Telaah Kritis: Momentum Pelembagaan Pancasila (Bag. 1)

Ilustrasi: Pancasila Pelita Dunia/Foto Ilustrasi: NUSANTARAnews

Ilustrasi: Pancasila Pelita Dunia/Foto Ilustrasi: NUSANTARAnews

Oleh: Ali Munhanif*

NUSANTARANEWS.CO – Ketika Denny JA mengundang saya untuk menulis sebuah tanggapan tentang gagasan Pembaharuan Demokrasi Pancasila, sulit bagi saya untuk menyikapi bagaimana harus menyambut undangan ini. Undangan itu tentu saja sekaligus tantangan, dan tujuannya juga mulya. Tetapi segera setelah merenungkan secara mendalam tantangan itu, perasaan saya diliputi sejumlah kebimbangan.

Pertama, untuk pertamakalinya sejak rezim Orde Baru beserta perangkat kelembagaannya tumbang pada 1998, ajakan memperbincangkan kembali Pancasila secara serius dibuka. Tapi bagi kalangan yang mengamati bagaimana Pancasila diposisikan dalam diskursus politik Indonesia, perbincangan tentang itu seperti menghadapi dua tabu sekaligus.

Tabu karena Pancasila hampir identik dengan alat kelembagaan Orde Baru untuk melegitimasi perilaku rezim, sehingga membuka kembali perbincangan tentangnya sudah pasti akan dibaca sebagai upaya menghidupkan kembali otoritarianisme, kekerasan, dan penindasan politik.

Tabu yang lain adalah Pancasila terlanjur menjadi kesepakatan oleh hampir semua komponen politik bangsa—baik di partai politik, perkumpulan kedaerahan, maupun ormas Islam, atau organisasi civil society lain—sebagai “bentuk final” dari cita-cita kenegaraan. Begitu idealnya mereka memposisikan Pancasila, sehingga perbincangan kembali Pancasila bisa dituduh sebagai pelanggaran kesepakatan nasional tadi.

Menyambut niat baik Denny JA tidaklah cukup mengiyakannya saja, tetapi juga mencari celah yang tepat di mana saya bisa menyumbangkan sisi penting dalam menemukan visi baru demokrasi Pancasila.

Kedua, undangan Denny  JA bisa dibilang datang tepat waktu. Meskipun isu Pancasila adalah isu klasik tentang hubungan Islam dan negara, undangan tadi datang ketika akhir-akhir ini bangsa Indonesia seperti terbelah akibat gejolak sosial, politik dan keagamaan yang diakibatkan oleh proses Pilkada DKI 2017. Kegelisahan utama akan kebangkitan isu SARA dipicu oleh meningkatnya mobilisasi agama untuk tujuan-tujuan politis.

Pilkada yang pada awalnya bertujuan memilih pemimpin daerah telah berubah jauh menjadi pintu masuk mobilisasi SARA yang sudah pasti berpotensi memecah belah sentimen kebangsaan masyarakat. Pilkada memang berjalan lancar, dan pemenangnya juga sudah ditetapkan.

Tapi efek mobilisasi SARA dalam Pilkada tadi tampaknya akan mewariskan persoalan sosial politik dan kebudayaan yang jauh melampaui tujuan Pilkada itu sendiri. Ia memberi pertanda bahwa, jika tidak ditata ulang apa makna demokrasi Pancasila, bukan tidak mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi ancaman serius di mana ketegangan hubungan Agama dan Negara akan terus timbul.

Di tingkat ini, bukan saja kita sulit merajut kembali ketegangan di antara keduanya, perpecahan NKRI yang bersumber pada konflik SARA pun tak terelakkan. Di situ, ajakan Denny JA untuk membuka diskursus baru tentang demokrasi Pancasila patut diapresisasi.

*Ali Munhanif, Pengajar Ilmu Politik UIN Jakarta dan aktif di Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP).

Exit mobile version