Cerpen: Ilda Karwayu
aku ingin mati
di usia 27. terlahir kembali
sebagai pohon pisang
Sudah berkali-kali kau pamit untuk pulang, tapi urung karena kita kembali membahas hal-hal (yang menurut kita) penting. Kita kembali duduk di teras rumah. Jalanan tanah di depan sana tidak lagi gelap seperti biasanya. Sudah ada lampu jalan yang dipasang di seberang pagar rumah. Ah, tidak ada pagar, maksudku pembatas, sehingga cahayanya dengan jelas lurus ke arah rumah.
Kita yang sedari tadi membahas hal-hal konyol dan kesana-kemari (tapi menurut kita itu semua penting), sangat terlambat membahas hal “kita”. Dimulai dengan pelukan selamat malam yang dingin, “Pernahkah kau menyadari atau mencoba berpikir jika sebenarnya kau tidak mencintaiku?”
Kita duduk bersebelahan sembari menatap pohon pisang kecil yang sedang berbuah. Aku ingin jadi pohon pisang, ujarku. Namun sepertinya itu tidak menarik perhatianmu. Kau terus membuka hal-hal “kita” untuk diperjelas dan diurai satu-satu. Dimulai dari tatapan tidak percaya, “Kau merasa mengenalku?”
Kita meraba pikiran-masing-masing. Melontarkan pendapat-pendapat tentang manusia yang bercinta. Tentang manusia yang menikah. Tentang perasaan-perasaan umum yang manusiawi namun tidak berterima di lingkungan masyarakat. Kemudian mempertanyakan, bagaimana bisa manusia menentang hal alamiah dalam dirinya? Siapa yang awalnya menentang dan menjadikannya wajar di bumi? Dilanjutkan dengan, “Mengapa kau selalu berpikir bahwa kita tidak akan bersama?”
Kita menatap lurus jauh melintasi sawah-sawah. Mencari sumber deretan terang di ujung sana. Itu dari supermarket baru yang pernah kita kunjungi. Kita bergandengan tangan sambil sibuk mengomentari setiap apa yang kita lihat di sana. Seolah-olah kitalah walikota yang paling mengerti keinginan dan kebutuhan warga kota kecil ini. Selintas dikembalikan tatapan kita ke mata masing-masing dengan, “Ada hal yang mengusik di kepalaku. Tapi aku tak tahu harus membaginya kenapa siapa.” Kau menatapku sendu. Aku menarik ujung bibir ke kiri dan ke kanan bergiliran. Menepuk-nepuk pundakmu. Cerita dimulai kembali. Topik baru.
Kita tenggelam ke dalam segala kemungkinan masa depan. Kau bilang, “Cinta itu berawal dari bibit. Kau sirami dan pupuki, maka tumbuhlah ia besar. Bisa lebih dari satu.” Lalu kau menunjuk hidungku dan melanjutkan, “Tapi kau memutuskan untuk tidak menyirami bibit-bibit itu. Iya, kan?”
Kita menepi ke sebuah pulau cita-cita. Ada banyak cita-cita yang bisa kita rakit menjadi perahu. Sehingga kita tidak lagi tenggelam ke dalam kemungkinan masa depan itu. Kita bisa mengontrol arah perjalanan perahu kita sendiri. Kau pun sering meracau tentang itu kepadaku. Namun saat itu kita masih menyelamatkan diri karena tenggelam. Di dalam air, aku tidak bisa mendengar ucapanmu sehingga tak kusadari itu. Baru sekarang—di daratan cita-cita—kau ucapkan kembali. “Lalu, apa kau takut salah merakit perahu cita-cita?” tanyaku.
Kita, sembari merakit perahu masing-masing, menggerakkan bibir dan membuka mulut dengan ragu-ragu. Tercekat. Kepala kita membengkak. Tangan kita berhenti bekerja. Fokus kita teralihkan ke mata yang melihat kepala masing-masing membengkak. Menerka-nerka, “Apa yang kau pikirkan?” kita menanyakan hal yang sama secara bersamaan.
Kita menatap perahu masing-masing. Tak selesai. Masing-masing baru selesai sepersekiannya saja. Kita baru merangkainya dengan cita-cita satu tahun kedepan. Kita menghela napas panjang. Menunduk sembari mengusap rambut ke arah belakang kepala. “Apa kita akan terus begini?” kita menanyakan hal yang sama secara bersamaan. Namun tak saling menatap. Mata kita menatap tanah cita-cita.
Kita memutuskan untuk tidur sejenak. Merebahkan tubuh ke belakang dan menatap langit. Ada bintang. Banyak bintang. Kita tertawa tiba-tiba. “Kau ingat, kita pernah hampir percaya bahwa bumi ini datar gara-gara sahabatmu yang selalu terlihat yakin itu membahasnya?” “Iya. Konyol juga, ya. Hei, itu bintang timur.” “Iya. Didampingi bulan sabit. Indah, ya.” “Iya.” Kita menyanyikan lagu kesukaan kita berdua dengan syair yang diubah seenaknya. Sampai tertidur.
~~~
“Aku ingin ke toilet.”
“Hei, aku ingin jadi pohon pisang.” Kau yang baru keluar dari kamar mandi—masih mengibas-kibas tangan basahmu—mengangkat sebelah alis. Terkejut. Kenapa? Tanyamu. “Barusan aku lihat kucing betina lewat. Ia terlihat manis dan tua. Matanya membesar dan terlihat semakin menggemaskan. Namun kulihat susu-susu di bawah tubuhnya, ia pasti baru selesai menyusui. Dan pasti punya banyak anak kucing.”
“Lalu?”
“Ia pasti dihamili kucing jantan. Sama saja dengan manusia proses reproduksinya. Terdengar tidak menyenangkan.”
“Lalu?”
“Lalu aku lihat pohon pisang kuning di depan kita ini. Tidak perlu mencari pasangan kan untuk bereproduksi? Ia membuahi dirinya sendiri. Sebagai pohon. Tidak perlu merasa ditinggalkan karena memang ia satu dengan satu.”
“Tapi pisang punya jantung.”
Aku menoleh ke arahmu. Sangat tidak lucu.
~~~
Kau terus bertanya mengapa aku ingin terlahir kembali sebagai pohon pisang. Tidak pohon lainnya. Aku bilang, bisa saja pohon lain, tapi aku ingin pohon pisang. Pokoknya ingin. “Atau, biar kutebak, karena buah pisang hanya berbuah satu kali? Lalu mati?”
Kita lalu melayangkan pikiran ke makam orang-orang terkenal dengan otak membengkak di penjuru dunia. Seminggu sebelumnya kita memang pernah membahas mereka di suatu tempat. Tempat berkumpulnya orang-orang asing dengan otak membengkak. Orang-orang terkenal dengan otak membengkak yang mati di usia 27 tahun adalah orang-orang suci. Bagi orang-orang asing dengan otak membengkak, orang-orang terkenal dengan otak membengkak yang mati di usia 27 adalah orang-orang suci.
“Kau masih ingin ke Wina?” tanyaku. Iya, jawabmu. Aku teringat sebuah tempat yang didedikasikan untuk seorang penyair yang mati di usia 27. “Mampirlah ke Museum Georg Trakl.” Kau melirikku dan mendapati pelontar saran ini sedang asyik memandangi sepatu merah milikmu. Aku suka warnanya. Seperti darah kental yang menggumpal.
“Kau masih dengan rencana ingin mati dua tahun lagi?” tanyamu. Iya, jawabku. Lalu kau mengungkit naskah bukuku yang masih terbengkalai. Jika kau ingin mati, uruslah naskah itu segera, tambahmu lagi. Naskah buku pertama dengan penggarapan yang begitu lama. Aku jadi ingat pada sesosok musisi yang menggarap satu albumnya bertahun-tahun. Ia masih belum menemukan formula untuk lagu-lagunya.
Aku memikirkan alasan Tuhan menciptakan makhluk serumit manusia. Otak manusia ini, dengan kemampuan berpikir mereka, telah merepotkan diri mereka sendiri. Hewan juga mungkin begitu. Makanya aku ingin jadi pohon. Pohon pisang. Tebakanmu benar adanya. “Kapan kau akan pulang?”
“Aku sudah pulang.”
Kami saling pandang tanpa bicara lagi. terdengar suara tangis bayi dari dalam rumah. Dan kita pun tertawa. Berpelukan. Masuk ke dalam rumah. Memutar Amy Winehouse.
“They tried to make me go to rehab
I said, no, no, no,”
Ilda Karwayu, lahir di Denpasar, 10 Juli 1993. Mengajar di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI). Aktif mengaji sastra di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.