NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sudah tepat delapan tahun ketika WS. Rendra, penyair yang berjuluk Burung Merak itu, tiada. Rindu sekali rasanya pada sosok yang sangat inspiratif, melalui tulisan-tulisannya kita dapat dengan mudah bercermin. Melalui keberaniannya kita dapat belajar mengatakan bahwa yang salah adalah salah.
Hari ini, tanggal 6 Agustus tepat 8 tahun setelah peninggalannya saat negara sibuk mempersiapkan pesta kemerdekaan. Terbersit, tentang karya-karya Rendra yang hingga kini masih sangat mengena dan tidak pernah terlepas dari zaman.
Kita ketahui karya-karyanya kerap memaparkan kritiknya terhadap elit penguasa, ketimpangan sosial, keadilan yang mampu membuka mata rakyat yang membaca sajaknya dan membuat geram para penguasa.
Dalam sebuah pengantar yang ditulis olehnya, Rendra mengutarakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat dorongan dari dalam berupa kehendak manusia dan kehendak alam sebagai sesuatu yang terjadi di luar kehendak dan kesadaran manusia. Ketika antara kedua kehendak ini tidak menenemukan keselarasan, maka disanalah persoalan akan muncul. Dengan sekian banyak kepala dengan kehendaknya masing-masing maka persoalan pun menjadi semakin beragam dan rumit.
Hal tersebut juga terjadi dalam permasalahan negara dari jaman antah brantah hingga jaman modern dimana bangsa kita telah lebih dari setengah abad memperoleh kemerdekaan, ternyata belum juga benar-benar merdeka. Rendra dengan sajaknya berjudul, “Kesaksian Akhir Abad” masih sengat relevan untuk kita renungkan dengan kondisi negara dan bangsa kita saat ini:
Dengan puisi ini aku bersaksi
Bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Salah dan benar seolah telah bercampur menjadi satu. Belakangan, bangsa ini dihadapkan dengan berbagai persoalan bangsa yang membingungkan bagi masyarakatnya sendiri. Masyarakat disuguhkan dengan hal yang penuh dengan teka-teki, sementara para elit hanya berdiri dan bermain dalam perannya masing-masing. Hukum tidak pernah benar-benar merangkul masyarakat lemah. Berbagai dalih pembangunan menjadi alasan, kesejahteraan yang semakin tertindas. Pasar sibuk memainkan harga, sementara keringat petani dibayar dengan harga tidak seberapa.
Bagaimana rakyat bisa merdeka
bila birokrasi negara
tidak menjadi abdi rakyat,
melainkan menjadi abdi
pemerintah yang berkuasa?
Rakyat memilih ‘tuan’ dengan penuh harap, tanpa tau ‘tuan’ adalah pengkhianat. Bagi para petani miskin, nelayan miskin, rakyat miskin di kota, mereka tidak tahu perihal jalan raya penghubung pulau satu ke lainnya, mereka tidak tahu apakah penting jika negara kita memiliki fasilitas trasnportasi kereta cepat, apakah penting pembangunan infrstruktur dan pemindahan ibu kota dilakukan. Yang terpenting bagi mereka adalah terjangkaunya harga pangan, terpenuhinya segala kebutuhan mereka yang sangat sederhana.
Kita tentu bersuka cita dan tetap bersyukur akan datangnya usia ke-72 tahun kemerdekaan. Akan tetapi, bangsa kita perlu menimbang kembali, melihat kembali dan bersatu kembali untuk mencapi tujuan bersama. Bukan mementingkan kehendak pemerintah ataupun satu golongan saja.
Keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang ditunjukkan Rendra dalam sajak-sajaknya, mungkin belum lagi dapat ditemukan saat ini. Semangat Rendra dalam sajaknya yang berani mengkritisi segala kebijakan yang diambil pemerintah, nampaknya saat ini mampat, karena pemerintah menjadi layaknya organisasi independen yang anti kritik.
Janganlah kemarahan kecil dari rakyak dianggap mengancam stabilitas negara, sementa harapan besar dari rakyat tidak berarti apa-apa.
Penulis: Riskiana