Puisi Gus Nas*
KALAEDOSKOP MIMPI
Pada sisa sepi kusantap senyap dan nyeri
Ujung tahun ini laksana bara api
Kutemukan kutukan digital di segala lini
Dusta merajalela melukai indahnya puisi
Mencederai ruang rindu di relung jiwa
Remuk sudah mimpi indahku
Maafkan aku, duhai kata-kata
Sebab daulat cinta dalam tubuhmu sudah kuperkosa atas nama gincu di bibir saja
Kunodai dengan kedangkalan iman berbedak agama
Kini riwayat sekaratmu telah menjadi liur mengucur dalam nyenyak tidurku
Menjadi mimpi karatan yang dingin membeku dalam ranjang usangku
Maafkan aku, duhai mimpi
Di penghujung Desember ini hanya ada duri pada merah mawarmu
Rasa kantuk membusuk menjadi masa lalu
Rasa kantuk mengutuk dalam bait puisiku
KRAKATAU
segugus doa untuk korban tsunami
Ombak di Pantai Carita itu kini kehabisan kata
Dan Tanjung Lesung hanya menyisakan mendung yang murung
Kabar terakhir yang sampai di puncak bukit
Laut berdiri sepenggalah dengan raung amarah yang gagah
Pantai-pantai di sepanjang ujung kulon itu menggigil dalam kebisuan dan ratap duka yang resah
Inikah gelombang gelap berwarna kelabu di penghujung Desember itu?
Malam itu anak-anak Krakatau tengah mengigau
Mimpi buruk Selat Sunda menjelma jerit camar yang menggelora
Inikah gugusan doa yang diucapkan oleh guguran lava pijar yang panas membahana?
Jam di dinding tak lagi terdengar detak jantungnya
Masih adakah waktu untuk memutihkan rindu?
Untuk menaburkan harum mawar dengan cinta kasih berwarna biru?
Anak-anak Krakatau itu seakan ingin mengikuti jejak Sang Ibu
Membelah arah dan waktu
Memisahkan jejak rindu antara Merak dan Bakahuni yang kian membisu
Tuhanku
Di sisa-sisa senja ini berikan kemilau cahaya di pelupuk mata
Agar mendung kelabu di penghujung usiaku ini lenyap tiada sisa
Gus Nas Jogja 2018
MASJID NOGOTIRTO II
kepada Gus Mus dan Buya Syafii Maarif
Dua pendekar tua itu telah menancapkan tombaknya di pilar langit
Merayakan amukan rindu yang menggemuruh hingga di rongga kalbu
Senja rebah di hari Jum’at yang indah
Jurus-jurus tanpa bayangan itu seakan menjadi babak akhir bagi negeri yang kian hangus
Entah kenapa kedua pendekar tua itu kusebut pujangga
Barangkali karena atap langit tanpa penyangga
Atau mihrab di Masjid Nogotirto senja itu bermandi cahaya
Kubaca diam-diam Qunut Nazilah bagi negeri ini
Doa pamungkas bagi cinta yang terus meranggas
Bagi kesetiaan yang tanpa dan tiada berbekas
Kucatat kalam suci di lubuk hati
Saat dua penggembala ini bertukar alamat untuk bertemu seusai kiamat
Gus Nas Jogja
penghujung Desember 2018
HM Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional.
Baca juga: Ibu Kita Syahrini – Puisi HM Nasruddin Anshoriy Ch
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]