HukumPolitikRubrika

Purnawirawan TNI dan Komunitas Burung Merak Rendra Mengunjungi Keluarga Harun

Purnawirawan
Purnawirawan TNI tampak berjalan bersama putri Rendra, Clara Sinta usai mengunjungi keluarga korban almarhun Muhammad Harun Al Rasyid di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta.  (Foto: Dokumen nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO – Purnawirawan TNI, kembali mengunjungi keluarga korban yang gugur selama perjuangan menegakkan demokrasi di tanah air. Kali ini, mereka mengunjungi keluarga Muhammad Harun Al Rasyid, di daerah Kebun Jeruk, Jakarta Barat (27/5) yang di duga menjadi korban kekerasan aparat keamanan pada saat tengah berlangsungnya unjuk rasa menolak hasil pemilu yang diduga penuh kecurangan.

Para Purnawirawan ini merasa prihatin atas terjadinya kekerasan, terutama terhadap sejumlah anak-anak yang masih berada di bawah umur, seperti Muhamad Harun Al Rasyid.

Kami para purnawirawan merasa simpati, dan berempati terhadap korban-korban kekerasan. Kami datang takziah adalah untuk menunjukkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang dialami oleh keluarga para korban.

“Kita memberikan dukungan moral kepada keluarga agar tetap tabah menghadapi musibah dan tidak larut dalam suasana duka. Kalau ada langkah-langkah hukum, tentu kita semua siap mendukung karena Indonesia adalah negara hukum, ujar Nachrowi kepada para wartawan di lokasi.

Ayah almarhum Harun Al Rasyid, Didin Wahyudin menceritakan kesedihannya karena anak keduanya menjadi korban kekerasan pada 22 Mei 2019. Didin mengatakan bahwa kematian anaknya penuh dengan kejanggalan. Ia menduga anaknya disiksa dan dibunuh.

Baca Juga:  Ketua DPC PPWI Inhil Dibebaskan Bukan karena Belas Kasihan, Wilson Lalengke: Dedengkot Pungli Saruji Harus Tetap Diproses Hukum

“Anak saya ditemukan di gorong-gorong bersimbah darah. Menurut laporan relawan ada luka tembus didadanya, sebelah kiri, menembus jantung,” ujar Didin dengan tabah.

Didin juga menceritakan bahwa dirinya sangat kesulitan untuk mengambil janazah anaknya dari rumah sakit Polri. “Saya bingung, waktu mau ambil jenazah anak, sulit sekali. Kenapa mengambil jenazah saja mesti besok, padahal malam itu saya ingin anak saya buru-buru dibawa pulang,” tambah sang ayah.

“Besoknya, janazah anak saya sudah dalam keadaan rapi terbungkus kain kafan dan berada dalam peti mati,” katanya heran.

Meski begitu, bersama keluarga, dan disaksikan para tetangga, Didin sempat membuka balutan kain kafan sekitar wajah dan dadanya. Ketika memegang kepala anak saya, terasa lunak. Dan di dadanya terlihat luka.

“Kepala anak saya terasa lunak, dan di dadanya terlihat ada luka” ceritanya.

Ketika dikonfirmasi perihal adanya kewajiban untuk menandatangani surat pernyataan untuk tidak menuntut ketika mengambil anaknya, hal itu dibenarkan oleh Didin. “Ya, betul. Bapak saya yang tanda tangan,” ungkapnya.

Baca Juga:  Terkait Kriminalisasi Wartawan Rosmely, Ini Catatan Saya untuk Kapolri

Didin berharap para purnawirawan mendukungnya kelak apabila keluarganya menggugat ke jalur hukum.

Selain para purnawirawan, hadir pula rombongan dari Komunitas Burung Merak Rendra. Hadir pula ketua komunitas, Ach. Sulaiman bersama Putri almarhum Rendra, Clara Sinta. Kehadiran komunitas Burung Merak ini, merupakan sikap keprihatinan kami, kata Sulaiman di lokasi.

“Ini merupakan panggilan kemanusiaan. Kata Rendra, menjadi manusia yang utuh dan murni adalah kewajiban. Membela kemanusiaan pun kewajiban” ujar Sulaiman.

Siapa yang tidak mengenal Rendra si Burung Merak. Di zamannya, kritik sosial politiknya begitu lantang dan tajam menghujam jantung penguasa. Menggelegar, bak halilintar menegakkan kebenaran. Tegas, dan tidak mengenal kompromi dalam membela keadilan.

Tidak heran bila di masa hidupnya, Si Burung Merak selalu mengkritik sistem pemerintahan yang tidak adil. Untuk mengenang Rendra, berikut sebuah sajak sosial politiknya yang ditulis di Bandung, 28 Januari 1978:

 

SAJAK MATA-MATA

 Ada suara bising di bawah tanah.

Ada suara gaduh di atas tanah.

Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.

Ada tangis tak menentu di tengah sawah.

Dan, lho, ini di belakang saya

ada tentara marah-marah.

 Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

 

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.

Aku melihat isyarat-isyarat.

Semua tidak jelas maknanya.

Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,

menggangu pemandanganku.

 Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

 

Pendengaran dan penglihatan

menyesakkan perasaan,

membuat keresahan –

Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi

terjadi tanpa kutahu telah terjadi.

Aku tak tahu. Kamu tak tahu.

Tak ada yang tahu.

 

Betapa kita akan tahu,

kalau koran-koran ditekan sensor,

dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.

Koran-koran adalah penerusan mata kita.

Kini sudah diganti mata yang resmi.

Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.

Kita hanya diberi gambara model keadaan

yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

 

Mata rakyat sudah dicabut.

Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.

Mata pemerintah juga diancam bencana.

Mata pemerintah memakai kacamata hitam.

Terasing di belakang meja kekuasaan.

Mata pemerintah yang sejati

sudah diganti mata-mata

 

Barisan mata-mata mahal biayanya.

Banyak makannya.

Sukar diaturnya.

Sedangkan laporannya

mirp pandangan mata kuda kereta

yang dibatasi tudung mata.

 

Dalam pandangan yang kabur,

semua orang marah-marah.

Rakyat marah, pemerinta marah,

semua marah lantara tidak punya mata.

Semua mata sudah disabotir.

Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.

(Banyu)

Related Posts

1 of 3,050