Budaya / SeniPuisi

Rimba Adam, Negeri Budak Iblis

Adam and Eve - by Laura Barbosa  (Foto: Abstract Representational Art Gallery)
Adam and Eve – by Laura Barbosa (Foto: Abstract Representational Art Gallery)

Puisi Muhammad Alamsyah Alam

RIMBA

Karts membentang, gagah tadah langit senja,
Tegak, menapak, kepak sayap tornado dari daratan para pendongeng

Gemulai nyiur padanya, simpan pesan di gerimis senin pagi
“pergi tuan ! Desus sanca, rupa tarantula, jari-jari benalu, murka
Membakarmu dari getah – getah pinus dan ranting – ranting cemara yang marah mendesau “

Rimba gelap berloreng tentara
Pun bersemayam arwah – arwah purba menggantung di pucuk -pucuk daun dewadaru
Ia lah sukma belantara mayapada, tafakkur di lebat jati
Berlafads doa, usir dosa karma tuan pada hutan

Di tebing kapur berkali
Diterjal air terjun
Di jenggot beringin sajen
Di bilah tuak lontar
Biar raga dikoyak malam
Di mangsa waktu di balutan embun, pulas di sarang kunang- kunang, lelap di nyanyian alam
Ikutlah padaku kawan
Balas budi meski hanya lestari

Satulah aku
Tuan di hamparan belantara
Anging lembah barat daya,merasuk jiwa
Ao …….masuk menusuk, dingin menggigil
Getar tubuh berujung di paru – paru abu

Teranglah aku bersama dekapan sang gagak
Mencumbui fajar di lereng perbukitan
Mengalun kisah di saran anoa
Bercerita tentang monyet menimang anak

Jiwa merdeka,
Damai mengenang rindu di tengah perdu rimbanya belantara

 

ADAM

Merangkai masa lalu berdebu
Jadilah intan bermutu manikam
Tuhan mengutuk jiwa jadi Adam
Membungai mimpi mendulang jingga
Larilah jika kau sanggup berlari !
Tapi aku kira tidak
Karena langkah rindumu tersimpan di ujung kukuku

 

AIR MATA KARAENG

Air mata karaeng
Kucur di lubang karang
Tasbih kerang
Gerincing
Senandung puja
Lumpuh dalam sujud yang terbuang

 

DEMI MALAM

Demi malam yang panjang
Kita rebus angsa yang perawan
Tumpahlah darah di jalan
Terhapus malam semalam
Terputar pagi kembali pada gelap
Syair –syair jiwa masih terbaca
Pada tatapan cinta yang tajam
Tertikam pada lara yang mati mengeram

Sandarlah pada pundakku
Karena semalam air mata yang tumpah
Tak mungkin lagi terpungut jadi mutiara
Beningnya air hujan tengah malam
Tak mungkin lagi jadi mega membias pelangi

Menyerahlah pada waktu
Reduplah nirmala dikoyak koyak mangsa gelapnya dusta

 

AIR HITAM

Air hitam itu, pada telaga merenung bayang, cermin langit,
Ludah sukma diayun – ayun ilusi mimpi

Air hitam itu, ditulisnya peradaban pada akar – akar teratai berpucuk,
Mendayuh terapung, terambing dicubiti siang,
malu menegur asin pada garamnya air mata awan

Air hitam itu, dilukisnya jiwa yang tenang, bisu, tetapi keruh padanya, pilu,
mengaduhlah pada ketitir yang itari lengkung dunia, bertengger pada reranting kilat badai

Air hitam itu, warna rindu, menabur cinta pada dinginnya temaram,
meredam benci yang di tepi rerumputannya bersandar seribu duka mengapit

Air hitam itu, sketsa para lelaki yang ditelanjangi kebodahan semalam,
potret bangkai tersembunyi di dasar palung terdalam, bau comberan

Air hitam itu, bentang selimut panjang bagi kelara yang meninggalkan rumpun barisan
di tengah persaingan menjilat kasih sayang mentari

Air hitam itu, dipan bagi kelaras gugur di tengah subuh

Air hitam itu, neraka galagasi terjatuh dari Jaring-jaringnya yang curam

Air hitam itu, kopi basi diteguk para pejantan dari arah negeri yang mati suri,
jadi tinja, hidangan plankton – plankton kerdil

Air hitam itu, adalah air mata air
Hitam pada air

 

NEGERI BUDAK IBLIS

Alam kelabu
Hamparan gelap menelan jiwa
Berpijak pada ruang kepalsuan

Tiang pelayaran di anjungan kapal retak
Gemuruh petir dari barat
Melukis riwayat
Kebenaran sembunyi
Tak nampak pada jalan menuai bakti

Antara dirgantara
Para praja berjaga
Suara sepatu militer tua
Di jalan bergaris darah
Tak seirama dalam perang menantang
Suara bakti kemanusiaan didustakan
Lempar jauh dari kehidupan

Pelor bahkan teluh lempar terlempar
Air mata dari mata yang buta
Adalah makna kebohongan belaka

Terlalu sempit bumi
Dihuni perempuan sundal
Lahir dari rahim ibu yang mandul
Di jalan, zina tak bisa dijinakkan
Apalagi ekstasi, perlahan bunuh generasi

Dalam birokrasi
Hukum jadi mayat
Dikafani aturan dari siapa yang berduit

Inilah negeri
Dalam sejarah
Jadi budak-budak iblis

Muhammad Alamsyah Alam lahir di Maros, 17 September 1985.. Aktif menulis puisi, cerpen dan esai. Aktif dalam kegiatan kebudayaan baik skala lokal maupun nasional. Lelaki yang akrab di safa Alam, saat ini dalam proses persiapan penyelesaian studi pasca sarjana di Universitas Negeri Makassar jurusan seni Rupa. kecintaanya terhadap seni sastra tidak membuat bakatnya dalam seni lukis terlupakan. Giat melahirkan lukisan -lukisan eksperimental yang abstrak dan natural. Separuh Karya-karrya lukisnya dapat ditemukan di galeri Benteng Fort Roterdam Makassar.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 3,245
  • slot raffi ahmad
  • slot gacor 4d
  • sbobet88
  • robopragma
  • slot gacor malam ini
  • slot thailand