NUSANTARANEWS.CO – Melakukan ibadah dalam Islam, kemungkinan ada beberapa dorongan atau motivasinya. Ada yang karena mengikut kepada kebiasaan, baik kebiasaan orang tua atau juga karena itulah kebiasaan masyarakat di mana dia hidup. Sebentar lagi bulan ramadhan segera tiba.
Boleh juga karena memang kesadaran jika hal itu merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Atau juga karena didorong oleh kesadaran bahwa amalan agama itu adalah sebuah kebutuhan dalam hidupnya.
Dari semua motivasi yang ada dalam melaksanakan perintah agama itu, ada satu hal yang paling mendasar dan sesungguhnya menjadi motivasi tertinggi. Ketika amalan ibadah itu telah dilihat sebagai sebuah kenikmatan. Bahwa ibadah-ibadah yang ada dalam agama bukan sekadar kewajiban, apalagi tradisi semata. Bahkan bukan juga sekadar sebuah kebutuhan.
Tapi yang terpenting, kenikmatan menang harus disyukuri. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika ditanya oleh istri tercinta perihal ibadah-ibadahnya. “Tidakkah seharusnya saya menjadi hamba yang bersyukur?”.
Oleh karena itu menyambut bulan Ramadan ini harusnya dibangun kesadaran syukur. Bahwa Ramadan akan tiba bukan sekadar karena kita yang membutuhkan. Tapi karena sebuah kenikmatan besar dari Pencipta langit dan bumi yang harus disyukuri.
Broken religiosity
Menyambut bulan Ramadan ini ada banyak hal yang bisa menghambat terbangunnya ibadah yang bernilai positif. Salah satu yang terpenting adalah apa yang saya sebut sebagai broken religiosity atau keberagamaan yang pecah atau rusak.
Keberagamaan yang pecah itu adalah ketika agama dipecah menjadi keping-keping yang tiada bersentuhan. Agama dibagi-bagi ke dalam ruang-ruang (compartment) yang berbeda. Ada bahagian yang dianggap agama. Ada pula yang dianggap urusan diri sendiri.
Religiusitas pecah seperti inilah yang menumbuhkan personalitas yang juga terbelah (split personality). Sebuah kepribadian yang tidak punya posisi jelas. Di suatu waktu atau tempat sangat beragama. Tiba-tiba di waktu atau tempat lain menampakkan kepribadian yang kontra agama.
Di depan Multazam di Masjidil Haram dia tesedu-sedan bercucuran air mata karena merasa dekat dengan Tuhan. Atau menangis karena meminta sesuatu kepadaNya. Bahkan tidak mustahil memang menangis meminta ampunanNya.
Hal itu tidaklah salah. Yang menjadi masalah kemudian adalah cara beragama yang terpecah atau terbelah. Sebuah paham agama yang terbagi-bagi. Makkah atau Masjidil Haram adalah rumah Tuhan dan karenanya harus jujur. Tapi di negara atau kantor sendiri Tuhan tidak lagi punya otoritas.
Perilaku agama seperti inilah yang tidak memberikan dampak positif dalam kehidupan. Berkali-kali haji, korupsi semakin jadi. Karena haji baginya adalah sekadar penghapus dosa masa lalu. Gagal memahami bahwa haji mabrur seharusnya menjadi energi perubahan ke arah yang lebih baik dalam hidupnya.
Karakter beragama seperti inilah yang diancam dalam Al-Quran dengan kehinaan dunia (khizyun fil-hayatid dunya) dan azab pedih (adzabun syadiid) di akhirat kelak.
Puasa yang sia-sia adalah puasa yang berkarakter seperti ini. Puasa yang tidak disadari bahwa semua aspek amalan ritual itu punya konsekswensi sosial. Sehingga Rasul mengingatkan: “boleh jadi ada orang yang berpuasa tapi yang didapatkan sekedar lapar dan dahaga semata”.
Tarhib Ramadan
Ada perbedaan mendasar antara Muslim zaman now dan para sahabat Rasulullah SAW dan salaf saleh. Para sahabat disebutkan dalam berbagai riwayat menyambut Ramadan dengan penuh harap dan sukacita bahkan berbulan-bulan sebelumnya.
Doa yang paling masyuhur yang mereka selalu panjatkan bahkan enam bulan sebelum Ramadan tiba adalah: Allahumma balligna Ramadhan (ya Allah berikan kesempatan kepada kami untuk memasuki bulan Ramadan).
Rasulullah SAW sendiri bahkan mendoakan secara khusus dua bulan sebelum Ramadan, yaitu Rajab dan Sya’ban. Dan diikuti dengan doa: waballigna Ramadan!
Sementara kita umumnya tak acuh dengan penyambutan itu. Seringkali kita anggap Ramadan sebagai sekadar tradisi tahunan yang diasambut dengan biasa saja.
Kenapa demikian? Jawabannya adalah karena pemahaman kita dan sahabat tentang nilai Ramadan berbeda. Hanya dengan memahami nilainya, sesuatu itu akan disikapi secara serius.
Jika anda memberikan emas kepada segerombolan sapi maka sapi-sapi itu akan mengacuhkan emas itu. Sebab bagi mereka emas itu tidak punya nilai (value). Tapi jika anda berikan keoada sapi-sapi itu rerumputan, maka mereka akan berebut melahapnya.
Sebaliknya jika anda memberikan rerumputan kepada sekelompok orang , maka rumput itu akan dibiarkan jadi sampah.
Tentu karena mereka tidak melihat bagi diri mereka nilai pada rerumputan itu. Tapi jika anda memberikan kepada mereka sekarunh emas, maka mereka pasti akan berebutan untuk mengambilnya.
Itulah perbedaan utama antara para sahabat dan salaf saleh di masa lalu dan umat Islam zaman now. Pemahaman atau bahkan keyakinan terhadap value (nilai) Ramadan sangatlah beda. Karenanya cara menyikapinya pun sangat berbeda.
Bulan April 2018 lalu seorang teman warga Bangladesh di kota New York menyampaikan kepada saya sebuah undangan ke perkawinan anaknya. Bahkan saya diminta untuk menjadi penghulu pernikahan anaknya itu. Ketika saya buka undangannya mata Saya tertuju ke tanggal dan bulan tanpa memperhatikan tahunnya.
“Brother, it’s already passed,” saya katakan kepadanya sebab di undangan itu tertulis 24 Maret.
“Imam, look at the year,” jawabnya singkat.
Baru saya sadar bahwa undangan itu adalah undangan pernikahan di tanggal 24 Maret 2019. Saya kemudian tanya, why the invitation now? (Kenapa undangannya sekarang?). It’s still a long time to go.
Dia kemudian memegang pundak saya dan berkata, I know Imam you are so busy. I wanted to make sure that you have that on your calendar.
Menyambut Ramadan ini saya teringat jika saja sebuah perkawinan menjadi sesuatu yang dipastikan sejak dini, lalu kenapa bulan suci yang penuh barokah dan keutamaan ini seringkali terabaikan? Sungguh sebuah kegagalan mensyukuri nikmat Allah SWT yang dahsyat ini.
Keajaiban Ramadan
Tentu setiap aspek Ramadan memiliki keutamaan besar. Setiap detik di dalamnya penuh dengan “fadhilat” atau kelebihan yang telah dijanjikan. Amalan sunnah diganjar dengan pahala wajib. Dan amalan wajib dilipat gandakan berkali-kali oleh Allah Yang Maha Rahman.
Kali ini saya akan menyebutkan tiga keajaiban yang terjadi di bulan Ramadan, yang seringkali terlupakan dan terabaikan.
Di bukan inilah banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar nalar manusia. Bahkan nampak seperti mustahil, tapi menjadi realita di bulan ini.
Perang Badar yang terjadi di bulan ini dengan hasil yang ajaib. Secara kalkulasi manusia Muhammad SAW dengan jumlah tentara hanya 303 orang melawan musuhnya dengan kekuatan yang tidak saja secara jumlah tiga kali lipat lebih. Tapi juga dari segi peralatan militer lebih hebat dan kuat. Kenyataannya Allah SWT memberikan keajaiban itu di bulan Ramadan. Muhammad SAW dan umatnya memenangkan peperangan itu di bulan Ramadan.
Demikian pula dengan Fath Mekah. Keajaiban terpenting dari Fathu Makkah di bulan Ramadan itu adalah penaklukkan sebuah kota atau negeri, yang dikenal suka berperang, justeru tidak sama sekali melalui pertumpahan darah. Ini adalah keajaiban karena terjadi di kalangan orang-orang yang suka perang, zaman kejahilan (jahiliyah), tapi semua twrwujud tanpa pertumpahan darah.
Mungkin keajaiban terbesar bulan Ramadan adalah transformasi kemasyarakatan (societal transformation) dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat berperadaban (civilized), bahkan melebihi standar peradaban masanya.
Siapa yang tidak mengenal kebobrokan masyakatat Arab jahiliyah? Jika anda mengenal kata alcoholic saat ini, maka alkohol masa itu menjadi darah daging mereka. Jika kini perzinahan menjadi lumrah, maka masa itu menjadi sebuah kebanggan jika seorang pria mampu menaklukkan banyak wanita. Jika kini eborsi menjadi biasa tanpa alasan, maka masa itu anak-anak wanita dikubur hidup-hidup.
Di Ramadan itulah terjadi keajaiban luar biasa. Di bulan inilah awal dari terjadinya perubahan revolusionari dari kegelapan (zhulumat) menuju kepada cahaya (nuur). Dengan turunnya Al-Quran sebagai petunjuk hidup, Jazerah Arabia menjadi awal Lentera peradaban dunia. Dan semua itu berawal dari keajaiban besar yang terjadi di bulan Ramadan.
Dua janji pribadi
Saya ingin akhiiri dengan menyampaikan dua janji pribadi kepada diri sendiri di bulan Ramadan ini. Janji ini saya sampaikan dengan harapan bisa diambil sebagai pengingat, atau bahkan diambil juga sebagai janji atau komitmen pribadi masing-masing.
Pertama, di bulan ini saya akan mencari waktu-waktu yang pas untuk sendirian hanya bersama Allah, Penciptaku. Tarawih berjamaah bagus, buka puasa bersama bagus. Semua memiliki nilai tambah dan pahala besar.
Tapi akankah itu mempengaruhi kehidupan ruhiyahku? Akankah itu menumbuhkan jiwa kedekatan (taqarrub) dengan Allah Yang Maha Rahman?
Saya hanya ingin masa-masa intim bersama Tuhanku. Memuji, bertasbih, membesarkan AsmaNya, bahkan bercakap menyampaikan keluhan-keluhan pribadi. Bahkan akan kucari masa untuk meminta yang terbaik dan sebanyak-banyaknya dari Dia yang memiliki langit dan bumi.
Kedua, saya akan mencari dan mengingat siapa saja yang pernah saya zholimi, sakiti, rampas haknya, atau bebani dirinya dalam bentuk apapun. Saya sadar bahwa ampunan Tuhan dalam hal yang bersentuhan dengan orang lain tidak diberikan kecuali melalui orangnya.
Dan yang lebih penting Saya sadar bahwa boleh jadi ada orang yang sebenarnya secara ritual tiada alasan untuk tidak masuk syurga. Shalatnya hebat, puasanya hebat, umrah berkali-kali, dan banyak lagi. Tapi mereka tidak jadi masuk syurga karena terhalangi oleh dosa-dosa kepada sesama manusia.
Oleh karenanya di bulan ini saya akan lapangkan dada, besarkan hati untuk memaafkan semuanya. Tapi yang terpenting adalah akan belajar rendah hati untuk meminta maaf kepada siapa saja yang pernah, baik sengaja atau tidak, saya sakiti atau zholimi.
Dan saya mau memulai itu kepada semua yang membaca tulisan ini. Semoga!
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation