NUSANTARANEWS.CO, Surabaya – Semangat persatuan dalam perbedaan jadi nafas Presiden Soekarno pada Hari Raya Idul Fitri 1948 ketika perpecahan anak bangsa mengancam kemerdekaan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan tiga tahun sebelumnya. Kecamuk pemikiran dan rasa gelisah mempersiapkan diri hadapi agresi asing yang sudah di pelupuk mata, jadi pertaruhan akan masa depan republik yang wilayah kekuasaannya sudah tinggal sejengkal.
Ulama besar KH Abdul Wahab Hasbullah jadi rujukan Bung Karno untuk mencari cara terbaik tanpa meninggalkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Muncullah saran untuk menggelar silaturahim nasional manfaatkan momen lebaran kala itu. Namun Bung Karno meminta ada istilah lain yang menjadi refleksi menjaga kesatuan Republik Indonesia.
“Kala itu Bung Karno menginginkan istilah lain bukan sekedar silaturahim yang bagi umat Islam memang sunah hukumnya. Membaca sejarah saat itu, kondisinya nyaris sama persis dengan saat ini. Elite politik saling bertikai yang menguras energi dan seolah mengabaikan persoalan di depan mata. Yakni tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi yang bisa mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” terang Yusuf Husni Apt Ketua Yayasan Kalimasadha Nusantara (YKN) Jawa Timur, Jumat (14/7/2017).
Hasil pertemuan itu akhirnya memunculkan istilah halal bihalal, paparan istilah yang sangat kental dengan nilai-nilai Islam namun bisa diterapkan dalam kondisi negara saat ini yang saling menyalahkan dan merasa benar paling benar.
“Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Agar sesama anak bangsa tidak berdosa harus dihalalkan,” ucap dia sembari menceritakan muasal istilah halal bihalal yang semangat awalnya untuk menjunjung tinggi persatuan.
Acara yang digagas Bung Karno hasil saran Kiai Wahab itu pun sukses menempatkan elite politik Indonesia, baik muslim maupun non muslim, duduk dalam satu meja tanpa memandang aliran dan dari mana asalnya. Pikiran hanya tercurah untuk NKRI. Tak hanya elite politik, masyarakat umum pun ikut hadir dan merasakan indahnya nuansa lebaran. Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab Hasbullah menggerakkan warga dari bawah.
Semangat ini yang melatari Yayasan Kalimasadha Nusantara untuk menggelar Halal Bi Halal Arek Suroboyo sebagai refleksi sekaligus momentum kembali ke persatuan dalam acara yang digelar Rabu 19 Juli 2017, di depan Kantor SWH Center Jalan Imam Bonjol 78 Surabaya. Dengan mengundang MH Ainun Najib, BangBang Wetan dan Kiai Kanjeng, jalinan silaturahmi diharapkan bisa memperkuat pencerahan akan masa depan NKRI. Baik untuk tamu undangan maupun masyarakat umum yang hadir. Khususnya, bagi warga Jawa Timur yang akan menghadapi agenda politik, Pemilhan Gubernur (Pilgub).
“Bertepatan dengan momentum Idul Fitri 1438 Hijriah, Yayasan Kalimasadha Nusantara ingin bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Jawa Timur yang formal maupun informal. Ini untuk mengikat silaturahmi, agar kehidupan berbangsa dan bernegara semakin harmonis tidak terganggu oleh perbedaan sebagai rahmat Allah SWT,” ujar pria yang akrab dipanggil Cak Ucup tersebut.
Bagi YKN, terang Cak Ucup, kebhinekaan adalah warisan dari pendiri bangsa yang tetap harus dirawat dan dirajut sebagai pondasi kekuatan Bangsa Indonesia. Karena itu, kegaduhan akibat dinamika ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi akhir-akhir ini tidak merembet ke Surabaya atau pun Jawa Timur.
“Semua elemen bangsa harus saling menghalalkan kesalahan-kesalahan yang terjadi sebelumnya dengan kedepankan kepentingan NKRI,” tutupnya.
Pewarta: Tri wahyudi