Gerimis yang Malu-malu

mawar, mawar dinda, setangkai mawar, sebuah cerpen, rina romadona, cerpen indonesia, kumpulan cerpen, nusantaranews
Setangkai Mawar Dinda. (Foto: Ilustrasi/Aliexpress)

Gerimis yang Malu-malu

Oleh: Rangga Septio Wardana

Malam hampir pada puncaknya, dan dingin semakin menyelimuti kota
yang sudah lama tidak aku singgahi, mungkin karena hujan yang turun rintikrintik dan diiringi laju angin yang membuat udara dingin menusuk kedalam tulang rusukku, “Padahal aku mengenakan jaket yang cukup tebal.” batinku. Beberapa orang sibuk merapikan barang bawaannya, terlihat beberapa penumpang lain masih terlelap dalam mimpi dan imajinasinya, aku sendiri tengah menatap jendela
bus yang membawaku kembali ke kota ini, tempat dengan hiasan kelip lampu kota yang sedikit menyilaukan mata, tempat dimana kenangan membeku dan menumpuk serupa gunung es. dingin memang, namun jika gunung es itu mencair akan terlihat banyak genangan dan kenangan, genangan dari es yang mencair dan kenangan dari banyak hal yang kulakukan di kota ini.

Sopir bus membawaku ke sebuah tempat pemberhentian, terminal yang sama ketika aku terakhir kali berada
di kota ini, sekarang aku kembali menginjakan kaki di terminal yang sama, dengan suasana sejuk akibat gerimis yang pelan-pelan.

Sudah empat tahun semenjak aku terakhir kali meninggalkan kota ini,
ternyata suasananya tetap sama walaupun ada beberapa bangunan dan tempat baru, namun yang paling penting dari itu semua adalah hujan yang masih sama, tidak deras dan menakutkan, hujan rintik dengan tetes demi tetes yang perlahan turun menyentuh bumi. Aroma hujan hujan mengingatkanku akan kejadian 4
tahun yang lalu, waktu itu aku sedang berteduh ditengah hujan yang sedang turun, tiba-tiba ada seorang wanita menepuk pundakku.

“Haii! Raka?”

“Hai? Hhmm?” gumamku sambil mengingat-ingat.

“Aku Nadya, Kakak kelasmu dulu ketika SMA.”

“Oh iya Kak Nadya, aku mengenalmu. Ini rumahmu? Bisa-bisanya aku berteduh di depan rumahmu, padahal sebelumnya aku tidak tau jika ini adalah rumahmu.”

Bagaimana tidak ingat, aku dulu sangat mengaguminya, ia termasuk orang yang cerdas, beberapa kali mengikuti olimpiade sains tingkat nasional, wajahnya sangat menyejukan bahkan mungkin sejuknya hampir menyamai gerimis rintik-rintik yang turunnya seperti malu-malu dari atas awan menuju ranting dan daun-daun.

“Kamu tidak bawa jas hujan? Sepertinya hujan akan sangat lama, lebih baik kamu berteduh di dalam,” ajaknya.

Aku berteduh di rumahnya, di rumah orang yang dahulu sangat aku kagumi,
karena itu bahkan aku hingga tidak berani berharap untuk berkenalan dekat dengannya, nyaliku tak cukup untuk mencoba menghampirinya dan berkata “hai” atau bahkan untuk menghampiri kelasnya ketika bel pulang berbunyi, untuk sekadar menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

Ketika aku berteduh di rumahnya, kita berbicara dan bercerita tentang banyak hal. Semenjak pertemuan tak sengaja didepan rumahnya itu kita jadi lebih sering berkomunikasi, bahkan hampir setiap malam kita jadi sering bertukar kabar, hanya sekadar bertanya dan
bercerita tentang hal apa yang diperoleh setiap harinya.

Sebulan setelah kejadian itu, ia jadi lebih sering mengajaku pergi hanya
untuk sekadar menghabiskan waktu bersama, mengisi waktu libur setelah
menjalani kegiatan rutin yang kita lakukan dari hari Senin hingga jumat.
Seiring waktu berjalan aku jadi merasa bahwa kehadirannya adalah seperti sebuah titik cahaya kecil yang semakin lama membesar ditengah kegelapan yang selama ini menangkapku. Menjadi sosok yang membantuku lepas dari rasa kesepian, saat itu aku memang seperti merasa sangat sendirian, teman-teman dekatku pergi keluar
kota untuk berkuliah, sementara aku merasa sendiri di kota ini, menjalani hari sebagai seorang peracik kopi di salah satu kedai milik salah satu temanku ketika SMP, bekerja setiap hari senin hingga jumat, sebenarnya aku ingin berkuliah juga seperti teman-teman dekatku, jika aku diberi kesempatan untuk berkuliah mungkin aku akan mengambil jurusan musik, aku memang seorang penggemar
musik sejak dahulu, bahkan ketika kelas 2 SD aku sudah berkenalan dengan band Scorpions, Queen dan The Beatles. Sesekali Nadya mengunjungi kedai tempat kerjaku untuk mencicipi kopi racikanku atau hanya untuk mengerjakan tugas kuliahnya.

Seiring waktu berjalan aku dan Nadya menjadi sangat dekat, aku jadi sering mengantar-jemputnya pergi ke kampus, ia memang tidak pernah menyuruhku untuk mengantar-jemputnya, namun aku melakukan hal itu atas inisiatifku sendiri, bagiku saat itu mengantar-jemputnya adalah hobi baruku yang
sangat menyenangkan. Ia berkuliah disalah satu kampus ternama di kotaku, mengambil jurusan fisika murni, sejak dahulu ia memang menyukai semua yang berhubungan dengan sains, terutama fisika dan biologi. Aku mengantarjemputnya menggunakan motor tua peninggalan kakekku, Kawasaki binter merzy produksi
tahun 1980, sebenarnya motor ini sudah lebih dahulu dipasarkan dijepang tahun 1976, namun baru ada di Indonesia tahun 1980, risiko menggunakan motor tua adalah sering mogok dijalan, namun beruntungnya Nadya sangat mengerti keadaan, ketika diperjalanan berangkat atau pulang kampus ia sering bercerita
tentang hal-hal yang berhubungan tentang fisika, menurutnya fisika sangat erat dengan kehidupan sehari-hari manusia, pernah ia bertanya kepadaku tentang gelombang.

“Raka, kamu pernah belajar tentang gelombang?” tanyanya lirih.

“Sepertinya pernah, setahuku gelombang itu ada transversal dan longitudinal.”

“Iyaa, ternyata gelombang itu seperti kehidupan, untuk terciptanya sebuah
gelombang diperlukan puncak dan lembah. Bukankah kehidupan pun seperti itu? Terkadang kita berada diatas, dan kadang kita berada di bawah, di titik terendah. Kehidupan bergerak seperti gelombang.”

“Perumpamaanmu bagus sekali, membuatku harus berpikir namun sangat menyenangkan,” candaku saat itu.

Saat itu aku sedang di kedai, dan ia datang menghampiriku. Padahal baru 3 hari yang lalu kita bertemu, pergi ke bioskop untuk menonton salah satu film kesukaannya.

“Raka, apa kau sibuk? boleh aku meminta waktumu sebentar?.”

“Sepertinya tidak terlalu. Sebentar, aku izin terlebih dahulu,” aku bergegas
meminta izin ke atasanku.

Kemudian Nadya mengajakku ke suatu tempat, sebuah taman dengan pepohonan yang rindang di sudut kota, saat itu gerimis turun malumalu, udara segar dan sejuk menambah perasaan positif yang ku rasakan, Nadya
mempersilahkanku duduk di salah satu kursi taman.

“Ada yang mau aku tanyakan,” ucapnya perlahan.

“Apa?”

“Sudah hampir 3 bulan kebelakangan ini kita sangat dekat, aku sudah bercerita mengenai banyak hal tentang kehidupanku, begitupun sebaliknya.”

“Iya betul, lalu?” tanyaku heran.

“Kamu menganggap hubungan ini sebagai apa?”

“Kamu bertanya mengenai hal itu kepadaku? Aku rasa kamu pasti menyadarinya, bukankah sikapku kepadamu sudahlah sangat jelas, bahwa aku menyayangimu, Nadya.”

“Sudah kuduga pasti kamu salah mengartikan hubungan ini, sebenarnya ini yang aku takutkan sedari awal.”

“Maksudmu?” tanyaku masih belum mengerti.

“Sebenarnya aku tidak ingin hubungan kita sampai sejauh ini, aku tidak ingin
kamu mengganggapku lebih dari seorang sahabat, sahabat untuk berbagi cerita, tidak lebih,” jelasnya secara lirih.

Setelah penjelasan yang ia sampaikan, aku belum bisa menanggapinya secara sadar, pikiranku masih membandel membayangkan bahwa yang kualami sekarang ini hanya ada dalam mimpi burukku, aku masih berharap ada seseorang yang membangunkanku dari mimpi burukku. Namun perlahan-lahan aku menyadari bahwa ini adalah nyata, bahwa aku harus bisa menerima pernyataannya yang memang adalah sebuah kenyataan, kenyataan yang mungkin memang alur terbaik dari hubunganku dengannya.

“Jadi aku salah menanggapimu, Nadya. Aku minta maaf, aku minta maaf karena salah menduga tentang hubungan ini, aku minta maaf atas semua harapanku padamu.”

“Kamu tidak perlu meminta maaf, Raka. Ini semua bukan sepenuhnya kesalahanku, bahkan mungkin seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu karena sikapku selama ini mungkin yang membuatmu menaruh harapan kepadaku.”

“Kalau begitu, akupun ingin mengucapkan terimakasih. Aku harus kembali ke kedai, aku harus kembali ke pekerjaanku,” timpalku dengan senyuman.

Akupun segera pergi dari tempat itu, namun tidak kembali ke kedai. Aku segera menelpon atasanku untuk meminta izin karena harus pulang lebih awal. Saat itu pikiranku sangat kacau. Aku baru menyadari apa yang dikatakan Nadya ketika aku mengantarnya ke kampus, bahwa kehidupan itu seperti gelombang, terkadang kita berada di atas, terkadang kita berada di titik terendah, dan sekarang aku merasa seperti ada di titik terendahku. Cahaya yang dahulu menyelamatkanku dari kesepian kini harus lenyap dilahap bayangannya.

Mungkin aku terlalu menggantungkan kebahagiaan kepadanya, namun sekarang aku tidak memiliki ranting yang kokoh untuk menggantunggan kebahagiaanku, rantingnya patah
diterjang angin yang ditiup dari utara keselatan, dari timur kebarat dan sebaliknya, sehingga menimbulkan pusaran angin yang entah sampai kapan akan reda.

Semenjak kejadian itu aku memutuskan untuk berhenti bekerja di kedai, memutuskan untuk pergi meninggalkan kota itu, meninggalkan gerimis yang
malu-malu, meninggalkan kenangan-kenangan yang tercipta bersama Nadya, bersama gerimis, bersama hujan, bersama gelombang, bersama angin dan bersama angan.

Aku pergi keluar kota dan mencoba untuk merubah cara pandang terhadap
kebahagiaan, mencoba untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada apa dan kepada siapa; pada impian orang lain.

“Bahagia itu sesungguhnya datang dari diri sendiri, bukan dari apa atau dari siapa.”

Mungkin hal itu yang kudapat dari
kisahku dengan Nadya, menyakitkan memang, namun juga mendewasakan. Dan sekarang aku berada di terminal, dengan gerimis yang perlahan turun ke bumi, sepertinya gerimis malu-malu menyambut kehadiranku kembali ke kota ini.

Selesai.

Tentang penulis

Rangga Septio Warrana adalah pria yang senang menulis, bermain musik dan bernyanyi. Lahir di Bogor pada 13 Agustus 2000, seorang mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta. Karya ini tercipta saat saya sedang memikirkan sesuatu yang saya pikirkan.

Exit mobile version