Opini

Korelasi Banten dan Papua

komnas ham, nduga papua, trans papua, nusantaranews, ahmad taufan damanik, warga papua
Jalan Trans Papua, Wamena-Nduga. (Foto: Youtube/@rajadroneid)

Korelasi Banten dan Papua. Berkali-kali pembahasan tentang pengentasan kekerasan di Papua sebenarnya sudah final. Dari waktu ke waktu, tak perlu dipersoalkan lagi. Ibaratnya suatu teks ajaran agama yang menganjurkan kebaikan dan solidaritas dalam kitab suci, yang keabsahannya tetap valid sampai kapan pun. Jadi, hanya tinggal pengamalan dan bukti nyata di lapangan, serta itikad baik dari penyelenggara negara untuk memberdayakan dan mencerdaskan mereka (sebagai bangsa).

Beberapa waktu lalu, kita menyaksikan di layar televisi, bagaimana anak-anak setingkat SD sanggup memenangkan Olimpiade Sains dan Matematika, yang juga diikuti negeri Filipina dan Malaysia. Para peserta dari Papua berhasil meraih empat medali emas, lima medali perak, dan tiga medali perunggu. Kehidupan masyarakat Papua memang bersahaja. Sebagaimana masyarakat suku Baduy di Banten, mereka cukup sejahtera menyatu dengan alam. Dalam kultur masyarakat Papua maupun Baduy Banten, uang bukanlah segala-galanya. Mereka tidak mengukur kesuksesan dan kebahagiaan hidup dengan uang. Orang Baduy menambang hutan seperlunya saja, hanya cukup untuk sedikit kebutuhan hidup.

Orang Papua punya harapan ketika menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahwa pemerintah pusat (Jakarta) mampu menyelenggarakan kemerdekaan dan kemandirian demi kesejahteraan mereka. Pemerintah tak perlu merasa jumawa, seakan-akan mereka yang paling tahu tentang kebutuhan mereka, juga tentang apa-apa yang terbaik bagi mereka.

Kultur desktruktif

Kondisi di Banten Selatan, antara Desa Lewidamar hingga Ciboleger, banyak area perhutanan ditebas, jalanan kotor berdebu karena pertambangan pasir liar merajalela di mana-mana. Pabrik-pabrik mulai berdiri hingga ke pelosok, mengindikasikan industri modern yang padat teknologi, disertai maraknya investasi dan kultur kapitalistik yang mendambakan keuntungan duniawi. Akibatnya, masyarakat Baduy – sebagaimana masyarakat Papua – dipaksa agar turut-serta memuliakan keuntungan. Secara implisit pemerintah daerah menyatakan bahwa waktu adalah uang (sing sabar ora keduman). Eksploitasi dianggap wajar-wajar saja, apa pun ongkos sosialnya.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Kultur destruktif yang tak ramah lingkungan itu semakin dimanfaatkan oleh orang-orang kota yang berpendidikan, suatu pembangunan ekonomi yang mengabaikan dimensi kemanusiaan. Pemerintah provinsi hingga kabupaten seakan lepas tangan. Tak ada urusan dengan kewajiban mereka untuk membimbing masyarakat beradaptasi dengan kultur industri. Pendidikan keilmuan dan keterampilan tak diutamakan sebagai landasan industrialisasi. Bahkan, pembentukan institusi sosial sebagai mekanisme kontrol, seperti partai politik, LSM, organisasi keagamaan, serikat buruh, dan media massa, juga tak dipersiapkan untuk mengawal jalannya pembangunan.

Justru yang paling banyak terserap di lapangan pekerjaan adalah kaum pendatang, yang dianggap wong liyan (non pribumi). Pembangunan pun berjalan liar tanpa kendali, juga tanpa adanya integrasi ke dalam moralitas yang dianjurkan agama dan kultur lokal. Maka, terjadilah seperti apa yang diprediksi novel Perasaan Orang Banten, suatu benturan peradaban karena gap antara ideologi kaum muda dengan kepercayaan leluhur (orang tua). Orang-orang Banten dan Papua akhirnya kalah terpental. Daya hidup kultural mereka lumpuh, karena mereka tak berfungsi secara optimal sebagai agen pembangunan, melainkan hanya kuli-kuli penggembira dan penonton aktivitas pembangunan.

Kita bisa lihat tokoh-tokoh seperti Mbah Durip atau Nyi Mumun yang merasa terasing di kampung halamannya sendiri. Mengemis di masjid agung Serang, hingga di gang-gang antara gedung megah dan supermarket di Kota Cilegon. Orang-orang seperti mereka pada akhirnya menjadi buruh kasar yang martabatnya diukur dari jam kerja dan besaran upah. Di Papua sendiri, kondisinya mudah terukur dari Indeks Pembangunan Manusia di semua kabupatennya yang memang terendah di seluruh Indonesia. Sementara, kaum pendatang dan orang asing (liyan) menikmati kesejahteraan sebesar-besarnya.

Bagi kaum terdidik di Papua, NKRI dalam perjalanannya menjadi penyeragaman politik pembangunan semata. Eksploitasi sumber daya alam memperkaya pemodal dan para pejabat korup. Pembangunan hanya dilihat sebagai sebuah proses ekonomi menyangkut besaran keuntungan yang diperoleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pembangunan, yang mestinya berjalan sebagai proses kultural yang kreatif, di mana pemerintah harus tampil sebagai wasit dan fasilitator, akhirnya tak berfungsi dengan baik.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Pemerintah berkali-kali menyinggung soal bantuan dan dana yang akan digelontorkan ke daerah-daerah terpencil, tetapi pada akhirnya dikorupsi, dan sebagiannya dipakai untuk gaya hidup konsumtif dalam hitungan beberapa minggu dan bulan saja. Masyarakat pedalaman – baik Papua maupun Baduy Banten – tidak memiliki kultur menabung dan berdagang. Beda dengan masyarakat Banten Utara (Cilegon, Serang dan Tangerang), yang siap menerima kailnya untuk kemudian dipakai guna memancing ikan. Tetapi, di pedalaman selatan Lebak hingga Pandeglang, masyarakatnya seakan tak memiliki kemandirian dan pemberdayaan agar melepaskan diri dari jeratan rantai kemiskinan. Sekali mereka menerima ikannya, dalam beberapa hari akan habis, dan mereka tidak tahu bagaimana kail-kail itu harus dimanfaatkan.

Dulu, pemerintah kolonial Belanda tak menghendaki rakyat Nusantara menjadi cerdas dan kuat. Saat ini, meskipun secara politik adalah bagian dari bangsa merdeka, tetapi secara ekonomi – terutama yang tinggal di pelosok dan pinggiran (periphery) – betul-betul masih terjajah. Stigmatisasi negara memposisikan mereka seakan sah-sah saja untuk dicurigai, diburu, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara. Dengan alasan memelihara keutuhan NKRI, pengamanan obyek vital dan “kesucian kontrak”, pemerintah membela perusahaan asing lalu berhadapan dengan rakyatnya sendiri.

Matarantai ketidakadilan

Saat ini, kaum terdidik di Papua yang menuntut keadilan, justru dihadapi dengan kekuatan militer yang pernah dipraktikan puluhan tahun lalu di masa Orde Baru. Padahal, menyakiti rakyat yang menuntut keadilan hanya akan menambah sakit hati bagi bangsa ini. Mereka tersisih dari proses pembangunan, tetap terbelakang, kehilangan martabat dan harga diri, tetapi pemerintah seakan menghindar dari akar masalah yang sebenarnya.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Persoalan Papua bukan hanya masalah otonomi khusus yang berjalan kurang efektif, tetapi lebih dari itu, kerena kurangnya perspektif dan cara pandang yang manusiawi dan beradab. Akibatnya, sebagian masyarakat Papua memiliki kepercayaan bahwa perubahan nasib harus datang dari dirinya sendiri, termasuk dengan cara-cara yang radikal sekalipun. Begitupun masyarakat Banten yang didominasi kultur dan bahasa Jawa dan Sunda, yang nampaknya sulit untuk bersatu dan berdamai – dalam arti, perdamaian yang tulus dan sejati.

Tetapi, masyarakat Banten sangat beruntung, lantaran kultur dan peradabannya telah dibedah dan dianalisis secara terbuka dalam novel Perasaan Orang Banten, yang ditulis oleh putera daerahnya sendiri, seorang alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (baca: Membangun Akal Sehat, Kompas, 24 April 2018). Dengan demikian, transformasi dan perubahan ke arah peradaban yang lebih baik seakan telah ditunjukkan jalan terangnya. Tetapi, bagaimana dengan kondisi masyarakat Papua, apakah akan terulang kembali penjajahan gaya baru militerisme yang merambah ke wilayah pinggiran, yang dalam sejarah kekuasaan Indonesia selalu dijadikan landasan bagi mereka yang akan tinggal landas.

Bukankah tanah Papua adalah anugerah Tuhan kepada mereka sebagai pemilik yang sah? Bukankah hasil-hasil tanah mereka sudah membiayai jalannya roda pemerintahan dan pembangunan rakyat Indonesia selama ini? Tetapi, kenapa mereka seakan-akan merasa terpukul dan terluka, bahkan nyaris putus asa? Karena itu, tidak ada jalan lain selain pemerintah perlu menegaskan kedaulatan ekonomi dan keberpihakan yang tulus kepada kaum pinggiran (periphery) demi tegaknya konstitusi NKRI kita.

Penulis: KH Eeng Nurhaeni, Pengasuh Pondok Modern Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten

Related Posts

1 of 3,057