Seperti Halnya Debu yang Masuk di Matamu

Sepasang kekasih di cafe/ Foto: Dok. Favim.com

Sepasang kekasih di cafe/ Foto: Dok. Favim.com

Cerpen: Fatah Anshori

“Barangkali kita adalah dua buah garis yang ditakdirkan untuk bertemu, pada suatu titik dan waktu yang tak pernah bisa diperkirakan ataupun dimengerti. Seperti halnya debu yang masuk di matamu. Semuanya terjadi secara tiba-tiba.”

Di atas meja dua cangkir Cappuccino hangat baru saja di antarkan langsung oleh baristanya sendiri. Ia berkata macam-macam tentang dua cappuccino yang baru saja ia buat sendiri. Dan untuk membuat gambar di atas cappuccino itu ia hanya butuh waktu dua menit untuk satu gambar, namun jika diakumulasikan semuanya butuh waktu delapan menit, empat menit lebihnya adalah waktu perjalanan mengantarkannya pada meja kami, katanya seperti itu. Namun selebihnya aku tak terlalu menyimak apa yang Barista bicarakan. Aku lebih suka memandangi kau bertopang dagu dan memandang serius kearah barista bertubuh kurus itu.

“Sampai dimana kita tadi?”, Kau memulai percakapan kita lagi. Setelah memandangi barista baru yang konon di datangkan warung kopi ini dari kota dimana seni dan puisi tumbuh makmur, seperti halnya padi di yang di tanam petani-petani kampung ini.

Aku lantas mengulangi perkataanmu tadi dari awal hingga akhir, tanpa sedikitpun mengkorupsi ataupun menambahi kata yang kau ucapkan tadi. Kemudian kau tertawa kecil mendengar aku mengucapkan kata-kata yang telah kau ucapkan tadi secara sempurna lengkap. Kau tampak heran mengapa aku bisa mengingat semua percakapan yang telah kau ucapkan, secara sempurna. Seharusnya kau tahu Rahma tidak hanya kata-kata mu barusan saja yang aku hafal, namun beberapa kata-kata mu yang menjadi percakapan kita saat pertama kali bertemu, aku pun masih hafal.

Pertama kali kita bertemu sore itu. Aku setuju jika kau mengibaratkan kita seperti debu yang tiba-tiba masuk ke dalam mata. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan begitu saja. Kau menganggap semuanya terjadi secara kebetulan, namun aku tidak. Aku tidak percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, seperti kata Harun Yahya, hidup dan nasib bisa tampak berantakan, misterius, fantastis dan sporadis, namun setiap elemennya adalah sub system keteraturan dari sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan. Aku mendapatkan itu dari buku Bapak yang sudah menguning di almari. Beberapa bagiannya sobek dan berlubang-lubang akibat di makan koloni rayap yang kelaparan.

Sehingga aku tak pernah percaya jika di dunia ini ada yang terjadi secara kebetulan. Seperti kau dan aku waktu itu. Matahari hampir saja merangkak masuk diantara pohon-pohon mahoni yang tumbuh di sebelah barat tambak ikan lele. Di gubuk tambak almarhum kakekku aku melihat dirimu duduk merenung sendirian. Seolah kau sedang memikul beban hidup yang tak tertangguhkan. Lantas aku segera mendekatimu dan meminta izin untuk duduk disampingmu. Kau mengangguk pelan seakan itu bukanlah masalah yang berarti untukmu, atau seakan aku hanyalah lalat yang hinggap di sekitarmu. Jari-jari kaki kita menendang-nendang air tambak yang menghijau akibat ulah ikan lele dan peranakannya.

“Kau bisa memanggilku Amar.”, Aku mengenalkan diri namun kau hanya mengangguk pelan. Tanpa sedikitpun mau menatapku. Kau lebih memilih menatap langit yang memerah, jauh disana. Kemudian aku bercerita tentang banyak hal. Tentang bagaimana seorang tukang jagal sapi bisa beralih profesi jadi perangkai bunga, lalu berlih lagi sebagai relawan PMR dan pada akhirnya membuka warung kopi di dekat tambak ikan lele, di bawah pohon waru yang nantinya warung itu akan menyimpan banyak cerita tentang kita.

Sore itu kau hanya tersenyum. Dan ketika matahari habis di telan garis cakrawala kau segera beranjak dan berlari. Di kejauhan kau lantas berteriak mengenalkan diri. Saat itu aku tahu bahwa namamu adalah Juni. Nama yang tidak rumit dan enak di dengar.

*

Selama enam bulan kita sudah menjalani hubungan yang teramat dekat. Sejak terhitung dari bulan Januari, dan kini sudah menginjak bulan Juni. Tambak almarhum kakekku dan ikan-ikan-ikan lelenya sudah tandas, sebagaimana kita tahu di bulan Juni entah mengapa hujan seakan-akan malas menjatuhkan dirinya. Sehingga seperti inilah tambak mengering dan harga secangkir kopi di pinggir tambak itu juga naik.

“Sekarang tidak hanya BBM saja yang bisa menaik turunkan harga, air putih juga ikutan, Nak. Jadi jangan kaget jika harga secangkir kopi sedikit melonjak.”, Begitu ujar pemilik warung kopi mantan jagal sapi, perangkai bunga, dan relawan PMR ketika waktu itu kita memutuskan minum kopi di warung kopi empang untuk yang kesekian kalinya.

Kemudian waktu itu kau mulai nampak aneh, jarang sekali membuka mulut. Serupa ketika kita pertama kali bertemu. Aku mencoba menunggu kau memulai percakapan, namun seperti biasanya akhirnya aku lagi yang harus memulai percakapan. Apa ini ada kaitannya dengan Juli? Tanyaku padamu. Lantas kau mengangguk pelan, sebagai kakak kau tak ingin adik perempuanmu melangkahimu dalam urusan pernikahan.

“Kemarin petang, Juli didatangi lelakinya lagi. Dan menanyakan hari yang tepat untuk pernikahan mereka. Aku harap kau segera mencari pekerjaan yang layak agar keluargaku bisa menerimamu.”

Beberapa bulan yang lalu aku telah mendatangi ibu bapakmu, untuk memintamu, namun mereka memandangku serupa barang yang pantas berada di tong sampah. Aku menceritakan pekerjaanku sebagai peternak ikan lela, meneruskan tambak kakek yang sudah almarhum, sambil sesekali kerja sebagai buruh tani. Namun kedua orang tuamu benar-benar tak minat sama sekali dengan diriku. Ia lebih memilih Si Soleh pegawai balai desa yang masih sukuan dan menurut ibumu dia ada kemungkinan untuk diangakat jadi PNS.

“Memangnya ada yang salah jika adekmu menikah lebih dulu, ketimbang dirimu?”

Lalu waktu itu kau tiba-tiba diam ketika aku bertanya seperti itu. Sebenarnya aku tahu alasan kenapa kau enggan di dahului Juli, adekmu itu. Mitos yang beredar di masyarakat, anak perempuan yang dilangkahi adek perempuannya konon ia tak akan menikah selamanya. Aku sebenarnya juga tahu beberapa orang kampung banyak yang membicarakanmu tentang perkara ini. Di pinggir jalan saat pagi, ibu-ibu yang sedang menunggui tukang sayur membicarakan kemalangan nasibmu, seakan-akan nasib mereka lebih baik sepenuhnya darimu. Malahan lebih carut marut, hutang mereka berceceran di babrapa tukang sayur yang berkeliling di kampung kita selepas sholat shubuh.

“Kasihan sekali Si Juni perempuan itu tak akan bisa kawin selamanya.”, Begitu kata mereka saat membicarakanmu.

Beberapa hari yang lalu aku juga melihat Si Soleh lelaki yang dibangga-banggakan ayah ibumu sebagai calon PNS itu, sedang memangku perempuan di warung kopi yang berada tepat di depan balai desa. Ketika aku kebetulan lewat, tak sengaja aku melihat kelakuan hewannya, ia tertawa cekikikan ketika seorang perempuan penjaga warung kopi jemarinya merambat didada Si Soleh dan sudah berhasil membuka tiga kancing baju safari yang ia kenakan. Dan kau tahu Juni? Perbuatan bejat itu ia kerjakan saat hari masih benar-benar pagi ketika waktu sholat dhuha masih belum beranjak dan ibu-ibu sedang asyik-asyiknya memasak di dapur. Tapi, kau tidak mungkin percaya jika aku katakan padamu. Dan jika aku tetap memaksakan sudah pasti kau akan menuduhku sebagai tukang fitnah. Aku tidak mau, aku harap kau sendiri bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk.

Akhirnya sore itu kau pulang dengan dada yang mengganjal, aku tahu kau kesal denganku yang tak bisa memenuhi keinginanmu. Segelas kopi yang kupesankan sore itu kau tinggalkan begitu saja. Tanpa sekalipun kau sentuh. Kemudian aku merenung lama sendirian bersama kopimu yang menjadi dingin. Seperti halnya kau yang mendingin di keningku.

Dan sore itu adalah terakhir aku melihatmu. Setelah besoknya aku mendengar kabar kau dan Si Soleh telah melangsungkan acara pernikahan. Dan ketika itu apakah kau sempat bertanya atau sekedar memikirkan bagaimana keadaanku, mungkin perihal remeh temeh itu tak pernah tersirat di keningmu.

Kemudian apa kau tahu hari-hari serasa membakar habis diriku. Dan kau pergi entah kemana dengan lelaki yang dipilihkan orang tuamu.

Dan konyol sekali rasanya, jika hari ini tiba-tiba kau datang tanpa aba-aba atau pertanda apapun dan meminta melanjutkan hubungan yang pernah kita jalin dulu.

“Bagaimana menurut mu Mar, kau tidak keberatan kan kita mengulanginya lagi?”, Tiba-tiba kau meraih tanganku yang kusandarkan tepat disamping secangkir cappucino yang masih hangat dan bergambar wajahku. Sementara tanganmu dingin sekali seperti hari itu, saat kau benar-benar pergi dengan Si Soleh, yang akhirnya minggu lalu di beritakan ia tewas di warung kopi dengan dengan tubuh telanjang dan mulut yang dipenuhi busa.

“Bapak itu siapa, ibu telah membuatkan makan malam di rumah. Ayo kita pulang.”, Tiba-tiba Iffa, putriku meraih tangan kiriku sambil menyandarkan tubuhnya yang mungil disampingku. Aku lantas segera menarik tanganku dari genggaman tangan Juni.

“Semuanya sudah terlalu tidak sama, dirimu sudah tidak pernah mengalir lagi di kepalaku, itu tidak pernah bisa dijelaskan ataupun dimengerti meskipun aku berusaha menjelaskan dan kau berusah mengerti sekalipun. Seperti halnya debu yang masuk ke mata. Semua terjadi secara tiba-tiba. dan kenalkan ini Iffa malaikat kecilku.”

—Januari 2017

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di beberapa media online.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version