Tantangan Keadilan Sosial: Kasus Meikarta dan Reklamasi

Kesenjangan pembangunan di DKI Jakarta. Foto ilustrasi/ist

Kesenjangan pembangunan di DKI Jakarta. (Ilustrasi/Nusantaranews)

Corak pembangunan berwajah kapitalis dengan spirit kapitalisme dan neoliberalisme sepertinya sudah menjadi keniscayaan selama masa reformasi. Wajah ini ditandai dengan massifnya peranan modal dalam menentukan arah pembangunan dan manfaat yang diciptakannya. Pemilik modal, sang kapitalis maupun korporasinya, telah berkontestasi dengan negara sebagai perencana pembangunan, sistem sosial dan sistem politik. Peranan institusi sosial dan komunitas semakin terpinggirkan. Bahkan, negara pun acap kali harus tunduk pada kepentingan kapitalis dan sistem kapitalisme ini.

Kapitalisme adalah sebuah sistem/ideologi, bercirikan kepemilikan pribadi, kompetisi dalam pasar, maksimasi akumulasi kekayaan pemilik modal dan membayar pajak untuk negara. Dalam perkembangannya, kapitalisme diwarnai dengan neoliberalisme, sebuah mazhab political economy yang dengan agresif mendorong hilangnya peranan negara dalam urusan bisnis. Urusan bisnis ini termasuk memperluas public domain/public place menjadi market place. Ciri utamanya yakni merajalelanya peranan kepentingan bisnis dalam mengatur negara, yang antara lain ditandai dengan privatisasi badan usaha negara (BUMN) dan penjualan aset-aset negara. Di Eropa dan Amerika, hal ini sudah terjadi sejak tahun 80-an dan di Indonesia setelah era reformasi.

Meskipun kapitalisme dan neoliberalisme ini berpedoman negara dengan small government, namun faktanya sistem ini menggunakan negara dalam memperbesar akumulasi aset para kapitalis, dan terutama ketika krisis ekonomi terjadi.

BACA JUGA: Keadilan Tidak Datang Dari Langit

Jeffry Sach (2011) mengatakan bahwa peranan kelompok bisnis dalam mengatur negara di Amerika semakin dominan. Hal ini khususnya, ditunjukkan pada peristiwa kehancuran ekonomi Amerika yang diakibatkan kejahatan pelaku bisnis pada krisis keuangan 2008, tapi negara dan rakyatlah yang terpaksa menanggung beban akibat krisis tersebut. Amerika menggelontorkan uang berkisar 840 miliar dollar dalam program bail out hutang-hutang swasta dan stimulasi ekonomi sepanjang 2009-2012 . Di Indonesia, negara dalam kasus krisis keuangan yang dilakukan dunia usaha pada 1998 juga menanggung beban sebesar Rp 600 triliun dalam bentuk hutang yang harus dibayar setiap tahunnya melalui APBN.

Alhasil, dari pemetaan sosiologi politik yang membagi negara dan masyarakat ke dalam sphere atau wilayah negara (state sphere), market sphere atau swasta, public sphere (wilayah umum/masyarakat) dan private life, kita menyaksikan dominasi kelompok pemilik modal telah menjangkau semua wilayah tersebut.

Keadilan sosial

Konsep keadilan sampai saat ini terus berkompetisi antara mazhab liberalisme dan sosialisme (agama). Liberalisme mengajarkan konsep individualitas. Sebaliknya, sosialisme/komunalisme (agama) mengajarkan konsep berbagai atau kepentingan bersama/sosial.

Ketika Margaret Tatcher berkuasa di Inggris pada era 80-an, dia menganut dan mengumandangakan prinsip bahwa di dunia ini tidak dikenal komunitas sosial, yang ada hanyalah para individu dan keluarga. Kedua, semua hal tentang bernegara dan berbangsa harus dengan kata kunci efisiensi. Ketiga, prinsip lainnya adalah survival for the fittest, yakni setiap orang harus berjuang untuk dirinya sendiri. Peranan negara yang adil hanyalah memastikan adanya kompetisi pasar sempurna dan efisien untuk setiap individual dan mengurus sedikit orang-orang lemah yang butuh bantuan sosial karena kalah dalam kompetisi pasar. Untuk itu, dia mulai melakukan privatisasi BUMN-BUMN, sekolah-sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya, yang sebelumnya dikelola negara untuk lebih berwajah sosial, menjadi institusi yang dimiliki dan digerakkan swasta. Pada saat itu, pandangan Tatcher ini diikuti oleh Amerika yang dipimpin Ronald Reagen, sehingga pada akhirnya menciptakan perubahan dunia, khususnya Eropa Barat yang lebih berwajah sosialistik menjadi liberal.

Keadilan sosial versi sosialis (dengan segala variannya) dan agama, khususnya Islam, justru menempatkan pentingnya keadilan sosial dan usaha-usaha yang dikelola secara socsal. Oleh karenanya, semua eksistensi dan fungsi institusi negara dan masyarakat harus memperjuangkan keadilan sosial dalam agenda utama. Dalam peta sosiologi politik tentang masyarakat, negara harus bersifat weberian yang eksis dan memiliki kekuatan, bukan merupakan proxy kepentingan kapitalis. Public sphere harus eksis dalam kehidupan yang terpisah dari market sphere. Misalnya, pendidikan harus dikelola oleh negara untuk menciptakan keadilan dan mencerdaskan semua masyarakat.

Pancasila dan keadilan sosial

Pancasila sebagai ideologi, jika merujuk pada proklamasi, adalah sintesa dari wajah Islam dan sosialisme. Mayoritas pendiri bangsa kita menolak liberalisme dan kapitalisme masuk dalam sendi-sendi ajaran dan faham dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila adalah berwajah sosialistik agamis, bukan versi individualistik liberal.

Pada saat reformasi terjadi, mulailah faham liberal dan kapitalistik muncul ke permukaan. Hal ini terjadi karena sebelumnya pendidikan kita selama 32 tahun mengadopsi pemikiran liberal barat. Semua universitas menggunakan buku-buku dari kebajikan barat dan dosen-dosen yang berbakat disekolahkan ke kampus-kampus di barat. Kampus, seperti UGM, misalnya, berusaha menciptakan mazhab sendiri perihal keadilan sosial ini, yang terkenal dengan mazhab Ekonomi Pancasila di masa lalu. Kampus-kampus Islam dan IAIN juga berusaha membangun teori keadilan sosial berbasis Islam sebagai alternatif. Namun, saat ini upaya tersebut terancam sirna. Kelihatannya dominasi pemikiran individualistik dan liberalistik sudah tidak dapat dihindari. Hal itu tercermin mulai dari perubahan UUD 45, khususnya pasal 33 dengan memasukkan istilah demokrasi ekonomi, di samping kita mengadopsi sistem demokrasi liberal barat, sebagai pairing-nya di politik, sampai saat ini, misalnya, di mana pemerintah sejak reformasi, tidak merasa bersalah menganut faham kapitalisme dan neoliberalisme.

Tantangan keadilan sosial: Kasus Meikarta dan Reklamasi

Sejak reformasi, kita melihat kesenjangan sosial di Indonesia terus membesar. Kesenjangan sosial yang diukur melalui pengeluaran (konsumsi) sepanjang 5 tahun ini sekitar 0,4 (koefisien gini). Namun, kesenjangan sosial berbasis income belum pernah dirilis. Sedangkan kesenjangan sosial berbasis aset produktif tentu jauh lebih parah. Ombusman Republik Indonesia, awal tahun ini merilis bahwa 0,2% orang menguasai tanah seluas 74% Indonesia. Di kota, tanah-tanah itu berbentuk aset produktif dengan mall-mall, pusat hiburan, perkantoran yang terbangun mewah. Di pedesaan, tanah-tanah itu berupa perkebunan, pertambangan, minyak, kawasan pantai dan lain sebagainya. Jika aset produktif ini menciptakan income bagi kapitalis, maka sudah dipastikan kesenjangan sosial berbasis aset berbanding lurus dengan kesenjangan berbasis income. Sehingga, jika negara bisa meneliti lebih detail, maka sesungguhnya koefisien gini di Indonesia pasti sudah jauh di atas angka resmi pemerintah.

Di perkotaan, kesenjangan ini dipicu oleh kelompok bisnis properti yang mampu mengatur negara. Fungsi sosial tanah untuk menciptakan keadilan sosial, sebagai mana tersirat dalam UU Pokok Agraria dan Spirit Land Reform di jaman awal kemerdekaan, berubah menjadi fungsi bisnis semata. Dalam kasus reklamasi Jakarta, kelompok properti mengatur sedemikian rupa agar tercipta suatu pemukiman orang-orang kaya yang mengontrol akses laut Jakarta, dengan meminggirkan rakyat kecil seperti nelayan dan kaum miskin kota. Bahkan, dengan situasi lesunya pasar properti dan marketing properti ini diarahkan dengan bahasa Mandarin, projek reklamasi ini, dengan rencana jutaan penghuni, memang diarahkan hanya untuk kepentingan segelintir orang, bisa hanya untuk kepentingan bisnis, namun bisa juga untuk kepentingan politik asing.

Dalam kasus Meikarta, kita juga melihat penguasaan lahan daerah-daerah pinggiran Jawa barat oleh segelintir pengusaha semakin nyata. Atas dukungan rezim yang berkuasa, melalui program KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) Bandung Jakarta, yang dibiayai negara via hutang ke dan investasi China, projek Meikarta menyulap kawasan pertanian menjadi bisnis properti triliunan rupiah. Meski pembangunan kota seluas antara 500 HA-2000 HA ini belum ada ijin dan belum masuk RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah), swasta kapitalis tidak peduli, tetap jalan dalam memasarkan produknya, baik di dalam negeri secara ritel maupun kepada investor asing. Kita melihat bahwa negara berkorban melakukan support atas projek-projek swasta besar, yang pastinya tidak menguntungkan rakyat dalam dampak langsung. Misalnya, apa dan siapa yang diuntungkan dari adanya KCIC dalam peningkatan value tanah disekitar lintasan KCIC?

Tentu banyak peristiwa atau projek-projek lainnya yang di Indonesia berkembang bukan dalam konteks developmentalism.

Keadilan sosial: Anomali Jakarta

Keadilan sosial adalah barang mahal buat bangsa Indonesia. Kita semakin jauh terseret pada kapitalisme dan neoliberalisme. Bergerak dari plutokrasi ke corporatism. Hampir semua institusi sosial dan politik menjadi pengabdi pemilik modal karena mahalnya biaya demokrasi. Namun, kasus reklamasi teluk Jakarta telah menjadi menarik perhatian kita.

Tantangan bagi upaya keadilan sosial kita saksikan di Jakarta. Gerakan rakyat menuntut keadilan sosial pada Pilkada Jakarta digambarkan oleh sosok pengabdi kapitalis, Ahok versus sosok sosialistik, agamis dan kerakyatan, Anis Beswedan. Pada pesta demokrasi yang menghabiskan uang puluhan triliun rupiah ini, kekuatan rakyat ternyata mampu mengalahkan ambisi kapitalis menguasai total Jakarta. Tema-tema anti kapitalis, seperti tolak reklamasi Jakarta, bubarkan Alexis (diasumsikan sebagai peternakan pejabat korup), majukan kaum pribumi, kembangkan semangat komunal dan agamis, serta lainnya. Meskipun pertarungan kelompok kapitalis melawan kelompok pro-keadilan sosial terjadi dengan mengambil banyak korban, namun kemenangan kelomok Anies-Sandi membawa harapan pernanan negara bisa muncul lagi di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah kondisi di Jakarta itu dapat diadopsi di Bandung dan di Jawa Barat? Semua ini tentunya berpulang pada kemampuan gerakan rakyat mengidentifikasi pemimpin-pemimpin antek kapitalis dan kelemahannya serta pengorganisasian rakyat untuk menang.

Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Exit mobile version