UKE

Ilustrasi: Mural PostIMG.org

Ilustrasi: Mural PostIMG.org

Cerpen Agus Hiplunudin

Uke terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya yang semula selalu ceria kini nampak begitu layu, ia bagaikan mawar merah yang kehilangan warna, kini mukanya putih—pucat pasi. Aku sangat mengkhawatirkan Uke—adikku satu-satunya itu, pula dengan kedua orangtuaku, mereka sangat mencemaskannya.

Sesekali aku melirik lengan kiri Uke yang masih dililit perban, tampak warna merah masih membercak, tadi pagi di kamar mandi ia mencoba memotong nadinya sendiri, untung saja ibuku memergokinya, dan percobaan bunuh diri tersebut dapat digagalkan. Kendati Uke sempat kritis ketika dilarikan ke rumah Dokter Alwin, “Nggak apa-apa, Uke perlu istirahat saja sejenak, dan dia telah banyak kehilangan darah. Tapi, tidak ada yang perlu dicemaskan,” kata Dokter berusia senja itu pada kami—memberi ketenangan, ketika ia memperban luka di lengan Uke.

Aku, ibu, dan ayah—secara bergantian menjenguk dan menemani Uke di dalam kamarnya, selain melayani makan dan minumnya, dan mencoba menghiburnya, kami juga sepakat untuk menjaganya, agar kejadian percobaan bunuh diri itu tidak lagi terulang, dan jika terulang di antara kami dapat mencegahnya dengan segera.

Semunggu menjelang, luka Uke udah kering, dan perbannya dibuka, senyum Uke kembali merekah, membuat hatiku sekeluarga turut bahagia. Uke mulai mau bercerita; “Kak, aku sangat mencintainya,” katanya. Dan aku mendengarkannya penuh minat tanpa berkata-kata, sebab aku tahu ia akan terus bercerita.

“Olan, pemuda itu telah menghianati cintaku padanya. Ternyata ia telah menduakanku. Celakanya, ia telah menghamili kekasih selingkuhannya itu,” mata Uke kembali berkaca-kaca, dan aku mengelus rambutnya yang terurai hitam legam. “Aku pikir, aku tak akan bisa hidup tanpanya, namun sekarang aku sadar, ia memang bukan lelaki yang tepat bagiku. Dan dari sisi lain, aku merasa beruntung, sebab aku belum sempat disentuhnya, sehingga aku masih suci, keperawananku belum ternodai,” sambungnya, dan kali ini air matanya melinangi kedua bilah pipinya yang kuning langsat.

“Kak semalam aku bermimpi.”

“Mimpi apa, Dik?” tanyaku penasaran.

“Seorang lelaki tampan pemburu babi, menyatakan cintanya padaku!”

Aku menatap wajah cantik adikku, seraya aku memeluknya, pun ia memelukku. “Itu hanyalah mimpi,” gumamku penuh kecemasan.

Keesokan harinya, Uke kembali menceritakan mimpinya, dengan mimpi yang sama. Dan aku kembali berujar padanya bahwa itu hanyalah mimpi.

Tujuh hari berturut-turut, Uke bermimpi dengan mimpi yang sama, dan ia selalu menceritakannya padaku. Selama tujuh hari pula Uke berusaha kabur dari rumah untuk mencari lelaki yang menemuinya dalam mimpinya. Untung saja dengan kewaspadaan yang tinggi, aku selalu bisa memergokkinya. Namun, lama ke lamaan aku merasa kasian juga padanya. Gadis itu bisa-bisa gila karena mimpi, pada akhirnya pada suatu malam, kudapati Uke keluar dari kamarnya, ia mengendap-endap keluar rumah, dan kali ini aku membiarkannya.

Dalam keunyian malam Uke dengan gontai menelusuri jalan, dengan langkah yang tak jelas arah. Tanpa disadarinya. Ia telah masuk jauh kedalam sebuah hutan. Tiga hari tiga malam sudah ia tersesat di dalam hutan—tanpa makan hanya minum dari tetes-tetes air di dedaunan. Ia mencari-cari tempat yang ia temui dalam mimpinya, namun tempat itu tak pula diketemuinya.

Pada suatu tempat, Uke melihat bantaran sungai yang memanjang, lalu Uke tersenyum, sebab dalam mimpinya, bahwa kediaman pemuda itu terletak dekat bibir sebuah sungai. Matanya yang semula sudah tak bercahaya karena nyaris putus asa, kini mulai bercahaya kembali karena terbuai oleh suatu harapan, yakni; harapan bertemu dengan kekasihnya, yang ditemuinya dalam mimpi.

Uke melangkah, ia menyebrangi sungai tersebut. Namun, deras airnya tidak sepadan dengan tenaganya yang telah hampir habis. Akhinya ia hanyut, ia mencoba berteriak meminta tolong tetapi terlalu lemah.

Pada sebuah pagi, jauh di dalam sebuah hutan, tepatnya di bibir sungai, tampak seorang kakek tergopoh-gopoh mencelupkan tali pancingnya. Sang kakek terperanjat kailnya menyangkut di sebuah benda agak besar dan terasa berat. Rupanya benda itu tak lain adalah tubuh Uke. Dengan segala tingkah ketuaannya si kakek berusaha menyeret tubuh Uke ke bibir sungai, dan ia memberikan pertolongan pertama.

Tiga hari sudah Uke dirawat di gubuk si kakek. Dan keadaan Uke berangsung-angsur membaik, hanya hitam di keningnya yang masih tersisa, mungkin ketika terhanyut ia membentur sebuah batu.

“Uke, apa yang menyebabkanmu, terhanyut di sungai Cikapundung?” tanya kakek pada suatu pagi.

Uke terhenyak sejenak, kemudia ia menjawab: “Aku mencari lelaki pemburu babi, lelaki itu selalu membawa anjing kudisan ketika ia sedang memburu. Pemuda itu, telah menjadi kekasihku dalam mimpi.”

Kakek nampak terhenyak, kemudian ia berujar: “Lelaki yang kau maksud adalah cucuku, ia dengan anjing buruannya telah pergi di empat hari yang lalu. Cucuku bernama Damar. Sebelum kepergiannya Damar sempat bilang padaku, bahwa maksud kepergiannya untuk mencari cinta sejati seorang perempuan yang ditemuinya lewat mimpi. Kamu dan cucuku betul-betul sudah tak waras—mempercayai sebuah mimpi!!”

Sekeluargaku telah kehabisan cara untuk mencari keberadaan adikku, di sisi lain aku merasa bersalah, sebab aku telah membiarkannya minggat dari rumah. Pun polisi dengan segenap anjing-anjing pelacaknya, mereka betul-betul tak dapat mengendus keberadaan Uke, yang sekang entah di mana.

Kedua orangtuaku telah nyenyak tertidur, setelah sehari penuh ikut dengan polisi mencari Uke. Akupun sebetulnya sangat lelah, namun perasaan bersalah telah menggerogoti perasaanku, sehingga pasang mataku tak kuasa untuk terpejam, pikiranku selalu tertuju pada Uke, adikku satu-satunya yang sesungguhnya sangat aku sayangi, dan sekarang ia hilang karena kebodohanku, membiarkannya pergi dari rumah untuk membuktikan mimpinya yang aneh itu.

Tiba-tiba kupingku menangkap suara gemerisik seperti daun-daun dan rerantingan kering yang terinjak di belakang rumah dan sesekali terdengak sesegukkan seekor anjing. Suara itu terus bergerak dan berhenti di depan rumah. Dalam pikiranku, barangkali ia adalah Uke, namun pikiran itu segera menghilang, sebab Uke tak pernah pergi dengan seekor anjing.

Karena penasaran, aku beranjak dari kamar, menuju ruang depan, aku singkap sedikit goden jendela, tampak olehku seorang lelaki kumal dengan seekor anjing sedang berdiri mematung di depan pintu, seakan lelaki itu hendak mengetuk pintu, namun rasa ragu telah menguasai dirinya. Jantungku berdegup, khawatir pria asing tersebut seorang penjahat, atau pembunuh misterius berdarah dingin seperti yang sering aku saksikan dalam film-film baik di bioskop maupun televisi.

Tampak canggung dan penuh ragu, lelaki itu perlahan menggerakkan tangannya dan mengetuk pintu. Aku terhenyak, dalam hatiku berujar; “tidaklah mungkin seorang penjahat mengetuk pintu,” akupun menguatkan hati, penuh kehati-hatian aku kubuka pintu.

“Ada keperluan apa kisanak?” tanyaku dalam keadaan siaga.

“Aku sedang mencari seseorang,” kata lelaki itu, bibirnya tampak berketar dan pucat pasi karena kedinginan.

Aku tercenung, rasa iba menjalari perasaanku, yang akhirnya mengetuk perasaan kemanusiaanku, baiknya pria malang ini dimasukkan dulu kedalam rumah, mungkin ia butuh pertolongan dan tempat menginap malam ini.

Kusilakan ia masuk, namun anjingnya yang kudisan menjijikan itu seperti mengerti, ia lari ke belakang, mungkin ia meringkuk di sana.

Setelah membersihkan tubuhnya, dan ia kupinjami pakaianku, ia nampak tampan, setelah kekumelan hilang darinya. Setelah kuberi makan, kusilakan ia untuk tidur di kamarku. Namun, nampaknya ia belum ngantuk. Pemuda itu bernama Damar—kami sempat berkenalan sebelum ia mandi.

“Siapa yang kau cari, Damar?” tanyaku penesaran.

“Seorang gadis yang aku temui melalui mimpi,” jawabnya dan tatapannya kosong.

“Gadis itu dengan luka sayat di nadi lengan kirinya,” sambungnya.

“Aku lelaki pemburu babi hutan. Aku sedang mencari cinta sejati seorang gadis. Sebab kisah cintaku begitu menggetirku: Cintaku terbuang, kekasihku menghianatiku. Ia berbagi cinta dengan pria lain—kini ia tengah hamil muda oleh pria itu,” tambahnya dengan nada suara seperti hendak menangis.

Kemudian, aku berbicara; “Damar, gadis yang kau cari adalah adikku. Kau dan adikku betul-betul sinting, mempercayai sebuah mimpi!”

 

Selesai

Panggarangan, 26-06-2017

 

Exit mobile version