NUSANTARANEWS.CO – Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek dalam sebuah acara rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Anggaran DPR pada tahun 2010 lalu pernah mengungkapkan bahwa sebuah perusahaan tambang batubara di propinsinya setiap tahun mampu menghasilkan batubara sebanyak 45 juta ton, tetapi pemasaran hasilnya hanya 5% untuk kebutuhan dalam negeri sedangkan 95% ditujukan untuk ekspor.
Sebagai catatan bahwa berdasarkan data dari Coal Statistics, Batubara menyumbangkan 26,5% sumber energi primer dan menghidupkan 41,5% pembangkit listrik di seluruh dunia.
Dalam laporan World Coal Institute, Indonesia menempati urutan ke enam sebagai produsen batubara dunia dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton. Peringkat pertama adalah China dengan jumlah produksi 2.761 juta ton, disusul Amerika Serikat 1.007 juta ton, dan India 490 juta ton, Australia 325 juta ton, Rusia 247 juta ton. Sedangkan ekspotir batubara terbesar dunia ditempati oleh Australia dengan 252 juta ton, Indonesia peringkat kedua dengan jumlah ekspor 203 juta ton. Sedangkan China sebagai produsen batubara terbesar dunia, hanya menempati peringkat ke tujuh sebagai eksportir dengan jumlah 47 juta ton.
Informasi ini memperjelas bahwa betapa minimnya pemanfaatan batubara untuk kepentingan rakyat Indonesia. Meskipun hasil batubara cukup besar setiap tahunnya namun lebih banyak ditujukan untuk pasar ekspor. Hal ini terlihat dari 246 juta ton produksi batubara, 82,52% disediakan untuk pasar ekspor sisanya baru digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Karena itu pasokan batubara untuk pembangkit listrik cukup minim. Perusahaan tambang hanya melihat di mana harga batubara yang paling menarik di situlah mereka akan memasarkan batubaranya. Berbeda dengan China sebagai produsen batubara terbesar dunia yang jumlah produksinya lebih dari 11 kali produksi batubara Indonesia mengalokasikan 98,3% batubaranya untuk kepentingan dalam negeri dan hanya 1,7% yang diekspor.
Dari perbandingan pola pemanfaatan batubara tersebut, terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara Indonesia dengan China. Hasilnya, perekonomian China jauh melejit meninggalkan Indonesia. Bahkan dalam konteks ACFTA (perdagangan bebas ASEAN dengan China) yang dimulai awal tahun yang lalu, China menjadi ancaman berat bagi perekonomian Indonesia di tengah masalah kelistrikan yang masih membelit negeri kita. Sementara setiap tahunnya Indonesia terus “membuang” salah satu sumber energinya ini ke luar negeri.
Masalah utama negara kita adalah tidak memiliki “visi” bagaimana memanfaatkan sumber daya alam batubara untuk kepentingan rakyat. Negara justru menjadi alat Kapitalisme untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan nasional tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 merupakan salah satu contoh Negara telah menjadi alat hisap Kapitalisme. Dalam PP ini, negara memberikan kesempatan luas kepada perusahaan-perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya perusahaan tambang batubara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. Dan faktanya kawasan hutan lindung di Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan barang tambang yang sangat melimpah.(as)***