Jokowi Abangan, Comot Atribut NU dan Benamkan Legacy Gus Dur
Aneh bin Ajaib! Itulah kalimat yang tentu saja dapat terlontar dari pikiran dan perasaan setiap ilmuan politik dan intelektual sosial yang memahami histriografi, sosiologis dan peta politik Indonesia sepanjang 73 tahun Indonesia Merdeka. Bahkan sesungguhnya tidak ada DNA secara sigifikan antara Joko Widodo (Jokowi) yang berasal dari Kaum abangan memiliki pengaruh terhadap kekuatan Politik Santri (khususnya kalangan NU).
Dalam historiografi Indonesia, pemilihan umum 1955 kekuatan politik terpolarisasi dalam 2 kelompok yaitu Partai Ideologis dan Partai Massa. Kaum abangan hadir dalam partai ideologis dengan membawa Mahaenisme (PNI) dan Partai Komunis Indonesia, sedangkan NU dan Masyumi muncul sebagai partai massa. Inilah embrio yang meski kita memotret di mana PNI dan PKI partai ideologis bersatu ketika adanya fusi partai tahun 1973 ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Perbaiki PKI secara partai tidak fusi ke partai PDI. Sedangkan NU dan Masyumi bersatu dalam kekuatan politik santri Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan kelompok kekaryaan (TNI), intelektual dan priyayi (ninggrat) bergabung dalam Partai Golkar.
Polarisasi kekuatan politik yang muncul sejak Indonesia lahir tersebut tidak terbentuk begitu saja secara alamiah tetapi ada akar historisnya yaitu ketika antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz membatu masyarakat Jawa memudahkan klasifikasikan dalam kelompok priyayi, abangan dan santri. Tiga konsep keberagamaan orang Jawa di anataranya abangan, yang merepresentasikan pada aspek animisme; Santri mewakili penekanan pada aspek Islam sinkretisme; serta priyayi, menekankan pada elemen birokrat.
Sebelum membahas Joko Widodo (Jokowi) dalam politik Indonesia kini, perlu saya mengukur seberapa besar derajat dan posisi Jokowi dalam tipologi masyarakat Jawa. Sudah barang tentu Jokowi adalah seorang berasal dari kelas masyarakat abangan yang menganut pandangan animisme dan kelompok kelas pekerja jika dilihat dari perspektif Jawa.
Cerita berikut yang digambarkan oleh Clifford Geerz ini dapat membantu melihat potret Jokowi. Dalam buku Cliford Geerz berjudul Agama Jawa (Religion of Java) sebuah cerita yang menarik silakan disimak. Seorang tukang kayu muda yang lebih sistematis menguraikan hal-hal (kepercayaan tentang makhluk halus) itu dari pada masyarakat Jawa pada umumnya mengisahkan kepada saya (Geerzt) bahwa ada 3 jenis mahluk halus yang utama yakni Memedi yang secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti, Lelembut atau makhluk halus dan tuyul. Memedi biasanya suka menakut-nakuti orang tetapi tidak menimbulkan kerusakan serius. Memedi laki-laki disebut Genderuwo, dan perempuan disebut Wewe. Wewe kawin dengan Genderuwo. Tukang kayu itu bercerita kepada Geerzt bahwa suatu waktu ada anak mereka menghilang, akhirnya ditemukan di belakang rumah. Lajutnya, anak tersebut ketakutan karena melihat ada Genderuwo menakut-nakutinya. Genderuwo itu hanya bisanya menakut-nakuti orang.
Itulah cara pandang animisme masyarakat Jawa yang dianut khususnya kaum Abangan di mana Jokowi, mungkin, tidak terlepas dari cara pandang animism ketika berada dalam dan dikategorikan sebagai kelas abangan.
Tentu saja cara pandang animisme bertolak-belakang dengan kaum santri yang mengandalkan spiritualitas agama Islam dan santri NU secara tegas menolak penghayatan terhadap apa yang disebut dunia tahayul dan musyirik.
Pertanyaannya adalah mengapa Jokowi sedemikian bernafsu mendekati kaum santri, khsususnya NU struktural? Jawabanya sederhana, Jokowi sudah paham betul bahwa Islam NU Ahlus-Sunnah wal Jamaah sangat tidak menyukai paham radikal. Maka, bisa diduga dengan rekayasa memunculkan istilah-istilah seperti Islam Nusantara, Islam Transnasional, bahkan survei Kelompok Mesjid Berpapar Radikal atau termasuk wawancara Said Aqil dengan menyatakan kelompok pendukung pasangan capres nomor 02 adalah kelompok radikal.
Itulah cara dan strategi intelijen khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) sebagaimana terlihat dari pernyatan juru bicara BIN Wawan Purwanto tentang 41 Mesjid Terpapar Radikal. Framing radikalisme itu diciptakan untuk mempermudah seorang Jokowi yang berasal dari seorang abangan untuk mencomot dan bahkan menumpang atribut NU (sesuai kamus KKBI, atribut bisa juga orang dan pikiran) termasuk tokoh NU Ma’ruf Amin untuk sekadar kepentingan politiknya. Dapat dibayangkan NU bisa diperdaya oleh Jokowi yang bukan siapa-siapa dalam NU bisa mempengaruhi tiga pimpinan utama NU, KH Ma’ruf Amin, KH Miftachul Ahyar dan KH Said Aqil Siroj bergerak melakukan indoktrinasi ke seluruh jajaran struktural NU baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa sampai pondok pesantren bahkan mereka mengobarkan berita yang cenderung hoaks seperti NU dijaman Jokowi naik kelas, padahal jaman Jokowi umat Islam dibikin bentrok dan berjuta-juta orang NU berbondong-bondong menyarakan ketidakadilan di Monas.
Bayangkan tokoh utama NU Struktural saja berkomentar kurang profesional terhadap Jokowi. Seperti, ‘Jokowi adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang mengambil orang NU sebagai Wakil Presiden’ sebagaimana disampaikan oleh Ma’ruf Amin. Beliau lupa atau tahu tapi sengaja lupa bahwa Megawati pernah didampingi oleh Hamzah Haz, juga Hazim Muzadi dalam percalonan presiden. Bisa jadi jika dilihat dari sepintas melihat situasi tersebut di atas maka NU berada dalam tumbal politik kekuasaan. Tiga alinea di atas sebagaimana yang dilukiskan oleh Choirul Anam.
Dalam kurung waktu 4,5 tahun Jokowi memimpimpin negara ini, salah satu kesalahan terbesar adalah berbagai legacy (warisan) Gus Dur tentang hak asasi mansusia, demokrasi, kedigdayaan sipil serta independensi NU dirusak dan dibenamkan oleh Jokowi.
Pertama, Gus Dur penentang sistem binomial militer sebagai panglima pertahanan dan panglima politik pembangunan. Gus Dur menginginkan militer tidak boleh masuk wilayah sipil. Ketika Jokowi membuka pintu agar militer memasuki ruang sipil tentu saja melawan dan menentang komitmen Gus Dur. Saya menyaksikan Kementerian Transmigrasi mengembalikan 18 perwira militer yang telah menduduki jabatan sipil yang saat itu panglima TNI adalah Wiranto. Itulah perintah Gus Dur kepada Menteri Transmigrasi, Alhilal Hamdi.
Kedua, sistem roling Panglima TNI secara bergilir untuk semua angkatan, namun jaman Jokowi ketika menunjuk Jenderal Gatot Nurmantyo dari AD di mana seharusnya giliran Angkatan Udara. Jokowi merusak tatanan.
Ketiga, pengekangan kebebasan sipil (civil liberties) seperti sulitnya menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaan. Berbagai penangkapan terhadap para ulama dan aktivis tentu saja menentang paradigma berfikir Gus Dur.
Keempat, media mainstream yang dikuasai oleh para kelompok kapitalis diintervensi untuk dijadikan sebagai alat pembungkaman, penyampaian informasi artikulator kepentingan penguasa, alat propaganda penguasa untuk melestarikan kekuasaan. Tentu saja bertentangan dengan jiwa dan spirit Gus Dur.
Kelima, yang terpenting untuk diketahui adalah Gus Dur sangat taat betul pada Khittah NU 1926. Dalam perjalanan politiknya, termasuk ketika menjadi presiden, saat Megawati menggoyang jabatannya, Gus Dur tidak pernah memanfaatkan warga NU termasuk Banser. Sangat kontras sekali dengan saat ini, meskipun Jokowi bukan orang NU, banyak orang menduga Jokowi terlihat semacam memanfaatkan Banser dan NU Struktural untuk kepentingan politiknya termasuk merusak Ukhuwah Islamiyah (umat Islam lainnya), Insanyiah (kami orang Papua, saya, Rocky Gerung, dan lain-lain) dan bahkan Wathoniah, termasuk Ketua Umum Said Aqil secara organisatoris Ketua Rois Am dan Ma’ruf Amin tidak boleh berpolitik dan bertentangan dengan Khittah NU 1926. Kecuali kalau mereka memutuskan masuk PKB.
Saya mesti sampaikan bahwa tidak ada tautan historis antara Jokowi dan NU. Namun demikian, apakah warga NU akan mengikuti sepak terjang yang dimainkan sekelompok kecil yang dimotori KH Said Aqil dan lain-lain untuk mempengaruhi perilaku politik NU? Belum tentu! Karena fakta hari ini menunjukkan bahwa untuk merebut kekuasaan, uang dan jabatan mesti berada dalam pusaran partai politik. Khususnya perilaku politik Kiai NU yang dilukiskan secara baik oleh para ahli seperti K Bertens, Marthin Van Brusnen dan Chumairoh. Lahirnya PKB yang dimotori oleh para Kiai telah menegaskan bahwa Independensi NU bersifat semu (pseudo), perintah tidak bersifat sabda, wahyu atau devine right. Maka, warga NU harus masuk partai politik seperti PKB, jangan membawa organisasi NU yang menjadi induk semangnya.
Warga NU tetap akan memilih kedua calon presiden tetapi lebih khusus Prabowo Subianto yang telah puluhan tahun dekat dengan ulama, Gus Dur pun pernah menitipkan untuk warga NU dengan menilai keikhlasan Prabowo untuk bangsa dan negara, apalagi calon yang diusung melalui hasil ijtima’ ulama. Maka tidak ada jaminan semua suara NU ke Jokowi. Oleh karena Jokowi adalah seorang abangan yang mencomot atribut warga NU dan menentang legacy Gus Dur maka dapat dimaklumi seandainya mayoritas warga NU menghukum Jokowi dengan tidak memilihnya pada tanggal 17 April 2019.
Oleh: Natalius Pigai, Gusdurian Asli, Staf Khusus Menakertrans 1999-2004 (Jaman Gus Dur), Pernah dicalonkan PKB untuk DPR RI (saksi Kofifah Indar Prawangsa Ketua Bappilu). Pernah antar uang 1 miliar bantuan Gus Dur untuk KR Papua Tahun 2000. Pernah Pertemukan Gus Dur dan Tokoh-tokoh Utama Papua (Thom Beanal, Wili Mandowen, Agus Alua, Taha Alhamid, dll). Berasal dari Suku Meepago (Nabire, Paniai, Dogiyai, Timika, Deiyai), 4 Bupati adalah dari PKB. Tiga periode sudah mengutus 1 anggota DPR RI PKB dari basis massa daerah saya.