NUSANTARANEWS.CO – Indonesia mengalami defisit perdagangan terbesar sepanjang sejarah. Defisit perdagangan di bulan April tercatat sebagai defisit perdagangan terbesar dalam sejarah Indonesia, kata Managing Director Indonesia Investments Richard van der Schaar. Defisit itu terjadi karena ekspor Indonesia anjlok jauh lebih curam daripada impor, lanjutnya. Selain itu, Schaar juga menambahkan bahwa ekspansi ekonomi global yang melambat juga telah berakibat melemahnya permintaan global serta penurunan harga komoditas.
Namun demikian, impor barang-barang konsumsi di Indonesia justru naik tajam dari bulan ke bulan – terutama karena bersamaan dengan bulan Ramadhan, di mana konsumsi masyarakat biasanya mengalami kenaikan.
Terkait dengan situasi politik di Indonesia, Schaar menekankan bahwa ketegangan politik masih membara – apalagi capres Subianto menyatakan menolak hasil pemilu yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada akhir bulan ini. Sudah tentu situasi ini akan memberikan sentimen negatif terhadap iklim investasi di Indonesia. Jadi, kemungkinan besar para investor akan sangat berhati-hati, ungkapnya.
Siang tadi, Kamis (16/5) tepatnya sekitar pukul 14.45, berdasarkan Bloomberg Dollar Index, rupiah terdepresiasi 0,04 persen menjadi Rp14.469 per dolar AS.
Bank Indonesia (BI) telah merevisi target defisit transaksi berjalan tahun ini dari awalnya 2,5% PDB menjadi 3% PDB. Kebijakan ini didasari oleh kondisi perlambatan ekonomi global dan perang dagang yang membayangi pelemahan perdagangan dan finansial Indonesia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui bahwa, tidak mudah untuk mengatasi defisit neraca perdagangan dari bulan ke bulan – apalagi ditambah dengan kebutuhan impor yang cukup dalam, katanya di Jakarta, Rabu (15/5). Menkeu juga menambahkan bahwa kinerja ekspor nasional sedang mengalami pelemahan akibat situasi dunia yang tidak mudah dan perang dagang yang masih terjadi, ujarnya lebih lanjut.
Memang selama beberapa minggu terakhir perang tarif AS-Cina telah meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada awal Mei 2019 – bahwa AS akan menaikkan lebih dari dua kali lipat tarif atas barang-barang Cina senilai US$ 200 miliar, karena Cina dianggap telah melanggar kesepakatan. Sebaliknya Cina segera mengumumkan rencana akan membalas kenaikan bea masuk barang-barang AS. Peningkatan perang tarif telah menyebabkan ketidakpastian di pasar keuangan global. (Alya Karen)