Tantangan Penggerak Keberaksaraan Masyarakat Indonesia di Era Digital

Dunia Keberaksaraan di era digital/Ilustrasi nusantaranews

Dunia Keberaksaraan di era digital/Ilustrasi nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Dalam konsep keberaksaraan terkandung spirit keterampilan dan pengetahuan membaca, memahami, dan menghasilkan teks sebagai salah satu perangkat intelektualitas seseorang. Konsep ini berlaku bagi kaum intelektual yang ingin berpartisipasi secara penuh dalam kebudayaan dan masyarakat dimana ia hidup. Dengan demikian pendidikan dan keberaksaraan memiliki keterpautan yang saling mengisi.

Keberaksaraan secara khusus menjadi media yang efektif dan efisiean untuk memahami dengan berkomunikasi dengan lingkungan masyarakat. Sebagai media, format keberaksaraan selaras dengan kesepakatan dan aturan yang ada dalam aturan hidup masyarakat. Karenanya bentuk keberaksaraan nampak sebagai hasil dari sebuah “konstruksi sosial”, baik secara formal maupun non-formal dan informal. Contoh yang paling nyata adalah tumbuhnya rumah-rumah baca di berbagai daerah.

Dunia terus maju dan berkembang, bentuk keberaksaraan pun ikut berubah untuk terus bertahan. Hal ini nampak dengan hadirnya berbagai kolompok pembaca yang diadakan oleh berbagai penerbit, komunitas-komunitas kutu buku, dan lain sebagainya. Kendati kolompok-kelompok pembaca ini sudah terpetak-petak sesuai dengan kepentingan mereka.

Memasuki era digital, fenomena keberaksaraan tidak hanya bisa dilihat dari cara membaca masyarakat yang hanya terbatas pada buku, tetapi juga di internet. Baik itu buku digital, portal berita, maupun blog. Akhirnya format Keberaksaran juga melibatkan media online. Maraknya blogger Indonesia baik itu nasional maupun lokal menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang sudah memiliki minat baca tulis.

Kemudian, apakah masyarakat pengguna telepon cerdas tidak membaca? Selain sebagian memfungsikan sebagai media komunikasi dan main games, tentu dalam sehari mereka sempat membaca dalam bentuk tulisan apapun. Atau membaca dengan cara yang lain yakni nonton berita di YouTube.

Era digital mesti disadari keberadaannya yang telah menggiring masyarakat untuk membaca secara online. Benarkah ini adalah era lahirnya format keberaksaraan baru? Bagi masyarakat urban barangkali sudah mulai terjadi. Namun di daerah-daerah pedalaman tentu saja masih menggunakan format lama. Artinya membaca sesuai dengan kebutuhan mereka, meski tanpa buku.

Terkait era digital, ada sebuah catatan kecil, bahwa taman bacaan masyarakat yang populer dengan istilah TBM ini dipandang kurang kekinian. Pendapat ini muncul pasca peringatan Hari Aksara Internasional ke 50 tahun 2015 lalu. Upaya mendasar yang dilakukan TBM sebagai besar sebatas urusan membaca buku, menggambar, atau kegiatan mendasar lainnya tanpa melibatkan alat digital.

Digitalisasi serentak atau ikut kekinian barangkali hanya berlaku bagi masyarakat di perkotaan. Sebab suatu hal yang sukar dilakukan bila diimplementasikan di pedalaman yang jelas-jelas belum tersentuh teknologi baca yang kekinian. Terkecuali nonton tv alias membaca dengan cara melihat dan mendengar.

Masyarakt tidak bisa dipaksa untuk melahirkan ide sekaligus mempraktikkan kegiatan-kegiatan kreatif inovatif sesuai budaya populer yang sedang tren. Sebab tidak semua masyarakat Indonesia membutuhkan hal itu. Meskipun ada yang berpendapat bahwa salah satu penarik minat dan partisipasi masyarakat untuk membaca adalah dengan menjalankan program sesuai dengan tren masa kini.

Femona tersebut mesti mendapat respon sigap dari para pengelola TBM atau aktivis keberaksaraan. Artinya, mereka ini mesti punya strategi yang progresif untuk memajukan minat baca. Seperti yang dikatakan oleh novelis Heri Hendrayana Harris yang lebih dikenal dengan nama pena Gola Gong sang pendiri Rumah Dunia itu bahwa, setelah dirinya berkeliling ke TBM di sejumlah daerah, banyak TBM yang berjarak dengan budaya masyarakat tempat TBM itu berada.

Menurut Gola Gong, budaya masyarakat belum direspons sehingga program dan kegiatan kebanyakan TBM cenderung monoton. Karenanya, para aktivis keberaksaraan harus lebih terbuka, gaul, dan kreatif memasukkan budaya populer ke dalam program kegiatan. Kebudayaan bisa dikaitkan dengan literasi. TBM, tambah dia, bisa jadi trendi sekaligus bisa mendorong gerakan Indonesia membaca. Proses membaca pengelola TBM harus lebih maju dari warga belajarnya.

Nah, jika masalahnya terletak pada buku dan infrastruktur, maka cara terbaik yang harus dilakukan adalah membangun kerjasam dengan berbagai pihak. Pemerintah juga harus lebih agresif, supaya tidak hanya cerdas mengkampanyekan Indonesia namun tidak menjelma gerakan nyata.

TBM pun tidak boleh tidak harus bisa melibatkan partisipasi aktif masyarakat di sekitarnya. Hindari program atau kegiatan yang muluk-muluk sehingga sulit dilakukan. Cukup dengan kegiatan sederhana yang benar-benar masyarakat sekitar butuhkan. Tanggal 8 September 2016 ini, adalah waktu yang tepat untuk melakukan kerja-kerja keberaksaraan yang lebih akrab dengan masyarakat. Sehingga Indonesia tidak terus disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan minat baca paling rendah. (Sulaiman)

Exit mobile version