Berita UtamaTerbaru

Wartawan Kerah Hitam

Wartawan Kerah Hitam
Wartawan Kerah Hitam
Oleh: Uki Bayu Sedjati & Hari Agustono

 

Cepatnya proses penyidikan dan penyelidikan pihak kepolisian, sampai dinyatakan P 21 oleh pihak kejaksaan untuk dilanjutkan ke sidang pengadilan, memang memunculkan ”aroma” lain. Banyak yang beranggapan cepat disidangkannya pak Muhtar menunjukkan besarnya porsi politisasi terhadap kasus. Terutama karena kasus yang melibatkan Dirjen itu berkaitan erat dengan kebijakan Menteri Kehutanan – yang bukan dari pegawai negeri karir melainkan diangkat dari partai tertentu.

Apakah karena itu ”kemarahan” pak Muhtar – seperti gunung berapi yang sedemikian lama magma dalam kawah terus menggelegak, dan ketika tak mampu menahan lagi akhirnya… meledak. Tubuhnya tak kuat lagi.

Meski koran tetap terbit namun suasana kerja kurang bergairah. Prihatin bercampur penasaran dan berbagai uneg-uneg terus beredar di antara karyawan. Tapi pihak manajemen belum mengambil tindakan. Rupanya karena para pendiri dan pemegang saham penerbitan lebih disibukkan untuk mencalonkan dan memilih Pemimpin Redaksi baru pengganti pak Muhtar. Yang kemudian diperkenalkan kepada karyawan adalah Pitaya Banoor, panggilannya pak Pit, mantan ketua umum Koperasi Penerbitan Pers.

“Saudara-saudara saya ikut berduka cita atas meninggalnya pak Muhtar Lunga. Saya bisa merasakan keresahan, shock, dan berbagai keluh kesah kalian semua. Ini cobaan sekaligus ujian bagi profesi kewartawanan. Siapa yang tak kenal pak Muhtar? Beliau memiliki reputasi bukan cuma di tingkat nasional, tetapi juga di kancah internasional. Tak ada gading yang tak retak, saudara-saudara. Kita memang harus prihatin, tapi kita tak boleh berhenti. Kita harus lanjutkan terus semangat kewartawanan yang telah dirintis oleh pak Muhtar. Panggil saja saya pak Pit, ya.. saya akan memimpin saudara-saudara dengan memelihara semangat pak Muhtar!”. Beberapa peserta rapat ada yang mengangguk. Mereka tampaknya bisa menerima kehadiran Pemimpin Redaksi baru.

“Semangat kita adalah semangat menegakkan etika jurnalistik. Kita adalah wartawan profesional yang menjunjung tinggi etika. Karena saya mantan ketua umum Koperasi karyawan pers maka mari, saudara-saudara, saya ajak untuk meningkatkan manejerial agar kesejahteraan kita menjadi lebih baik.”

Ucapan Pitaya Banoor ini disambut baik peserta rapat. Mereka merasakan ada harapan baru yang lebih baik.

Kartono beraksi mengambil gambar wajah pak Pit maupun sejawat kerjanya yang cerah ceria. Ia cekatan mondar-mandir agar angle kameranya tepat.

Baca Juga:  Pererat Silaturrahmi, KAHMI Aceh Adakan Buka Puasa Bersama

“Maaf, pak Pitaya, boleh usul, pak,” cetus Junde mengangkat tangan. Hadirin menengok ke arahnya, nyaris bersamaan.

“Ya, silakan. Saya terbuka menerima usul, masukan, bahkan kritik – asal yang membangun, bukan asbun alias asal bunyi. Ya, silakan..,” sambut Pitaya.

“Saya usul, sebagai salah satu upaya meningkatkan kinerja tolong mesin ketik kami diganti komputer, pak.”.

“Mesin ketik? Lho, maaf, saudara-saudara, apakah kantor kita ini belum komputerisasi?” Pitaya menunjukkan tampang heran.

“Beluumm, pak !” Sahut hadirin serempak.

”Jangankan komputer, pak. Wartawan-Wartawan muda kita belum kebagian pager,” cetus Surya. ”Padahal kan urgen buat komunikasi…”

Tampak wajah pemimpin redaksi baru ini tidak dibuat-buat. Asli, ia terkejut. Awalnya ia menengok ke kanan kirinya, yang tak lain adalah pemimpin umum dan pemimpin perusahaan, seolah mengkonfirmasi kebenaran ihwal computer dan pager. Tapi dua orang di sampingnya itu hanya senyum saja. Lantas ia coba untuk menunjukkan wibawanya.

“Terimakasih. Saya baru tahu informasi ini, Sungguh. Maaf, tadi saudara.. siapa..”

“Saya, Junde, pak”

“Junde. Yaa, terimakasih saudara. Saya perhatikan betul usulan ini. Saya segera menyampaikannya ke rapat manajemen bulan depan,” tambahnya yakin.

Kilatan blitz dari kamera Kartono menerpa wajah Pitaya.

Acara ditutup dengan adegan semua hadirin bersalam-salaman, baik dengan pemimpin redaksi baru maupun sesama karyawan. Mirip saat halal bilhalal. Suasana gembira.

Dan uniknya, setelah acara itu, ada kebiasaan baru terutama di kalangan wartawan, yaitu setiap pagi ketika bertemu mereka bersalaman. Ada kehangatan relasi di antara mereka. Semangat kerja sudah pulih kembali. Juga ada faktor lain yang menunjang gairah, yang memang sudah diharapkan sejak lama, yakni dilaksanakannya koperasi karyawan.

Salah satu ruangan bekas gudang disulap jadi ruang koperasi. Di dalamnya tersedia berbagai kebutuhan pokok, terutama sembako yang boleh dibeli oleh semua karyawan dengan harga pabrik. Lebih dari itu boleh dikredit, potong gaji bulanan. Juga ada staf yang melayani simpan-pinjam.

Situasi kondisi kantor menambah nyaman kehidupan Junde. Koperasi menjadi penolong dari kekurangan yang sekian lama dialaminya. Sebagai wartawan hidup Junde pas-pasan, malah acapkali kekurangan. Maksudnya, gaji yang diperoleh tak sebanding dengan pengeluarannya, baik yang sehari-hari ataupun bulanan seperti bayar kontrak rumah, bayar listrik dan bayar uang sekolah kedua anaknya. Yang pertama Jodi, kelas 1 SMP, yang kedua Sari, kelas 5 SD. Apalagi  harus menabung untuk anak mereka nomer tiga, meski usia kehamilan Sri, baru 3 bulan. Biaya persalinan di bidan minimal dua ratus lima puluh ribu.

Baca Juga:  Gerindra Jatim Beber Nama-Nama Calon Kepala Daerah Yang Diusung

Junde tak mengeluh. Juga tak memprotes keadaan. Ia benar-benar menghayati profesinya sebagai wartawan didikan pak Muhtar – yang idealis dan memiliki prinsip teguh.

Memang sejak masih lajang Junde memfokuskan hidupnya untuk kerja, kerja, dan kerja. Ia ingat perkenalannya dengan persuratkabaran pun karena hobinya membaca dan menulis. Kegemaran membaca berbagai informasilah yang mendorongnya untuk menjadi loper koran. Mengantarkan koran ke pelanggan, naik sepeda, berkeliling dari satu ke lain rumah di wilayah Senen dan Salemba, Jakarta Pusat. Usai shubuh dia sudah ada di rumah agen untuk mempersiapkan koran maupun majalah yang akan diantarkan, setelah itu sarapan – biasanya nasi uduk dan teh manis, yang disediakan oleh agen. Sambil makan dan sebelum berangkat menunaikan tugas biasanya ia melahap informasi dari media cetak itu. Karena pekerjaan itulah ia tak hanya kenal akrab dengan distributor dan agen besar tapi juga dengan wartawan-wartawan, yang sering berkumpul di jalan Kebon Sirih, di Pasar Baru maupun pertigaan Pasar Senen.

Dari pergaulan akrab dengan lingkungan seperti itulah Junde memantapkan niat bahwa wartawan menjadi profesi yang ia inginkan, dan memotivasinya untuk belajar, berlatih, menulis banyak hal yang diserahkan kepada redaksi. Keuletan menjadikannya diminta bergabung. Mulai menjadi wartawan freelance, lantas jadi koresponden kemudian diangkat sebagai wartawan tetap. Ia memang bersemangat meningkatkan kemampuan. Mencari informasi, mewawancarai nara sumber, meliput kejadian, menulis-laporkannya menjadi berita dilakukannya seolah tak kenal waktu.

Orang muda penuh dengan semangat juang meraih sukses kehidupan. Justru karena itu Junde merasakan pentingnya pendamping. Seorang gadis menarik perhatiannya.

Sri Mulyani nama lengkapnya, anak kedua dari empat bersaudara. Orangtuanya asal Brebes Jawa Tengah, yang membuka warung makan di bilangan Tanah Abang. Usahanya terbilang sukses. Pelanggannya dari berbagai kalangan. Boleh jadi karena menunya variatif, dan masakan dihidangkan selalu tampak fresh from the oven, hangat. Pak Warmo paham benar melayani selera konsumen, bahkan memanjakan. Siapa saja yang meminta hidangan untuk dihangatkan, diterima dengan baik.

Baca Juga:  Membanggakan, Pemkab Pamekasan Kembali Raih Anugrah Adipura Tahun 2023

Tentu saja sebagian pelanggan – terutama yang lelaki – datang ke warung selain mengisi perut juga lantaran ingin ngobrol dengan Sri. Pelajar kelas tiga Sekolah Kepandaian Putri ini wajahnya manis, tak banyak bicara, namun kerjanya sigap dan rapi. Juga selalu tersenyum. Sepertinya tak pernah ada masalah yang ia temukan dalam kehidupan.

Menu masakan di warung pak Warmo tambah meyakinkan juga karena kemampuan Sri mengolahnya. Bukan dari teori dan praktek yang didapat dari sekolahnya – ia mengambil jurusan tata busana, kemampuannya menjahit tak diragukan – boleh jadi keahliannya memasak mewarisi darah simbah putri dari pihak Bapak yang terampil memadukan masakan dengan bumbu tradisionil, khas nikmatnya.

Pergi dan pulang sekolah Sri naik sepeda. Jarak sekitar 2 kilometer, dari Tanah Abang ke sekitar Petojo, tak jadi masalah baginya. Ia berkenalan dengan seorang lelaki muda di bengkel sepeda justru ketika suatu kali ia dibantu memompa ban sepedanya yang kempes. Padahal lelaki muda, yang kemudian dikenal bernama Junaedi – yang dipanggil akrab Junde – cukup sering dilihat makan di warung Bapaknya.

Pada masa itu Junde yang masih lajang sudah menjadi wartawan freelance. Karena kost di jalan Kebon Pala ia acapkali makan di warung pak Warmo dijalan Kebon Kacang yang memang terkenal di kalangan anak kost.

Jelang makan malam biasanya anak kost, ada yang karyawan, ada mahasiswa, banyak yang datang. Menyantap hidangan sudah jelas, juga tentu seraya berharap – eh, siapa tahu, bisa melirik apalagi ngobrol biarpun sedikit dengan Sri. Ooo, betapa indahnya tidur malam berbekal wajah Sri. Mimpi jadi indah, dan besok pagi gairah kerja bertambah.

Mirip kisah kasih romantis muda-mudi tahun 50-60-an, Junde dan Sri menjalin pertemanan mereka dengan biasa-biasa saja. Tak menggebu seperti yang sering terlihat di film-film karya sineas India, Bollywood. Walaupun sangat jarang pergi bersama lantaran keduanya sibuk dengan tugas rutin masing-masing, toh sempat juga dua kali janji ketemu di Museum Gajah. Di museum yang terletak di jalan Merdeka Barat ini, cukuplah memantapkan tekad mereka untuk menikah. (bersambung)

Related Posts

1 of 7,666