NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Natalius Pigai mengatakan kejahatan demokrasi tidak diadili di mahkamah internasional. Pasalnya, kategori kejahatan demokrasi tidak termaktub dalam Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute on the Establishment of the International Criminal Court (ICC).
Dalam statuta tersebut genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi yang menjadi perhatian komunitas internasional. Dengan kata lain, tidak ada kejahatan demokrasi di dalamnya.
“Jika dilihat dari tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Individual, maka Jokowi dan Komisioner KPU Pusat tidak bisa diadili di Mahkamah Internasional di Den Haag. Demikian juga, pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tidak dibentuk untuk mengadili sengketa demokrasi suatu negara,” jelas Pigai dikutip dari keterangannya di Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Adapun laporan kepada PBB atau lembaga-lembaga internasional maupun negara-negara sahabat melalui kedutaan-kedutaan yang ada di Jakarta hanya untuk meyakinkan ke dunia internsional bahwa Pemilu 2019 adalah tidak demokratis.
Kata Pigai, laporan kecurangan harus berstandar internasional berpedoman pada prinsip-prinsip dan petunjuk PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Pemilu (Right and Election Guidlines, PBB 1994) agar dengan muda mengukur variabel-vaeriabel pelanggaran.
“Kurang lebih ada 6 variabel pelanggaran yang tentu dibuktikan secara baik dan benar,” katanya.
Adapun variabel-variabel tersebut di antaranya hak untuk memilih (right to vote), hak untuk dipilih (right to take a part of government and politics), pelaksaan pemilu secara jujur dan adil (free and fair elections), politik uang (money politics), penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), serta indikasi negara dalam keadaan darurat (state in emergencies).
“Kampanye internasional ini dapat dibenarkan karena untuk dapat mendelegitimasi dari dunia internasional atas kredibilitas presiden dan penyelenggara pemilu, sehingga apabila ada people power atau usaha-usaha untuk menjatuhkan presiden sebagaimana pernah dilakukan di Indonesia tahun 1965 terhadap Sukarno, 1998 (Suharto), 1999 (Habibie), 2001 (Gus Dur) maka dapat dipahami,” urai Pigai.
Sekali lagi, apakah Jokowi dan KPU melakukan kejahatan dengan memenuhi unsur sebagaimana di atas? Tentu saja belum memenuhi unsur untuk diadili di Pengadilan Internasional, kata dia.
“Namun demikian proses hukum domestik masih terbuka. Sebagaimana pemilu di Filipina ketika Presiden Aroyo melakukan kecurangan pemilu, namun kalah, lantas dijebloskan dalam penjara sebagai pelaku kejahatan pemilu yaitu penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), dan tindakan kecurangan secara terencana, terstruktur, masif dan meluas,” pungkasnya.
(eda)
Editor Eriec Dieda