Rumah Subsidi Tak Layak Huni, Pengamat: Pengembang Swasta Cuma Cari Untung

Pengamat Properti yang juga dosen Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar. Foto: URDi LF

Pengamat Properti yang juga dosen Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar. Foto: URDi LF

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat Properti yang juga dosen Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, mengungkapkan bahwa masih sangat banyak rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak layak huni. Menurutnya hal ini terjadi karena pemerintah menyerahkan pembangunan rumah subsidi kepada pengembang swasta.

“Pengembang swasta kan tidak peduli, listrik masih byarpet, asal sudah masuk, dikatakan sudah dialiri listrik. Pengembang yang penting rumahnya terjual, karena orientasinya bisnis,” ungkap Jehansyah kepada NusantaraNews ketika dihubungi, Sabtu (26/8/2017).

Jehansyah mengatakan pengembang swasta pasti mencari untung setinggi-tingginya dalam penjualan rumah, meskipun yang dibangun adalah rumah subsidi. Ia mencontohkan, dalam lahan seluas satu hektar layaknya dibangun 50 rumah sederhana. Namun, pada kenyataannya seringkali pengembang membangun rumah sampai 100 unit sehingga keuntungan yang didapat lebih besar.

“Dampaknya apa, lingkungan jadi terlalu padat dan juga tidak layak huni,” ucap dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lana Winayanti menyampaikan bahwa sebanyak 40 persen rumah subsidi tidak layak huni.

Hal tersebut berdasarkan kualitas rumah subsidi tidak memenuhi kriteria seperti jalan lingkungan, air bersih, sanitasi listrik.

Padahal, pemerintah telah mengeluarkan aturan bahwa rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak boleh dijual sebelum dibangun dan dilengkapi listrik dan air. Kendati demikian, kata Jehansyah, aturan tersebut belum cukup untuk memastikan rumah sudah layak huni.

Karema, dalam hal ini petugas yang memastikan persyaratan tersebut telah terpenuhi adalah dari perbankan, yaitu PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN. Menurutnya, petugas BTN tidak memiliki kualifikasi sebagai manajemen konstruksi saat memeriksa kondisi rumah MBR dan lingkungannya.

“Mereka para petugas BTN kan tidak tahu apakah dindingnya sudah dibangun dengan sesuai, apakah listriknya sudah benar-benar terpasang dengan jaminan tidak byarpet. Jadi ya, asal ada saja,” kata dia.

Jehansyah menuturkan, BTN justru cenderung lebih fokus pada kelayakan masyarakat yang akan mengajukan kredit. Kelayakan itu meliputi, apakah calon pemilik rumah dapat mencicil setiap bulannya sampai utangnya ke bank terlunasi.

“Artinya, BTN tidak berkepentingan untuk tepat sasaran atau tidak. Bisa saja di lapangan petugasnya juga sudah cincay dengan pengembang,” ucapnya.

Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version