NUSANTARANEWS.CO – Tim Kajian Advokasi Hukum dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa alasan Pemerintah dalam menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara (PMN) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sangat lemah.
“Kami dari Tim Kajian Advokasi Hukum dan Kebijakan Publik PP Pemuda Muhammadiyah telah melakukan kajian, dan dari aspek hukum mempertanyakan apa sebenarnya motif Pemerintah mengeluarkan PP 72 Tahun 2016 yang menurut kami lemah dan tak punya pijakan hukum yang kuat,” ungkap Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Advokasi Publik, Faisal, kepada wartawan, Jakarta, Rabu (18/01/17).
Menurut Faisal, produk hukum yang belakang menjadi sorotan tersebut dicurigai oleh sejumlah pihak sebagai pintu masuk berpotensi Pemerintah dapat menjual aset-aset negara melalui perencanaan dibentuknya holding BUMN. Apalagi dugaan itu diperkuat adanya niat tanpa melibatkan peran DPR seperti tercantum dalam PP tersebut.
“Maksudnya, Pemerintah melalui PP 72 Tahun 2016 dengan menyisipkan penambahan Pasal 2A yang secara garis besar merinci mekanisme PMN pada BUMN ke BUMN lainnya bila terjadi penggabungan beberapa BUMN ke dalam satu holding BUMN dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN, atau dapat diartikan tanpa perlu persetujuan DPR,” ujarnya.
Faisal justru mempertanyakan, bagaimana bisa PP 72 Tahun 2016 merubah dan menambah begitu saja dengan melepaskan sama sekali apa yang sedang dipertimbangkan PP 44 Tahun 2005 yang hendak melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-Undang (UU) Keuangan Negara dan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN.
Titik persoalan lemahnya PP 72 Tahun 2016, lanjut Faisal, berawal dari ambisi kebijakan Pemerintah soal rencana holding BUMN yang tidak diimbangi dengan kecermatan dalam memberikan pijakan hukum.
“Jika pemerintah saat ini mengeluarkan agenda paket reformasi hukum yang salah satu orientasinya adalah penataan peraturan, kami merasa heran mengapa PP 72 Tahun 2016 sebagai produk hukum baru yang dibuat tapi tidak taat pada prinsip-prinsip dalam pembuatan peraturan perundangan-undangan, lihat saja aturan apa yang dipertimbangkan dalam PP 44 Tahun 2005 yang diubah, mengapa ditabrak dan bahkan dilemahkan oleh PP 72 Tahun 2016,” katanya mempertanyakan.
Faisal mengatakan, bagi pihaknya, Indonesia adalah negara hukum. Jadi jangan membuat aturan hanya karena ingin mengejar ambisi, tapi menabrak konstitusi. Bahkan, terkait kebijakan holding BUMN pun menurut Faisal, hanya buang-buang waktu saja untuk membahasnya dikarenakan pijakan hukumnya yang lemah.
Faisal pun menjelaskan bahwa masalah yang paling fundamental adalah ketika PP 72 Tahun 2016 melampaui perintah Pasal 4 ayat (6) UU BUMN yang tegas disebut dalam PP 44 Tahun 2005 tegas menyebutkan bahwa PMN dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau PT yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara diatur oleh PP. Artinya, Pasal 4 ayat (6) UU BUMN tersebut ditujukan untuk PMN perihal pendirian atau penyertaan kepada BUMN. Disitu tegas para pihaknya adalah Negara kepada BUMN.
Masalahnya kemudian, lanjut Faisal, di dalam Pasal 2A PP 72 Tahun 2016 mengatur mekanisme PMN berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN. “Bukankah ini melampaui bahkan melemahkan perintah dari UU BUMN Pasal 4 ayat (6)?” katanya penuh tanya.
Dalam konteks ini, menurut Faisal, jelas sekali Pasal 4 ayat (6) UU BUMN yang tidak sama sekali memerintahkan PMN pada BUMN kepada BUMN. Anehnya, mengapa diatur demikian dalam Pasal 2A PP 72 Tahun 2016?.
“Kesimpulannya tidak tepat jika PMN dari BUMN ke BUMN (rencana holding BUMN), padahal PP 44 Tahun 2005 yang dirubah mengatur PMN dari Negara ke BUMN, jelas APBN dan dirundingkan dengan DPR. Tentu PP 72 Tahun 2016 ini aneh,” ujarnya.
Hal penting lain dari lemahnya PP 72 Tahun 2016 ialah bertentangan dengan Pasal 7 dan Pasal 24 UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Norma dalam Pasal 7 yang ditegaskan ialah mengenai kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara dan disusun dalam APBN. Kemudian dikuatkan dalam Pasal 24 secara garis besar Pemerintah dapat memberikan penyertaan modal dengan terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN.
“Untuk kesekian kalinya kami mengatakan bahwa PP 72 Tahun 2016 hadir merubah PP 44 Tahun 2005 dimana hendak melaksanakan UU Keuangan Negara dan UU BUMN Pasal 4 (6). Lantas, mengapa Pemerintah mengebiri kewenangan peran DPR di dalam Pasal 2A PP 72 Tahun 2016 PMN dari BUMN ke BUMN dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN, bukankah ini tabrak UU Keuangan Negara?” ungkap Faisal tegas.
Untuk itu, Faisal menyebutkan, PP 72 Tahun 2016 berpotensi menabrak norma yang diperintahkan UU BUMN bahkan bisa menjadi aturan yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan spirit Pasal 23 UUD 1945 yang justru belakangan PP tersebut meniadakan peran DPR dalam konteks PMN pada BUMN-BUMN tanpa melalui mekanisme APBN, jelas PP 72 Tahun 2016 produk hukum modal ambisi tapi tabrak konstitusi.
“Harusnya PP 72 Tahun 2016 lebih memperkuat mekanisme bagaimana menjalankan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN dan UU Keuangan Negara melalui persetujuan DPR, bukannya malah amputasi peran DPR. Tentu kajian ini membatasi dari aspek hadirnya sebuah peraturan dilihat dari perspektif tata urutan pembuatan UU,” ujarnya.
Oleh karena itu, Faisal pun meminta kepada Pemerintah untuk memperhatikan bahwa kekayaan dan keuangan negara merupakan bagian yang tidak dapat begitu saja dipisahkan dari mekanisme APBN yang dijamin secara konstitusional dalam Pasal 23 UUD 1945 yang penjabarannya diatur dalam UU tentang Keuangan Negara dan UU BUMN. (Deni)