Hukum

Komunitas Kretek: Jangan Abaikan Hak Perokok Sebagai Konsumen

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dunia memperingati tanggal 15 Maret sebagai Hari Hak Konsumen Sedunia. Pada hari ini, hak-hak dari konsumen dibicarakan dan digembar-gemborkan. Sayang, ada satu hal yang selalu luput dari perlindungan hak konsumen, yakni hak para konsumen rokok. Merokok yang merupakan aktivitas legal yang dilindungi Undang-Undang (UU) tapi selalu menjadi bulan-bulanan. Perokok selalu dipandang sebelah mata.

Padahal, sebagaimana bunyi pasal 4 ayat 1 dan 2 pada UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwasanya konsumen memiliki hak atas rasa aman dan nyaman dalam mengonsumsi serta memiliki hak untuk memilih barang konsumsi. Dalam hal ini, konsumen rokok harus dipenuhi haknya dalam mengonsumsi barang legal tersebut.

Berangkat dari permasalahan atas hak konsumen rokok atau perokok tersebutlah, maka pada Hari Hak Konsumen Sedunia (HKKS) kali ini, Komunitas Kretek menilai bahwa terdapat empat permasalahan hak konsumen perokok yang harus diperhatikan. Pertama adalah hentikan diskriminasi terhadap perokok.

“Diskriminasi verbal maupun non verbal kerap diterima oleh perokok di Indonesia. Diskriminasi verbal beberapa kali ditemukan ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh Pemimpin Daerah yang bersifat diksriminatif terhadap perokok. Bima Arya, Wali Kota Bogor misalnya, pernah mengatakan akan menyiksa para perokok dengan tidak memberikan ruang yang nyaman untuk perokok. Dan masih banyak lainnya bentuk-bentuk diskriminasi verbal yang diterima oleh perokok,” ungkap Ketua Komunitas Kretek, Aditia Purnomo, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/3/2017).

Baca Juga:  Komplotan Oknum Koruptor di PWI Segera Dilaporkan ke APH, Wilson Lalengke Minta Hendry dan Sayid Dicekal

Adapun diskriminasi non verbal terhadap perokok yang seringkali ditemukan, menurut Aditia, seperti diusirnya perokok ketika sedang merokok di area yang sebenarnya ‘abu-abu’ karena area tersebut tidak ada larangan untuk merokok dan tidak memiliki ruang khusus merokok. Padahal kasus seperti itu dapat dilakukan dengan menegur secara baik-baik, tidak menggunakan cara-cara pengusiran, apalagi berupa sanksi.

Permasalahan kedua, Aditia mengatakan, penyediaan ruang khusus merokok. Jika mengacu kepada landasan hukum tentang penyediaan ruang khusus merokok, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 tahun 1999, PP Nomor 19 tahun 2003, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, hingga PP Nomor 109 tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa Rokok, ketersediaan ruang merokok selalu disebut tanpa pernah direalisasikan.

“Padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 57/PUU-IX/2011, keberadaan ruang merokok adalah wajib hukumnya di ruang publik,” ujarnya.

Aditia menuturkan, belum tersedianya ruang khusus merokok merupakan permasalahan yang harus menjadi perhatian yang serius, karena hal tersebut adalah amanah konstitusi dan hak para perokok sebagai konsumen yang senantiasa memenuhi kewajiban dalam membayar pajak konsumen, sama seperti konsumen lainnya.

Baca Juga:  Diduga Korupsi Danah Hibah BUMN, Wilson Lalengke: Bubarkan PWI Peternak Koruptor

Permasalahan ketiga, Aditia meminta, segara hentikan stigma negatif terhadap perokok. Tudingan-tudingan seperti perokok lekat dengan penyakitan, orang-orang miskin, dan membebani anggaran kesehatan adalah stigma negatif yang kerap dilekatkan terhadap perokok. Ironisnya, stigmatisasi tersebut juga dilakukan oleh lembaga negara seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan lembaga masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

“Padahal, sudah banyak penelitian yang membantah stigma negatif tersebut. Dan sebagai konsumen, kami sudah mengetahui bahwa setiap produk yang dikonsumsi, bukan hanya rokok, itu menimbulkan faktor risiko terhadap kesehatan. Maka kami meminta semua pihak untuk bersikap adil terhadap apa yang kita konsumsi. Dan menolak untuk selalu distigmakan secara negatif oleh kelompok tertentu dan masyarakat, sebab ini adalah bagian dari hak atas kami mendapat rasa aman dan nyaman dalam mengonsumsi,” katanya tegas.

Sedangkan permasalahan keempat, Aditia menyebutkan, adalah tentang Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang mengkriminalisasi perokok. Perda KTR sudah mengarah kepada kriminalisasi terhadap perokok. Pasalnya, beberapa Perda KTR di dalam sanksi berupa pidana denda dan kurungan yang menabrak ketentuan hukum perundang-undangan.

Baca Juga:  INILAH TAMPANG DEDENGKOT KORUPTOR PERS INDONESIA BINAAN DEWAN PERS

“Perda KTR Kabupaten Bogor misalnya, di dalam Bab 10 tentang ketentuan pidana pada pasal 29 menyatakan bahwa setiap orang yang merokok pada KTR diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) hari atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000. Dan jika kita cek Perda KTR di daerah lainnya, juga banyak yang menerapkan sanksi pidana kurungan dan denda, karena kebanyakan Perda KTR yang disahkan hanya copy paste dari Perda KTR yang lainnya tanpa ada kajian mendalam dan jejak pendapat dari masyarakat,” ungkapnya.

Maka dari itu, Aditia menambahkan, sebagai perokok menuntut Perda KTR yang berupaya mengkriminalisasi perokok untuk dihapuskan. “Sebab kami perokok, dijadikan tulang punggung bagi negara dari setiap pajak dan cukai yang dibebankan pada konsumen rokok. Namun di satu sisi kami dianggap seperti mengonsumsi barang ilegal yang harus ditindak dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang menabrak ketentuan perundang-undangan,” katanya. (DM)

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3,062