Budaya / SeniCerpen

Ketika Dihadapkan – Cerpen Autri Nur Aziza 

Rumah Penantian di Tanahmu yang Rindu. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Pinterest)
Rumah Penantian di Tanahmu yang Rindu. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Pinterest)

NUSANTARANEWS.CO – Burung-burung menyambut pagi dengan berbincang, dan embun menyapa langit dengan bulir-bulirnya yang menyegarkan udara pagi. Suasana pagi ini mungkin  menurut orang banyak adalah suasana pagi yang sangat menyenangkan, dimana Tuhan memberikan nikmatnya yang tiada batasnya pagi ini. Akan tetapi semuanya tidak sesuai dengan benak ku saat ini, banyak sekali kegundahan yang sekarang aku rasakan. Perbincangan keras semalam dengan orang itu masih tetap terngiang dikepalaku sampai pagi ini.

***

“Ah berat sekali kepalaku”, ujarku saat baru saja bangun dari tidurku semalam.

“Eh udah bangun kamu Nad. Nih minum dulu”, ucap teman sekost dan sekamarku.

Aku tinggal dikota orang sekarang, di Surabaya. Aku disini melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi sebagai seorang mahasiswa dari salah satu universitas yang ada disini. Disini aku bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah, salah satunya Laeli yang sekarang satu kost, satu kamar, dan satu kampus pula denganku. Hanya saja program studi yang kami ambil berbeda. Aku pertama kali bertemu dengannya saat registrasi kuliah, kami dipertemukan secara tidak sengaja di auditorium kampus. Dan saat perkenalan itu hingga sampai saat ini kami berteman baik sampai akhirnya kami memutuskan untuk mengekost ditempat yang sama dan sekamar pula.

“Kamu kenapa semalem?”, ujar Laeli mulai mencoba untuk mewawancaraiku perihal kejadian semalam.

“Gapapa, emang aku kenapa coba. Orang baik-baik ajah kok”

Baca Juga:  Satupena di Tangan Midas

“Gak mungkin orang baik-baik ajah tidur sambil nangis dan paginya bangun matanya bendul dan merah kaya gituh”

“Hah nangis? Siapa? Aku? Orang aku cuman kelilipan serangga doang kok”

“Kamu mau kibulin anak psikolog hah? Aku tau mana orang yang baik-baik ajah sama orang yang lagi engga baik-baik ajah Nad. Okeh aku tahu kamu gak mungkin mau bicara sekarang tentang masalahmu, tapi yang jelas kalau memang kamu butuh aku buat jadi pendengar segala lelah mu, aku siap”

“Heem, makasih ya Lel”

*****

Perbincangan semalam dengan lelaki itu sungguh membuat perasaan ini terasa sangat sesak, bahkan sampai pagi ini. Tapi sungguh, bagaimana pun lelaki itu meluapkan emosinya, aku tetap saja mencintainya sampai kapan pun. Ya orang itu adalah Ayah ku sendiri. Beliau memang orang yang keras, sedari kecil anak-anaknya sudah diajarkan tentang aturan-aturan dan itu semua tidak boleh dilanggar, tapi tidak denganku. Memang sedari kecil aku anaknya yang paling suka melanggar aturan yang sudah ia buat, sering mengabaikan ancamannya, dan sering bertengkar pula dengannya.

“Tinggalkan itu semua! Atau kamu pulang saja!”

“Kenapa aku tak boleh mengikutinya? Sedangkan kakak-kakak dulu mengikutinya tak mengapa”

“Ikuti saja apa kata Ayah, tak usah banyak bertanya!”

“Ayah tak pernah adil jika dengan saya!”

Kumatikan telfon yang sedang berlangsung tanpa menutupnya dengan salam.

Alasan mengapa aku selalu bertentangan dengan Ayah, aku selalu dihalang-halangi dalam melakukan kegiatan apapun. Tak boleh inilah tak boleh itulah, dan aku tak pernah tahu mengapa Ayah terus-terusan melarangku seperti itu. Padahal hal-hal yang selalu aku ingin lakukan bukan hal-hal besar yang akan merenggut aku darinya, dan aku rasa hal-hal yang aku ingin lakukan sema dengan yang selalu kakak-kakak ku lakukan semasa mereka juga ingin melakukan hal-hal baru dalam hidup mereka, dan aku juga ingin merasakan seperti apa yang mereka rasakan. Tetapi Ayah selalu saja menghalanginya, mengekang semuanya, yang itu berkaitan dengan ku.

Baca Juga:  Satupena di Tangan Midas

*****

Genap dua minggu setelah pertengkaranku dengan Ayah malam itu, aku tak pernah memberi kabar lagi ke rumah tentang keadaan ku disini. Aku tak mengirim satu pesan pun pada orang-orang dirumah, apalagi pada Ayah. Padahal biasanya setiap minggu aku selalu menyempatkan untuk mentelfon orang rumah.

Di minggu ketiga setelah itu aku mendapat telfon dari rumah namun tak langsung aku angkat, karena aku dibenakku masih mengganjal tentang semua larangan Ayah yang diberikan kepadaku. Sampai tiga panggilan dari kakak-kakak ku tak aku angkat, sampai akhirnya ada pesan masuk.

“Ayah masuk rumah sakit. Dan sekarang sedang kritis.”

Seketika saat membaca pesan itu aku terjatuh lemas, aku menangis sejadi-jadinya. Lagi.

Sampai saat akhirnya aku menyesal, dan baru memahami bahwa semua aturan dari Ayah merupakan hal-hal yang sudah ia persiapkan untuk ku. Dia hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk aku.

Aku hanya memanggilmu Ayah

Disaat ku kehilangan arah

Aku hanya mengingatmu Ayah

Disaat ku tlah jauh darimu

Suara hati kecil ku seketika menangis saat mengingat lirik itu. Sekarang aku baru sadar, ternyata memang Ayah adalah sosok yang sangat sangat sangat luar biasa bagi anak-anaknya. Dan aku rasa bukan hanya untuk aku, tapi untuk anak-anak lain diluar sana pun sama. Ayahku ataupun Ayah mereka memang sosok yang tak akan pernah dapat tergantikan, karena hanya Ayah lah laki-laki pertama yang mencintai anak perempuannya tanpa menuntut kesempurnaan dari anaknya itu.

Baca Juga:  Satupena di Tangan Midas

Salam rindu untuk Ayah 

Autri Nur Aziza lahir di Brebes, 08 Agustus 2000, terlahir dari pasangan Sunyoto dan Rosnawati. Beralamat lengkap di desa Dukuhtengah, RT 06/ RW 01, kec. Ketanggungan, kab. Brebes. Sekarang tengah menjadi Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, Fakultas Dakwah, Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI). Sekaligus menjadi santriwati di Pesantren Mahasiswa Darul Falah. No Hp. 0831-1340-5764, Fb : Autri Nur Aziza, IG : @autri38, dan Email : [email protected].

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,175