Mancanegara

Mencermati Nasib Perjanjian Senjata Nuklir dan Pemusnah Masal Lainnya

Mencermati nasib perjanjian senjata nuklir
Mencermati nasib perjanjian senjata nuklir. Tampak Presiden AS, Barack Obama dan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev ketika menyepakati perjanjian New START pada 2010/Foto: wikipedia

NUSANTARANEWS.CO – Mencermati nasib perjanjian senjata nuklir dan pemusnah masal lainnya. Berakhirnya The Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF Treaty) antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia (Uni Soviet) telah menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan kontrol senjata nuklir, termasuk senjata pemusnah masal lainnya. Para pembuat kebijakan di Washington sendiri berdebat sengit dan sepakat bahwa AS harus mencegah penggunaan senjata nuklir. Tapi persoalannya adalah bagaimana merombak kontrol senjata era Perang Dingin (Cold War) agar lebih sesuai dengan zaman baru di mana semakin banyak negara memiliki akses ke taknologi nuklir.

Pendukung kontrol senjata pemusnah masal mengatakan bahwa keputusan penyebaran rudal berhulu ledak nuklir di sepanjang perbatasan Rusia dan Eropa Timur, berpotensi merusak keamanan Eropa – sekaligus mendorong kemungkinan perlombaan senjata baru yang melanggar batasan yang ditetapkan dalam INF Treaty, kata Bonnie Jenkins, penasihat Kebijakan Luar Negeri AS yang berbasis di Washington.

Baca Juga:  Eropa Berharap Menjadi "Gudang Senjata Perang" untuk Menyelamatkan Ekonominya

Namun para pejabat pemerintahan Trump lainnya mengatakan bahwa tidak ada gunanya mematuhi perjanjian, dengan dalih bahwa Rusia telah melanggar peerjanjian nuklir itu. Para pejabat Gedung Putih itu juga melihat bahwa Cina diam-diam mendapatkan keuntungannya sendiri dengan mengembangkan rudal balistik jarak menengahnya untuk ditempatkan di Asia Timur.

Penarikan AS dari INF Treaty memang menimbulkan banyak pertanyaan terkait nasib perjanjian kontrol senjata nuklir dan pemusnah masal lainnya – terutama pakta Strategic Arms Reduction Treaty (START), kesepakatan yang ditandatangani oleh Presiden AS, Barack Obama dan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev pada 2010. Traktat yang resminya bernama Measures for the Further Reduction and Limitation of Strategic Offensive Arms yang ditandatangani 8 April 2010 di Praha.

Traktat itu bertujuan melucuti sepertiga persenjataan nuklir kedua belah pihak dan membatasi tidak lebih dari 700 rudal balistik antarbenua yang dikerahkan, termasuk rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam, dan pembom strategis. Perjanjian itu akan berakhir pada 2021 kecuali jika kedua belah pihak sepakat untuk memperpanjangnya.

Baca Juga:  Kekuatan dan Potensi BRICS dalam Peta Politik Global Mutakhir

Para pendukung kendali senjata memperingatkan bahwa penghentian Perjanjian INF dan START akan mengguncang pilar kendali senjata dan berpotensi memicu perlombaan senjata nuklir baru. Bila Perjanjian New START tidak diperpanjang maka untuk pertama kalinya dunia tidak memiliki perjanjian pengendalian senjata antara dua kekuatan nuklir terbesar sejak 1972.

Presiden Trump sendiri telah mengindikasikan bahwa perlu perjanjian nuklir baru yang melibatkan AS, Rusia, dan Cina (yang sebetulnya persenjataan nuklirnya belum sebanding AS dan Rusia).

Sementara Rusia sendiri telah jauh meninggalkan apa yang tertuang dalam perjanjian New START dengan mengembangkan rudal hipersonik dan torpedo berkecepatan tinggi yang mampu membawa hulu ledak nuklir. Sebuah perkembangan sistem strategis baru yang belum terbayangkan ketika traktat START dibuat.

New START dalam bentuknya saat ini memang hanya berpatokan pada perlucutan senjata dan pembatasan senjata nuklir. Tidak mengikat kemajuan teknologi lain seperti yang dikembangkan oleh Rusia.

Dalam sebuah pidatonya pada hari Selasa, Penasihat Keamanan Nasional Presiden Trump, John Bolton menyebut New START sudah “cacat sejak awal” dan mengatakan: “Mengapa memperluas perjanjian yang cacat hanya dengan mengatakan Anda memiliki perjanjian?”

Baca Juga:  Jerman Ultimatum Cina terkait Dugaan Pasokan Drone ke Rusia

Meskipun begitu, AS tetap mengirim diplomat bulan lalu ke Jenewa untuk melakukan pembicaraan dengan rekan-rekan Rusia tentang kemungkinan memperpanjang New START.

Presiden Rusia Vladimir Putin telah berulang kali mengatakan bahwa Kremlin siap melakukan pembicaraan terkait kesepakatan New START yang akan segera berakhir. Namun Putin juga meyampaikan bahwa Rusia akan membiarkan pakta itu mati jika AS tidak berniat memperbaruinya. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,092