Sastra dalam Belenggu Pragmatisme Politik

otak udang, dungu, puisi, puisi-puisi, kumpulan puisi, an-naufil, nusantaranews
ILUSTRASI – Pragmatisme Politik. (Foto: Pixabay)

Sastra dalam Belenggu Pragmatisme Politik

Koordinator Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Malik Feri Kusuma mengawali artikelnya Pancasila dan Gebuk dengan mengutip novel psikohistoris yang sedang hangat menjadi perbincangan publik, yakni Pikiran Orang Indonesia. Artikel yang ditulis aktivis kemanusiaan itu mengkritisi kinerja Presiden Jokowi sambil menyoal keberaniannya dalam menuntaskan problem pelanggaran HAM berat di negeri ini.

Terkait dengan itu, kita merasa bangga dengan perkembangan dunia literasi akhir-akhir ini, bahwa ternyata masih ada penulis esai dan karya sastra yang berkreasi dengan kemampuan nalar dan kontemplasi tinggi. Mereka telah berani tampil seakan menantang arus, menciptakan terobosan baru di saat kepentingan politik pragmatisme menggerus sendi-sendi pemikiran bangsa ini.

Khusus mengenai perbincangan perihal ide dan gagasan dalam novel Pikiran Orang Indonesia (POI), dapat dipahami faktor ekstrinsik dari jejak-langkah penulisnya yang pernah studi di jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Juga pernah bekerjasama dengan Pramoedya Ananta Toer, Noam Chomsky dan Ben Anderson untuk penggarapan buku 100 Tahun Bung Karno (Liber Amicorum) yang diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, Jakarta (2001). Memang sudah lama kita tidak lagi mendengar karya sastra yang secara ekstensif dibahas dan diperbincangkan di jagat ide dan pemikiran para intelektual selama berbulan-bulan. Biasanya, kita hanya menyaksikan suatu karya sastra hanya selesai dalam sekali peluncuran (launching) atau sekali acara bedah buku. Setelah itu, tergolek di antara tumpukan buku-buku lainnya, atau bisa jadi nama pengarangnya terpampang di katalog perpustakaan, meski bukunya dibiarkan tergeletak usang dan berdebu.

Baca juga: Korelasi Banten dan Papua

Sebagian seniman kadang melemparkan tuduhan bahwa problem dari semua itu adalah budaya baca masyarakat yang sangat rendah. Namun di sisi lain, ada juga sastrawan yang berani menyoal kualitas karya sastra yang memiliki tingkat keterbacaan yang kurang mengena di hati publik. Dalam hal ini, novel POI boleh jadi termasuk salah satu pengecualian yang cukup unik. Selain diperbincangkan kalangan seniman milenial, juga merambah dalam skala massif hingga ke kalangan aktivis kemanusiaan, kemudian masuk bergerilya ke lingkungan pesantren-pesantren seperti KH Chudori Sukra, pengasuh ponpes Riyadlul Fikar (Serang), KH Eeng Nurhaeni, pengasuh ponpes Al-Bayan (Rangkasbitung), yang sempat mengulas novel tersebut secara panjang lebar dalam artikel Skizofrenia dan Hasrat Berkuasa (Media Indonesia, 24 April 2019), termasuk bincang-bincang di komunitas sastrawan Ahmad Tohari dan para seniman Banyuwangi.

Setelah berselancar mencari tahu penulisnya, Hafiz Azhari, ternyata ia sempat menghimpun kronik penulisan sejarah Indonesia pasca 1965, sampai akhirnya mengadakan penelitian historical memories bersama Asvi Warman Adam, Goenawan Mohamad, John H McGlynn (Yayasan Lontar), bekerjasama dengan yayasan kebudayaan di Belanda yang dipimpin oleh mantan tahanan politik Orde Baru, Hersri Setiawan (suami Ruth Havelaar). Secara pribadi, saya selaku dosen dan akademisi, merasa cemburu dan irihati membaca jejak-langkah penulisnya yang secara diam-diam menghimpun dan meneliti perjalanan hidup ratusan korban persekusi (1965) yang tinggal di dusun-dusun perkampungan di selatan Jawa Barat hingga ke wilayah utara Banten.

Saat ini, karya sastra yang dihimpun dengan susah-payah selama bertahun-tahun itu memang layak mendapat apresiasi publik, khususnya dari kalangan pemerhati seni dan aktivis HAM. Sepantasnya sang pengarang merasa bersyukur atas upaya dan ikhtiar kreativitas tersebut, hingga memperoleh apresiasi mendalam, tidak cuma disebutkan dalam satu-dua artikel yang terselip di salah satu paragraf, atau disebutkan sepintas lalu saja dalam reportase media massa.

Baca juga: Bicara Indonesia, Bicara Dunia

Novel POI telah menjawab segala keraguan kita terhadap ide-ide keindonesiaan yang seakan padam dan mati suri. Ia tampil dengan mengejawantahkan gagasan dari kekuatan imajinasi dan akal sehat tentang memori kolektif manusia Indonesia. Suatu luka-luka sejarah yang menurut prediksi A.S. Laksana, akan terus menggelinding menjadi perbincangan manusia Indonesia beradab, sampai seratus tahun ke depan. Novel tersebut seakan menjawab kehausan patologis yang tak terperikan, di saat para seniman merasa tidak lagi memiliki ide-ide keindonesiaan yang bergerak. Meskipun sebagian masih mempertanyakan, kalaupun ide-ide itu memang diam dan sakit, lalu di bangsal berapa dan rumah sakit mana ia dibaringkan. Ataukah ia dianggap seonggok batu yang mati, tak perlu dirawat dan dikuburkan secara layak.

Ketika menghadiri acara pameran buku yang diselenggarakan kalangan jurnalis Jakarta beberapa waktu lalu, saya merasa masygul menyaksikan segelintir pengunjung yang lalu begitu saja di sekitar pajangan etalase buku-buku sastra. Mereka hanya merasa perlu membaca buku-buku IT, multimedia, bisnis dan manajemen. Hal itu mengindikasikan kelesuan perhatian masyarakat pada karya-karya seniman, yang memang akhir-akhir ini tak pernah menunjukkan kenaikan angka pada catatan-catatan statistik kita.

Padahal, karya-karya sastra yang dipajang itu mengekspresikan setiap ide dan gagasan penulisnya tentang fenomena keindonesiaan. Mereka mengembara dan berpetualang dalam imajinasi dan pikiran sehabis-habisnya. Mereka menangkap dan menyerap sisi-sisi kehidupan semampu mereka. Memantau, menganalisis, bahkan berani melihat dari dekat, dari kedalaman psikologi manusia dengan risiko apapun yang mereka hadapi. Mereka rela mengabdikan diri, menggambarkan warna-warni keindonesiaan dengan sekuat tenaga. Sementara, masyarakat kita tak pernah ambil pusing mengenai jejak-langkah atau sejarah pikiran di balik lapisan warna-warni yang ternyata menyimpan kesakitan dan derita yang dialami sebagian anak bangsa, diperlakukan sewenang-wenang oleh rezim tiran yang telah merampas hak-hak hidup mereka selama puluhan tahun.

Saya merasa terkesan, ketika penulis POI diwawancarai media online pada acara bedah bukunya di salah satu pesantren di daerah Rangkasbitung, Banten (Kompas, 24 April 2018). Dengan ekspresi yang tenang dia menjawab beberapa pertanyaan wartawan yang diajukan, “Kalian mungkin saja belum mampu menangkap esensi karya sastra dalam konteks saat ini. Mungkin saja POI baru dipahami masyarakat satu tahun ke depan, bahkan lima atau sepuluh tahun ke depan. Tidak jarang kita temukan karya sastra yang baru ramai diperbincangkan justru setelah penulisnya tidak ada, atau setelah satu abad setelah penciptaannya.”

Beberapa saat saya tercenung, hingga menjadi gregetan seakan kehilangan kesabaran. Memang bukan sepenuhnya tanggung jawab sastrawan untuk mengampanyekan atau memproyeksikan karya-karyanya. Meskipun ada benarnya, jika karya sastra yang merupakan syiar religiositas yang meliputi kebenaran, kebaikan dan keindahan, selayaknya disosialisasikan juga oleh penulisnya kepada khalayak ramai.
Di kalangan kampus dan dunia akademisi kita, resensi karya sastra pada kolom-kolom jurnal dan majalah nyaris kurang diperhatikan. Justru yang digadang-gadang oleh kalangan mahasiswa adalah, bagaimana mengadakan pameran yang lebih menghasilkan secara finansial. Kita nyaris kehabisan energi untuk mencerna karya sastra lebih mendalam, membahasnya secara komperhensif, sampai kemudian menjangkau kekuatan ide dan imajinasi yang dituangkan oleh penulis sastra tersebut.

Meresensi karya sastra Pikiran Orang Indonesia seperti yang dilakukan para aktivis HAM Kontras, Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa), pemimpin dan pengasuh pondok pesantren, juga kalangan pendidik dan akademisi, tak lain merupakan pintu masuk paling dasar dan sederhana. Namun, sangat vital menentukan kepekaan dan kepedulian masyarakat Indonesia pada kualitas dan keagungan karya sastra.

Kita semua tahu, bahwa jalan penawaran ide agar diterima dan dipahami masyarakat bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Akan tetapi suatu proses dan ikhtiar pergulatan dalam mewakafkan hidup penulis untuk merumuskan intisari kata-kata lewat pertaruhan hidup yang hanya sekali ini. Setiap jurnalis maupun sastrawan telah melakukan pengorbanan yang sama besarnya demi butiran ide dan gagasan yang ditawarkan. Mereka telah mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk melakukan riset, penelitian dan wawancara, demi menghasilkan karya-karya terbaik.

Mereka mencari sikon yang tepat dari segala hiruk-pikuk perpolitikan yang sarat pragmatisme dan hedonisme. Mereka begitu tekun dan fokus menjatuhkan pilihan karya untuk menangkal hoaks, kampanye hitam, dan fitnah kolektif. Justru pada saat kebanyakan orang sibuk memburu profesi yang lebih cepat dan instan agar menghasilkan harta dan kedudukan melimpah lewat jalan pintas.

Di setiap festival dan pameran besar, kadang nampak politisi, penguasa dan para ajudannya melongok sepintas lalu saja. Mereka tidak sempat menanyakan dan mencari tahu di manakah penulisnya. Padahal, sang pengarang dengan jiwanya yang introvert sedang duduk menyendiri di pojokan sana. Seakan kesepian setelah berbulan lamanya ia mengguratkan pena, berekeringat menyeka peluh di keningnya, pada waktu sepertiga malam ketika para politisi dan penguasa sedang tidur pulas di kasur-kasur empuk mereka.

Oleh: Muakhor Zakaria, Esais dan Dosen di Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Bantan

Exit mobile version