Langkah presiden Jokowi sedang ditunggu. Bank bank internasional tempat uang tersebut disimpan sudah membuka diri kepada pemerintah Indonesia. Bank bank tesebut juga khawatir terhadap masalah hukum yang akan timbul di kemudian hari terkait dengan uang haram yang mereka pegang.
Oleh: Salamuddin Daeng
APBN Mangkrak
Dalam beberapa waktu terakhir beragam spekulasi menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi tidak punya uang, dan tidak akan mampu membiayai pemerintahannya sampai dengan akhir tahun ini. Logika dibangun berdasarkan kondisi penerimaan negara yang stagnan, utang jatuh Tempo yang besar dan beban subsidi BBM, listrik, BPJS, yang besar. Konon beban APBN tersebut selalu ditutupi dengan utang baru. Namun ditengah situasi global yang buruk, pemerintah sudah mulai kesulitan mendapatkan utang.
Sinyal akan adanya resesi datang dari pemerintah sendiri. Menteri keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa resesi sudah datang. Menko perekonomian Darmin Nasution dan Wapres Jusuf Kalla mengingatkan siklus krisis 10 tahun yang terjadi dalam tahun tahun mendatang.
Dalam laporan McKinsey and Company, disebutkan bahwa korporasi di Australia, Cina, Hong Kong, India, dan termasuk Indonesia menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. Khusus untuk Indonesia, utang jangka panjang dengan ICR kurang dari 1,5 mencapai 32 persen.
Selain itu, tingkat utang Indonesia yang menggunakan mata uang asing berada di angka 50 persen, jauh di atas rata-rata di negara-negara yang proporsinya hanya sebesar 25 persen. Tingginya utang dengan denominasi asing tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang.
Untuk mengatasi masalah keuangan negara, pemerintah mulai mewacanakan Tax Amnesty jilid II, sebagai tindak lanjut atas kegagalan tax amnesty jilid I. Namun proposal Indonesia kepada global ini tampaknya dipandang bukan jawaban untuk menyongsong era keterbukaan informasi keuangan tahun 2021 mendatang. Tax amnesty justru dipandang akan berdampak semakin merebaknya “peternakan” uang kotor dalam ekonomi.
Tapi masalah utama pemerintah itu adalah APBN yang tidak dapat berlanjut. Sumber penerimaan negara semakin sempit seiring harga komoditas jatuh. Harga batu bara jatuh hingga ke level paling rendah dalam masa Pemerintahan Jokowi, harga minyak pun tak kunjung naik sebagaimana yang diharapkan pemerintah, harga CPO harus minta tolong pertamina sebagai pasar, harga komoditas lain juga memgalami nasib sama. Intinya pemerintah sedang dalam keadaan susah uang. Bisa shutdown.
Miskin Selamanya Atau Kaya Mendadak
Memang kalau dilihat sepintas beban APBN makin lama makin besar. Utang jatuh Tempo mencapai lebih dari Rp. 400 triliuun, subdisi BBM, LPG, listrik, mencapai Rp. 130 triliun, konon dikatakan subsidi untuk BPJS dapat mencapai Rp. 80 triliun, dana pendidikan dipatok 20 persen dari APBN, dana desa dipatok 1 miliar per desa, dana kesehatan dipatok dalam jumlah tertentu. Akibatnya APBN sama sekali tak punya kemampuan dalam membiayai pembangunan. Bahkan untuk menutup kewajiban utang dalam tahun tahun mendatang sepertinya tidak akan sanggup.
Namun kalau dilihat secara komprehensif sebetulnya uang Indonesia sangat luar biasa besarnya. Uang itu tidak ada di atas meja, namun di belakang meja, uang itu tersimpan ditempat tempat yang gelap, uang itu beredar secara ilegal (Back office) membiayai ekonomi, keuangan dan perdagangan. Uang itu tidak tersentuh oleh regulasi pajak, UU keuangan, dan bahkan tidak tersentuh oleh hukum hukum dan lembaga lembaga penegak hukum.
Berapa besar uang tersebut? Swiss bank mengumumkan bahwa uang orang Indonesia yang tersimpan di swiss tersebut mencapai Rp. 7000 triliun. Diperkirakan uang yang tersimpan di Singapura mencapai Rp. 4000 triliun. Presiden Jokowi mengaku bahwa beliau memegang nama nama orang Indonesia yang menyimpan uangnya secara ilegal di luar negeri dalam rangka menghindari pajak dan berputar sebagai uang hasil kejahatan keuangan. Sri Mulyani, Bambang Brojonegoro, konon katanya juga mengatasi keberadaan rekening orang Indonesia di Luar negeri tersebut.
Presiden Jokowi hanya butuh satu langkah saja, yakni menyita uang tersebut dan dikembalikan ke Indonesia, dikelola negara sebagai sumber dana pembangunan, bukan hanya pembangunan Indonesia, namun juga ASEAN, Asia dan bahkan dunia. Dengan kekuatan dana yang mencapai Rp. 11 ribu triliun maka Indonesia dapat membuat bank investasi baru, bank infrastruktur baru, bank internasional sebagai modal pembangunan dunia yang didasarkan pada prinsip prinsip kerjasama yang saling menguntungkan.
Menjalankan Mutual Legal Assitance (MLA)
Langkah presiden Jokowi sedang ditunggu. Bank bank internasional tempat uang tersebut disimpan sudah membuka diri kepada pemerintah Indonesia. Bank bank tesebut juga khawatir terhadap masalah hukum yang akan timbul di kemudian hari terkait dengan uang haram yang mereka pegang. Sudah banyak pejabat keuangan Eropa, swis, Jerman yang harus meringkuk di penjara akibat tuduhan memfasilitasi penggelapan pajak dan pencucian uang. Mereka sadar bahwa era ICT, keterbukaan informasi, akan menjadi masalah jika masih tetap memyembunyikan uang hasil kejahatan keuangan.
Tahun 2021 adalah era keterbukaan informasi keuangan, baik pribadi maupun bank tidak ada lagi yang dapat menutup keberadaan uang haram. Mereka juga sedang berhadapan dengan pidana yang berat jika tetap bermain main dengan uang tersebut. Era yang berlangsung secara bersamaan dengan Tsunami digitalisasi akan menbuat tak ada satu manusia pun dapat menyembunyikan kebutuhannya bahkan keinginannya.
Berbagai negara sedang melalukan perburuan pada uang haram, Amerika Serikat secara aktif memburu orang orang yang melalukan penggelapan pajak dari negara tersebut. China sedang menggolkan UU extradisi sebagai alat untuk memburu para pelaku kejahatan keuangan untuk diadili di Tiongkok. Intinya pemilik uang dan penyimpan uang dalam ancaman internasional, terbuka sekarang atau masuk Penjara.
Langkah Presiden bukan tax amnesty jilid II tapi menerapkan Mutual Legal Assitance (MLA) yang telah ditandatangani di ASEAN, dan telah ditandatangani secara bilateral antara Indonesia dengan Swis. MLA akan membuka ruang bagi penyitaan seluruh uang haram yang disimpan di luar negeri hasil kejahatan keuangan. Berbeda dengan tax amnesty yang memgembalikan uang haram pada pemiliknya, sedangkan MLA adalah mengembalikan uang kepada negara yang mengadili kasus kejahatan keuangan yang terjadi di negara tersebut di masal lalu.
Jika Pak Presiden Jokowi mau, (karena kalau tidak mau bisa dituduh melindungi penjahat keuangan) maka tentu Indonesia akan kaya mendadak, jangankan satu ibukota, sebanyak 30 ibukota baru bisa dibangun presiden Jokowi, masalah defisit APBN, Defisit BPJS, subsidi BBM, LPG, Subsidi Listrik, utang LN, hanyalah upil yang menempel di hidung, hanya butuh jari kelingking untuk menyingkirkannya.