Cerpen: Ferry Fansuri
Merekam dan melihat kehidupan jalanan, merasakan kerasnya dan menghirup udara busuknya ke dalam rongga paru-paru ini. Itulah pekerjaanku, aku penjarakan semua imaji-imaji yang tersaji dimata dalam sebuah lensa kamera. Pagi itu Kandapara hujan rintik-rintik, kurekatkan relesting jaket parasitku dan kututupi kepala dengan tudung agar tak terserang migran. Kucoba berteduh disela-sela deretan rumah kumuh Kandapara, jalanan becek tergenang air bercampur lumpur membuat sepatu kanvas belepotan kotor.
Pemukiman dengan bilik-bilik kayu berjajar semrawut terbentang dalam labirin-labirin yang membuat tersesat jika memasukinya. Tidak untuk pria hidung belang, disini surganya bagi pemuas napsu. Setan itu sebenarnya ada selangkangan mereka dan manusia hanyalah wadahnya. Ada permintaan, ada barang itulah terjadi sini. Human trafficking jadi makanan dan pemandangan sehari-hari daerah lokalisasi timur laut kota Tangail ini.
Kemiskinan merajalela menjadikan momok kehidupan disini, hanya beberapa logam taka menjual berahi demi memberi cacing-cacing dalam perut. Tempat ini begitu kotor tapi kasawan telah ada dua abad dahulu dan sekarang menjadi kaum urban modern mengais sejumput rejeki. Gang-gang itu tak pernah sepi bergumul jejeran kedai kopi,teh dan makanan yang menjadi simbolis mutualisme memberikan penghidupan yang tidak dibilang layak.
Bedeng-bedeng terbuat dari seng dan triplek kayu ciri khas slum city, pemandangan sehari-hari bercampur kotoran bekas kondom tercecer di selokan yang dibuang beserta isinya. Memenuhi dan bercampur dengan air got hitam dikerubungi lalat-lalat jijik berkeliaran disana. Manusia-manusia begitu betah bertinggal disini dan beranak pinak terkadang hasil haram jadah sekalipun.
Begitu banyak kutemui orang-orang disini dengan berbagai watak dan perangai tapi semua ada kesamaan. Laki-laki yang ada mulai tua renta, muda bergaya, setengah baya gagah atau masih bau kencur dipastikan mencari lubang syahwat dari perempuan yang melacur di Kandapara ini. Wanita-wanita ini melakukan pekerjaan dibawah pengawasan sang germo, terpaksa atau sukarela untuk menjajakan tetek payudara dan selaput lendir rahim mereka. Dan disitulah aku mendapatkan cerita-ceritaku.
Banyak perempuan terjebak dalam lingkaran setan ini, kutemui gadis-gadis muda yang melacurkan diri. Wajahnya polos dan perawakan sedang, itulah Asma penjaja muda terpaksa menjalani profesi berahi. Asma masih 14 tahun ini tumbuh dan lahir pelacur Kandapara. Asma pernah merasakan sekolah tapi dicaci maki teman-teman dia bahwa ibunya seorang pelacur hingga akhirnya putus sekolah.
Lain lagi Pakhi, perempuan muda manis ini dijual suaminya sendiri setelah 6 bulan melahirkan bayinya. Waktu itu usianya 15 bertahun dinikahi pria yang akan memberikan janji-janji manis demi sebuah keperawanannya.Tanggung jawab tak terpenuhi disini, Pakhi dijual demi melunasi utang tak penah lunas. Akhirnya ia berkubang pelukan pria pencari berahi dalam kelaminnya.
Ada juga Papia yang harus jadi pekerja seks komersil di usia belia 18 tahun, kemiskinan mendera keluarganya. Selepas kedua orangtuanya meninggal, ia dijadikan pelampisan napsu pria yang ia manggil suami tapi itu ia lakukan untuk bertahan hidup. Biarpun pria itu berlaku kasar senang memukul, judi dan minuman keras tapi ia cinta dia. Papia dihajar jika melakukan kesalahan sedikit tak mendasar, pada akhirnya suaminya dibui karena kekerasan dalam rumah tangga.
Disini perempuan-perempuan muda jadi bahan jualan yang bernilai tinggi, para germo akan berebut layaknya daging segar yang siap dikerat. Pelacur-pelacur muda berasal dari penjuru negara yang konon dikuasai sang Rahwana sebuah mitos purba kejayaan negara ini. Kandapara merupakan candradimuka penjaja seks yang mampu melayani 15 sampai 20 pria bejat sekalipun dalam sehari. Mereka didandani bak boneka, gincu tebal merah, bedak tebal dan baju sari berwarna-warni memikat siapapun yang memandagnya. Bahkan agar terlihat montok mami germo itu mencecoki oradexon, pil khusus menggemukkan hewan ternak.
Tapi dari semua cerita-cerita tersebut, ada perihal lain yang membuatku tertarik hingga lensa leica-ku tak bisa lepas dari wajahnya. Pasang mata berbinar tampak sendu memancarkan kepedihan, kedua bola mata terlihat beda antara kiri dan kanan. Sebelah kanan berpupil hijau sedangkan kiri biru, unik dan mistik saat memandangnya. Hidung mancung khas suku Arya bukan Bengal hitam pekat. Bibirnya tipis ranum menyungging berlipstik merah merona menarik untuk mengulum. Rambutnya tergerai panjang lurus semerbak bau gaharu, kulitnya putih keset terasa ingin menjilatnya dan bau sekujur tubuhnya khas aroma minyak zaitun.
Priya namanya, ia primadona di Kandapara dan banyak pria mengantri untuk menggagahinya. Tap ada hal yang ganjil akan Priya, ia bak magnet bagi lelaki ingin meniduri dan merasakan legitnya labirin rahimnya. Tapi saat pria itu bersenggama dan membuat lindu di bilik khususnya itu pada esoknya akan merenggang nyawa setelah menikmati lendir vagina wanita mistik itu. Herannya kejadian heboh itu tidak membuat surut para lelaki untuk mengantri, Priya seakan ada susuk pemikat yang tertanam pada titik jalan darahnya. Kerumunan makhluk berpenis itu selalu berjajar digerbang kamar Priya…
Mengantri!
Dua kelamin bersatu!
Esok nyawa melayang!
Berbaris lagi!
Ritual lingga-yoni!
Satu orang merenggang nyawa!
Kembali lagi!
Rintihan dan lenggungan berahi!
Mayat membusuk!
Baca: Anak Kecil Yang Menggenggam Revolver
Itu terus terjadi pada Priya dengan pelanggannya, lezatnya hubungan badan membawa maut. Tak membuat keder bagi lainnya bahkan penasaran. Berita Priya mengundang orang-orang dari berbagai penjuru negeri seberang untuk mencicipinya. Mulai saudagar intan berlian kaya raya, pangeran tampan jazirah atau jawara antah berantah berdatangan untuk Priya. Endingnya dipastikan mereka tewas setelah merengguk surga dibawah selangkangan wanita itu. Telah 99 nyawa melayang menuju neraka saat itu dan terus muncul lainnya untuk mencoba.
Priya ini tak asing bagiku namun aku lupa dimanakah itu seperti dejavu saat bicara dua mata dengannya. Entah kapan aku pernah melihatnya, aku belum bisa menemukan jawaban atas semua peristiwa aneh ini. Akhinya terjawab juga saat Priya mengaku dan menjabarkan akan masa lalunya. Lahir didalam keluarga cukup dan kolot, Priya tumbuh menjadi gadis ranum yang siap dipetik oleh siapapun. Keluarga besar menaruh harapan besar padanya agar menjadi calon istri pejabat di kota nanti dan melahirkan keturunan murni dari rasnya. Tapi malang tak bisa dihindari, malam itu saat Priya berjalan sendiri menuju rumahnya sendirian. Ia dihadang oleh gerombolan muda yang telah mabuk akan tuak, semua akal sehat hilang pengaruh alkohol dimulut mereka. Ramai-ramai Priya dirobek dan diperkosa bergiliran hingga telanjang tak tersisa, jalanan sepi teriakan Priya menggema hilang dalam sunyinya malam.
Terbujur kaku dalam semak-semak ditinggal mati gerombolan itu, antara hidup dan mati Priya berjalan tertatih dengan luka menganga dibawah perutnya. Keluarga shock mendengar ucapan Priya, tangisan bersahutan dalam rumah itu. Ibu dan neneknya saling berpelukan, Bapaknya menggeram menahan amarah. Karena peristiwa itu keluarga itu dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya, keperawanan adalah harga mahal dan suci jika direnggut hilang sudah martabat dalam kampung itu. Berhari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun luka itu tak kunjung sembuh dan terus membusuk dalam relung hati. Ini membuat kedua orang tua mati tragis menahan duka mendalam, keluarga itu terluka. Utang pada lidah darat belum lagi terbayar, rumah dan barang berharga dari keluarga Priya disita dan itupun belum cukup untuk melunasinya.
Tubuhnya ada di Kandapara disebabkan dijual para lidah darat itu pada germo disini, tak ada yang bisa diambil dari rumah keluarganya. Priya ingin berontak dan melawan namun tak berdaya dan tak ada yang menolong. Semua menutup jendela dan memalingkan wajah mereka saat Priya diseret centeng-centeng suruhan juragan riba itu. Tubuh tergerus aspal tanah dan rambutnya dicambak menyusuri jalan makadam kampung itu. Dimatanya ada dendam membara membakar jiwa yang tak pernah padam biarpun diguyur air sungai gangga.
Sebelum peristiwa busuk itu, neneknya merapal dan menghembuskan mantra kuno sansekerta untuknya dan memasang jarum gaib dalam selangkangan vagina Priya. Konon jarum beracun itulah yang membunuh semua pria yang menyetubuhi Priya, mendapatkan kenikmatan tak kira saat itu juga ajal menanti. Balas dendam yang dilakukan Priya untuk semua pria hidung belang, apa yang mereka lakukan padanya atau balas dendam membabi buta tepatnya.
Aku hanya bergidik ngeri mendengar penuturan dan pengakuan Priya, begitu mengejutkan apa terjadi pada Priya. Tapi aku tak tahu apakah itu benar atau tidak? Semua tak masuk akal dan konyol. Saat kembali kulihat sekali lagi wajah dan matanya, sorot mata itu tak bisa kulupakan. Mata itu tak berbohong dan aku mulai mengingatnya kembali bahwa sebenarnya wanita dihadapanku adalah perempuan muda kala itu yang aku pernah perkosa ramai-ramai dengan temanku beberapa tahun silam. Namun ia tak akan ingat wajahku, saat itu akulah yang membekap mulutnya dari belakang.
Surabaya, April 2017
Simak: Bangkai Pesawat yang Menimpa Kami
Ferry Fansuri, kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya “Roman Picisan” (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam antalogi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen “pria dengan rasa jeruk” masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.