Sumpah Maryam

Vicente Romero Redondo 1956. Foto: Dok. pictify.saatchigallery.com

Vicente Romero Redondo 1956. Foto: Dok. pictify.saatchigallery.com

Cerpen Linda A. Lestari

Tujuh hari dalam satu minggu, waktu Maryam dihabiskan untuk keluarga Karsa, si tukang ojek kampung. Setiap pagi Maryam bangun pukul empat tiga puluh, salat subuh, lalu memeras pakaian dalam yang kotor, menyikat lantai kamar mandi, memasang wajan, dan hal terakhir yang dia lakukan di pagi hari adalah menghidangkan sarapan untuk Karsa dan istrinya, Farida.

Banyak orang bertanya mengapa Maryam yang miskin bekerja pada orang miskin. Secara stratifikasi, Karsa memang bukan priayi, majikan Maryam hanyalah tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan jalan pantura di malam hari. Tapi lain persoalan jika orang-orang membicarakan Farida, istrinya. Farida punya banyak warisan, tanah peninggalan orang tuanya yang terletak di dekat ladang dibiarkan kosong, dia bingung mau dibuat apa pekarangan sebegitu luasnya. Farida adalah seorang wanita yang hampir memasuki usia kepala tiga. Tubuhnya molek, kulit wajahnya yang kuning langsat selalu dipolesnya dengan bedak dan pemerah pipi setiap hari. Di kampung, dia terkenal sebagai penjual emas imitasi yang dikreditkannya kepada ibu-ibu yang doyan rumpi di warung-warung. Selain berbisnis emas, dia juga gemar arisan. Tentu saja, arisan yang diikutinya cukup merogoh kocek yang dalam.

Di hari Kamis, Farida akan menghabiskan waktunya seharian berada di rumah dan meneriaki Maryam dengan segala macam perintahnya; meminta pembantunya itu untuk memijatnya; memoleskan pewarna di kuku-kuku kakinya; dan hal yang paling Maryam benci adalah dia selalu mengakhiri kalimat perintahnya dengan pertanyaan nyinyir ‘kamu ngebet kawin?’, misalnya ketika Maryam tengah sibuk memanaskan sayur di sore hari, dia masuk melalui pintu dapur dan mengomel ‘He, Maryam. Lain kali sayurnya jangan terlalu asin. Kamu ngebet kawin?’. Terkadang, ketika Karsa pulang ngojek di pagi hari, Farida pernah memergoki suaminya memandangi Maryam yang tengah mengepel lantai, lalu dengan muka sehabis bangun tidurnya, Farida menatap pembantunya itu dengan sinis dan mengatakan ‘Kalau ngepel, debu-debu yang ada di pojokan dibersihkan juga. Kamu ngebet kawin, ya?’ Farida hanya lupa bahwa Maryam masih perawan.

Di usianya yang masih lima belas tahun, Maryam bekerja keras untuk menyembuhkan ibunya yang sakit-sakitan. Entah apa yang membuat ibunya sakit terus-menerus. Maryam pernah membawa ibunya ke puskesmas, tapi obat-obatan puskesmas justru semakin membuat ibunya sekarat. Maka, Maryam mengantar ibunya ke Nyai Ronde. Nyai Ronde adalah seorang wanita tua yang tinggal sebatang kara di ujung jalan. Rumahnya yang terbuat dari pelepah bambu berdeot ketika Maryam masuk memapah ibunya menghadap Nyai Ronde. “Ibumu kena tenung, anakku.” Ketika mengatakannya, Nyai Ronde sama sekali tak menatap kedua tamu yang datang ke pelepah bambunya.

Maryam berjanji akan mengobati penyakit ibunya sesegera mungkin, maka setiap pagi dia kembali ke rumah Karsa, bekerja menjadi pembantu. Setiap hari Maryam menguras tenaga mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, dari mulai membersihkan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, sampai mencuci motor bebek yang biasa Karsa gunakan untuk mengojek. Maryam mengerti mengapa Farida yang sebagai seorang istri enggan mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri; Maryam sadar bahwa majikannya adalah wanita pemalas. Pernah sesekali Maryam libur kerja sehari, Farida teriak seperti orang kesetanan karena gelang imitasi yang dipakainya tersiram air ketika Karsa menyuruh istrinya itu mencuci bekas makannya sendiri.

Ada satu malam yang mengharuskan Maryam menginap di rumah Karsa, adalah ketika pekerjaan terlampau banyak. Maryam diminta menyiapkan dan membereskan hidangan untuk kocokan arisan yang sudah dijadwalkan di rumah majikannya. Malam itu waktu hampir menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, namun jari-jari Maryam masih sibuk menggosok noda minyak di setumpukan piring kotor.

Di kamarnya, Farida sudah tertidur pulas bersama uang arisan yang didapatnya sore tadi. Karsa, suaminya baru akan keluar ngojek. Namun, Karsa mendengar suara gemericik air dari dapur. Karsa tahu bahwa Maryam, pembantunya yang punya kaki jenjang itu masih sibuk mencuci piring. Karsa masuk melalui pintu dapur, “He, Maryam. Kamu ke pasarnya sekarang saja, ya. Supaya besok pagi kamu tidak perlu ke pasar lagi,” ujar Karsa. “Tapi, Pak. Ini sudah terlalu larut untuk belanja ke pasar. Lagian, Ibu juga belum beri saya uang belanja untuk besok.” Maryam menimpali. “Masalah uang, gampang. Nanti kuberi. Ayo, mumpung saya mau berangkat ngojek, sekalian jalan, maksudnya”.

Maryam pun menuruti perintah Karsa untuk berbelanja ke pasar pada malam yang hampir pukul dua belas dini hari itu. Di tengah jalan menuju pasar, motor Karsa berbelok ke arah pabrik tahu. Jalanan sepi. Tengkuk leher Maryam bergidik. Bajunya yang tipis tidak cukup mahal untuk dapat melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Beberapa kilometer dari pabrik tahu, Karsa memberhentikan motor bebeknya tepat di depan sebuah ranggon kecil yang terbuat dari kayu. Maryam mulai ketakutan. Tengkuk lehernya semakin dingin. Pelan-pelan, Karsa menuntun Maryam ke arah ranggon dan mulai melucuti pakaiannya. Tanpa disadari, air mata Maryam menetes jatuh tepat membasahi kerah bajunya. Karsa bukan lelaki pertama yang menyentuhnya. Ketika Maryam berusia dua belas tahun, Sasmita, mantan pacarnya adalah lelaki pertama yang meremas payudaranya. Tapi hanya sebatas itu. Maka, di usianya yang ke lima belas, Karsa adalah satu-satunya lelaki yang mencuri keperawanannya.

Beberapa bulan kemudian, Maryam menyadari banyak hal yang berubah dari dirinya. Hal yang tampak sangat jelas adalah kantung yang menggelambir di bawah matanya. Dan bokongnya, kini membesar. Maryam berpikir bahwa dirinya terlampau banyak makan. Karena Maryam sering mengeluh sakit kepala, Farida mengizinkannya untuk tidak bekerja selama dua hari, tetapi Maryam menolak. Maryam kembali ke dapur, menanak nasi, memasak lauk, dan merebus air untuk mengisi termos. Pada saat air itu mendidih, Maryam mengambil sebuah gayung dari dalam kamar mandi, dan menuangkan air panas itu ke kakinya. Kini, Maryam memiliki alasan yang cukup dramatis untuk tidak lagi bekerja di keluarga Karsa.

Maryam kembali ke rumah dan mengurus ibunya yang mendapat penyakit kiriman. Setiap malam, Maryam diteror dengan kenyataan bahwa ada banyak sekali paku di bawah kolong tempat tidur ibunya. Beberapa bulan berlalu, dan perut Maryam semakin membuncit. Maryam tahu di dalam perutnya tengah menyimpan seseorang. Tapi Maryam tidak peduli, dia tidak peduli pada kesehatannya, pada wajahnya, pada kepalanya yang kini menjadi sarang kutu. Maryam juga menutup telinga rapat-rapat pada kasak-kusuk Farida dan ibu-ibu kampung yang membincangkannya di warung-warung sambil memilih model emas imitasi terbaru. Satu-satunya  hal yang Maryam pedulikan hanya kesehatan ibunya, hingga suatu saat Nyai Ronde berhasil menyembuhkan Ibu Maryam dengan cara yang tidak pernah diberitahunya kepada siapa pun.

Pada suatu sore hari yang terik, pintu rumah Maryam yang terbuat dari pelepah bambu disapa orang. Suara laki-laki. Maryam membuka pintu, dan kaget setengah mati ketika melihat Karsa telah berada di hadapannya. “Mengapa kau tak bilang padaku?” Karsa menanyakan hal itu dengan raut wajah yang berempati. Matanya yang kanan menatap Maryam, dan mata yang satunya lagi melirik perut Maryam yang sudah membesar. “Apa kau membiarkanku mengajukan pertanyaan yang sama ketika kau hendak memperkosaku?” ketika mengatakannya, raut wajah Maryam berubah dingin. “Mengapa kau tak bilang padaku bahwa saat itu kau tak hendak mengantarku ke pasar, melainkan malah memperkosaku di dekat pabrik tahu?”

“Dengar, Maryam. Saya sangat menyesal. Saya memang bersalah. Tapi saya ke sini untuk meminta maaf padamu. Dengar, sebentar lagi saya akan menjadi lurah di kampung ini. Farida memaksa saya untuk mencalonkan diri, kau tahu. Kami menjual tanah pekarangan yang ada di dekat ladang, dan uangnya kini habis dibagikan kepada orang-orang dan rekan ojek di pertigaan.” Karsa termangu sejenak, dan mulai membujuk Maryam. “Kalau kau mau, saya akan bertanggung jawab, menikahimu dan memberimu kehidupan yang lebih layak. Saya akan buatkan kau rumah yang jaraknya beberapa kilometer dari desa ini, dan kau akan aman tinggal di sana bersama anakmu, dan saya akan menjengukmu sesekali. Tapi, jangan sekali-kali kau menceritakan hal ini pada siapa pun, Maryam, saya mohon, jangan ceritakan hal ini pada Farida.” Ketika mengatakan kalimat terakhir, suara Karsa lebih terdengar seperti rintihan.

“Tak usah Bapak buang-buang uang untuk menghidupi saya dan bayi ini. Saya tidak sudi menjadi gundik Bapak. Tenang saja, Bapak akan tetap bisa tidur nyenyak setiap malam. Saya tidak akan menceritakan hal ini pada siapa pun, asal Bapak tak pernah datang ke sini lagi, dan jangan pernah mengakui bahwa bayi ini adalah anak Bapak. Biarkan dia tumbuh tanpa laki-laki yang akan disebutnya ‘Bapak’.” Maryam menutup pintu rumahnya. Di luar, Karsa meneteskan air matanya.

Malam itu udara sangat dingin, sinar bulan di langit terlalu pucat untuk membuat malam menjadi lebih bersinar. Di dalam sebuah rumah berpelepah bambu, seorang wanita muda tengah mengejan berusaha mengeluarkan anak manusia dari dalam rahimnya. Sakit yang didera Maryam untuk melahirkan bayi ini tak sebanding dengan rasa sakit yang diterimanya di masa lalu. Nyai Ronde, satu-satunya wanita tua yang bisa segala hal di kampung itu, ikut membantu persalinan Maryam. Di samping tempat tidur, Ibu Maryam menenangkan anaknya yang tengah kesakitan. “Sabar, wong ayu, sebentar lagi anakmu akan lahir,” Ibu mengelap keringat Maryam yang mengalir di dahinya. Tepat pukul sebelas malam, seorang bayi perempuan lahir.

Bocah bagus, akhirnya kau keluar juga, Nak…. Mulai sekarang, kau akan dipanggil Maryamah. Namamu hampir sama dengan nama Ibumu, Nak.” Bayi perempuan itu mendapat timangannya yang pertama dari sang Nenek. “Kau mau lihat anakmu, Maryam? Ayo, lihat anakmu.” Ibu memberikan bayi perempuan itu kepada Maryam. Maryam menggendongnya, dan membisikkannya sesuatu, “dengar, Maryamah. Semua laki-laki itu bajingan. Anggap saja mereka itu sebuah dosa sehingga kau tak perlu mendekatinya”.

Linda A. Lestari lahir di Indramayu, 10 Oktober 1994. Karena suka minta dibelikan majalah Bobo setiap minggu, maka ia mulai menulis sastra sejak usia Sekolah Dasar. Pecinta motif leopard (macan tutul), pembelajar bahasa Spanyol, dan suka nonton film drama percintaan yang kedua tokohnya tidak dapat hidup bersama. Bercita-cita menjadi pengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing), ia gemari puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Pablo Neruda. Tulisan pertamanya yang dimuat di media massa adalah cerpen yang berjudul Aku dan Dia (KaWanku Magazine edisi April 2012).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com

Exit mobile version