NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Peneliti Bidang Kimia Pangan dari Wiratama Institute, Stessy Dwijuliandri Gultom mengatakan potensi ekonomi dari industri makanan di Indonesia mencapai angka fantastis Rp1.500 triliun/tahun. Angka itu diproyeksikan dari pertumbuhan omzet industri makanan di Indonesia hingga semester I-2017, yang mencapai angka Rp1.400 triliun.
“Peluang bisnis dalam industri makanan amatlah menjanjikan. Industri makanan di Indonesia menjadi salah satu industri yang sangat cepat berkembang, nilainya ribuan triliun rupiah per tahun,” kata Stessy seperti pers rilis yang diterima redaksi, Jumat (22/9/2017).
Stessy menerangkan, pada tahun 2014 saja, nilai produk industri makanan tersebut mencapai Rp1 triliun rupiah, dengan nilai bahan mentah mencapai Rp628,18 triliun. Industri makanan itu didominasi oleh pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebanyak 1,57 juta usaha, yang memperkerjakan sebanyak 3,77 juta pekerja.
“Penghasilan kotor dari industri ini sebesar Rp180 triliun rupiah per tahunnya. Namun jika dihitung dengan total omzet yang tercipta, mencapai ribuan triliun rupiah per tahunnya,” terang Stessy.
Banyak Faktor
Menurut Stessy, perkembangan yang amat pesat dalam industri makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya, pengenalan produk, rasa dan kemasan baru, pertumbuhan kelas menengah, bertumbuhnya toko retail modern dan meningkatnya kesadaran akan kesehatan.
Kesadaran akan kesehatan ini, lanjut dia, memegang peranan penting dalam perkembangan industri makanan. Bahkan terkadang dapat menentukan daya tahan dan daya saing UMKM, tentang usaha mana yang akan tetap berkembang dan mana yang akan gugur.
Contohnya, kata dia, para pelaku industri besar seperti Unilever, Indofood, Nestle dan lain-lain, meresponsnya dengan memproduksi makanan yang tinggi vitamin, menggunakan bahan yang lebih sehat dan menurunkan kadar gula, kolestrol dan lemak.
“Jika industri besar dapat dengan mudahnya menyesuaikan diri dengan permintaan pasar, bagaimana dengan UMKM? Kecenderungan konsumen untuk membeli produk dengan label “healthier” menjadi pedang bermata dua bagi produsen UMKM,” ungkap Stessy lagi.
Pasalnya, jelas dia, peningkatan vitamin dan mineral dalam makanan hasil UMKM tidak dapat dilakukan dengan mudah. Karena para pelaku usaha terkadang belum dapat menentukan nilai gizi dari produk tersebut.
Jaga Kualitas
Meski demikian, ada cara lain untuk tetap mengikuti tren yaitu dalam hal kualitas produk. Dikarenakan jumlah produksi yang tidak terlalu banyak setiap harinya, maka kesegaran bahan baku dan cepatnya produk sampai ke tangan konsumen untuk dimakan, dapat diperkirakan dengan tepat.
“Walaupun UMKM harus fokus dalam mengikuti tren yang sedang terjadi di masyarakat, hal terpenting dalam menjaga eksistensi dalam industri makanan adalah proses pembungkusan,” paparnya.
Sebab tujuan utama pembungkusan adalah untuk mencegah kontaminasi, kerusakan dan melindungi makanan dari keadaan sekitar yang dapat memengaruhinya, seperti cahaya, oksigen dan kelembaban, jelasnya.
Ia menambahkan, pembungkusan juga melindungi makanan dari paparan mikroorganisme dan mencegah hilangnya rasa atau vitamin. Karena itu hal yang harus diperhatikan dalam proses pembungkusan adalah higienitas.
“Teknologi sangat diperlukan dalam proses ini, seperti sterilisasi menggunakan paparan sinar UV untuk mematikan mikroorganisme. Sterilisasi juga dapat memperpanjang masa berlaku produk. Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan bagi UMKM industri makanan,” ungkap Stessy.
Selain fokus dalam mengikuti tren yang ada, katanya lagi, UMKM industri makanan juga harus mampu menjaga eksistensi dengan melibatkan teknologi dalam proses pembungkusan.
“Karena makanan yang sehat itu bukan hanya dilihat dari gizi yang terkandung di dalamnya, namun jaminan kesegaran dan sterilisasi makanan tersebut,” tutupnya. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)