masa kini adalah akibat dari masa lalu. Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan akibat dari suatu sebab yang tertuang dalam novel Pikiran Orang Indonesia telah menjadi keniscayaan sejarah masa kini. Segala sesuatu dalam hidup ini dapat terlihat dengan jelas keterhubungan makna kausalitas dan hukum alamnya, melalui pandangan jernih kaum sastrawan yang memiliki cita-rasa religiositas tinggi.

Menurut penuturan sastrawan Jacob Sumardjo – dalam kaitannya dengan Pikiran Orang Indonesia – bahwa orientasi fiksi Indonesia dengan fiksi global sangat menggejala dalam polemik kebudayaan sejak era tahun 1950-an. Sejarah pemikiran dalam sastra Indonesia membuktikan bahwa setelah Pujangga Baru, yakni sekitar pasca 1940-an, orientasi global lebih dominan. Surat Kepercayaan Gelanggang mengikrarkan bahwa manusia Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dunia.

Karena itu, kita bisa memahami narasi-narasi yang tertuang dalam Pikiran Orang Indonesia, yang tetap eksis mendasarkan diri pada pola penulisan dan gaya bahasa yang menjadi warisan sah dari arus peradaban manusia-manusia global. Ia telah sanggup mewakili globalitas manusia Indonesia masa kini. Dalam istilah bapak bangsa Soekarno, “Kita boleh terlahir sebagai orang Jawa, tetapi pola pikir kita harus pasca Jawa. Kita juga terlahir sebagai orang Indonesia, tapi wawasan kita harus mendunia dan menjadi manusia pasca Indonesia.”

Related Posts

1 of 3,051