NUSANTARANEWS.CO – Ketika Presiden Soekarno mencanangkan pembebasan Irian Barat, bersamaan dengan itu ada sebuah peristiwa kecil disana, tepatnya di Gunung Ersberg. Sebuah peristiwa yang kelak akan mengubah sejarah dunia dengan ditemukannya biji emas dan perak yang melimpah ruah yang terhampar diatas permukaan tanah. Presiden Soekarno mungkin tidak tahu bahwa pada saat itu Forbes Wilson nyaris gila dengan hasil penemuannya. Betapa tidak bila yang ditemukannya itu adalah ebuah Gunung Emas (GOLD MOUNTAIN), bukan Gunung Tembaga sebagaimana yang kita kenal selama ini.
Baca: Mengenang Gold Mountain Ersberg
Jadi tidak salah memang jika Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Hal inilah yang kemudian menjadi magnet bagi kaum imperialis berlomba-lomba datang ke bumi nusantara untuk menjarahnya. Tidak mengherankan bila Indonesia kemudian menjadi sumber utama bahan baku bagi kepentingan negara-negara industri maju. Bukan itu saja, bangsa Indonesia kini kembali dijadikan kuli di negeri sendiri. Diperbudak untuk kemakmuran bangsa lain hingga lupa akan nasib bangsa sendiri. Padahal Indonesia pernah menjadi negara dengan kekuatan militer yang ditakuti setelah menggelar operasi Pembebasan Irian Barat. Menjadi menjadi kekuatan militer terbesar dan terkuat di Asia Tenggara. Bahkan disegani dikawasan Asia. Oleh karena itu, sekali lagi marilah kita belajar dari sejarah. Jangan sekali-kali kita melupakan sejarah.
Baca Juga: 276 Blok Migas Dikuasai Asing=276 Pangkalan Militer Asing Di Bumi Nusantara
Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia akhirnya berhasil menyatakan kemerdekaannya. Kaum penjajah ternyata tidak rela bila bangsa Indonesia merdeka. Maka tidak mengherankan bila sejak awal kemerdekaan Indonesia terus menghadapi agresi militer Belanda yang didukung kekuatan militer Inggris. Namun berkat jiwa patriot yang terus membara akhirnya kekuatan militer Indonesia berhasil membuat militer Belanda dan Inggris frustasi. Dan operasi pembebasan Irian Barat adalah puncak dari rentetan pembebasan wilayah-wilayah yang tadinya diduduki dan dikuasai oleh Belanda secara tidak bermoral. Bahkan sampai detik ini Pemerintah Kerajaan Belanda belum mau mengakui kemerdekaan NKRI pada 17 Agustus 1945 meski mereka telah kalah dalam “Perang Irian Barat.” Nah, untuk mengenang peristiwa itu, rakyat Irian kemudian membuat sebuah lagu perjuangan:
Hee yamko rambe yamko, aronawa kombe (2x) | Teemi nokibe kubano ko bombe ko | Yuma no bungo awe ade | Teemi nokibe kubano ko bombe ko | Yuma no bungo awe ade | Hongke hongke hongke riro | Hongke jombe jombe riro | Hongke hongke hongke riro | Hongke jombe jombe riro.
Hai jalan yang dicari sayang perjanjian | Sungguh pembunuhan di dalam negeri | Sebagai bunga bangsa | Bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertaburan | Bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertumbuh di taman pahlawan.
Langkah Diplomasi dan Aksi Konfrontasi
Deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah menunjukkan secara de facto maupun de jure bahwa, bumi nusantara telah menjadi sebuah negara merdeka dengan bentangan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Namun, Belanda tidak mau mengakui hal itu dan menganggap bahwa Irian Barat adalah bagian dari kerajaannya yang dikenal dengan nama Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Jelas hal ini membuat para patriot bangsa tidak bisa tinggal diam. Oleh karena itu, untuk mengusir kaum penjajah dan merebut kembali Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejumlah persiapan pun dilakukan.
Setelah perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 gagal bahkan pada Desember 1950, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan bahwa Irian Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Indonesia mulai geram dan menolak undangan Belanda untuk menyelesaikannya ke Mahkamah Internasional.
Dalam buku otobiografi Bung Karno Sang Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno menuliskan keperihannya tentang Irian Barat. “Ya, kami menunggu (sejak perundingan KMB). Hingga keringat mengucur dari seluruh tubuh kami, kami menunggu. Sementara itu, Angkatan Bersenjata Belanda dikirim ke wilayah itu. Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanyalah selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan? Apakah seseorang tidak akan berteriak kesakitan, apabila ujung jarinya dipotong?”
Indonesia tak bisa lagi menahan diri dan mulai mengambil langkah tegas dengan mengubah hubungan Belanda-Indonesia dari united menjadi hubungan biasa, melakukan pembatalan hasil KMB pada 3 Mei 1956, dan membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota Soasiu di Tidore dan menunjuk Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur atas perintah Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1956. Sikap Soekarno ini mendapatkan dukungan rakyat Irian sepenuhnya. Bahkan, gelombang aksi anti Belanda semakin meningkat. Melihat ini, Belanda mulai mengupayakan agar Irian merdeka dan menjadi negara terpisah dari NKRI. Gayung pun bersambut langsung dengan pembekuan modal Belanda oleh Pemerintah RI.
Belanda kembali melempar jarum ke air keruh dengan memperkuat kedudukannya di Irian serta meningkatkan anggaran pertahanan. Indonesia pun kembali menjawab dengan sikap tegas dengan meningkatkan pertahanan di daerah perbatasan. Bahkan kemudian membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang meliputi seluruh unsur organisasi buruh tani, pemuda dan militer yang diketuai KSAD pada 4 Januari 1958. FNPIB memiliki struktur organisasi lengkap mulai dari pusat hingga daerah.
Selain itu, Indonesia juga Indonesia melakukan konfrontasi dalam hal kebijakan diantaranya sebagai berikut.
- Melarang pemutaran film berbahsa Belanda,
- Melarang kapal terbang milik Belanda untuk terbang dan mendarat di wilayah RI,
- Melakukan penghentian semua kegiatan konsuler Belanda di Indonesia pada 5 Desember 1958,
- Melakukan pengambilalihan modal Belanda di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No.23 tahun 1958,
- Menasionalisasi 700 perusahaan milik Belanda di Indonesia melalui UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi diantaranya a) Perusahaan Perkebunan, b) Nederlandsche Handel-Maatschappij, c) Perusahaan Listrik, d) Perusahaan Perminyakan dan e) Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM, dan
- Memindahkan pasar pelelangantembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat).
Dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1958, Soekarno mengungkapkan “Jika Belanda tetap membandel dalam persoalan Irian Barat tamatlah riwayat semua modal Belanda dan konco-konconya, imperialis tentu akan geger, marah oleh keputusan kita ini dan kegegeran mereka mereka itupun harus kita layani di dunia internasional.”
Perjuangan Merebut Irian Barat
Berbagai bentuk perjuangan di berbagai lini mulai digencarkan. Mulai dari diplomasi bilateral dengan pemerintah Belanda maupun dunia internasional. Diplomasi dengan Belanda pertama kali dilakukan pada masa Kabinet Natsir tahun 1950, namun gagal. Bahkan pada 1952 Belanda secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
Upaya diplomasi internasional pun dilakukan pada masa Kabinet Sastroamijoyo dengan membawa masalah Irian Barat ke forum PBB, tapi tidak membawa hasil. Pada masa kabinet Burhanuddin, Belanda mengajukan usul penempatan Irian Barat di bawah Uni Indonesia-Belanda yang langsung ditolak Indonesia.
Disamping membawa masalah Irian Barat ke forum PBB, Indonesia juga melakukan pendekatan dengan negara-negara Asia Afrika seperti India, Pakistan, Thailand dan juga ke Australia, Britania Raya, Jerman dan Perancis. Pendekatan ini membawa hasil yang positif, yakni 1) Dalam Konferensi Pancanegara II di Bogor lima negara peserta sepakat mendukung Indonesia dalam mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia dan 2) Dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) para peserta mengakui bahwa wilayah Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) memerintahkan SUAD 1 untuk melakukan operasi khusus yang disebut dengan Operasi Intelijen. Kolonel Magenda ditunjuk sebagai Perwira Proyek untuk menjalankan Operasi A, B, dan C.
Operasi A adalah operasi yang bertujuan mengumpulkan keterangan militer dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat Irian Barat serta membentuk kantong-kantong gerilya. Salah satu upayanya ialah memerintahkan Mayor Roejito untuk melatih satu kompi putera Irian Barat sebagai pasukan infiltrasi di Cikotok, Pelabuhan Ratu.
Operasi B adalah mempersiapkan satuan militer untuk merebut Irian Barat bekerjasama dengan Badan Kerjasama Sipil Khusus (BKSK) untuk membentuk kader putera daerah asal Irian Barat dan perbatasan yang dilatih sebagai infiltran yang akan disusupkan ke Irian Barat.
Operasi C adalah diplomasi luar negeri untuk memperkuat kedudukan RI di forum internasional yang dipimpin oleh Uyeng Suwargana dan Frans Seda dengan tugas mempengaruhi tokoh masyarakat di negri Belanda.
Indonesia sadar bahwa perjuangan tidak cukup hanya dengan mengandalkan jalur diplomasi. Oleh karena itu, Indonesia kemudian mulai membangun angkatan perang sejak tahun 1958 dengan membeli sejumlah perlengkapan militer seperti kapal perang dan pesawat terbang dari Polandia, Cekoslawakia dan Yogoslavia. Indonesia juga mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat pada 1959, namun gagal. Akhirnya, pada 1961, Jendral Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang.
Sejumlah perlengkapan senjata yang dibeli ialah sebagai berikut.
- 41 Helikopter MI-4,
- 9 Helikopter MI-6,
- 30 pesawat jet MiG-15,
- 49 pesawat buru sergap MiG-17 ,
- 10 pesawat buru sergap MiG-19,
- 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21,
- 2 kapal selam kelas Whiskey,
- Puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov,
- 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28,
- 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16,
- 12 pesawat TU-16 versi maritim (lengkap dgn rudal AS-1 Kennel),
- 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14,
- 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12 B dan 10 jenis C-130 Hercules buatan amerika.
Di awal tahun 1960-an, sejumlah peralatan tempur yang dipesan mulai berdatangan. Dan kembali dilakukan misi serupa pada Februari dan Desember 1962. Dengan demikian secara kuantitatif dan kualitatif kekuatan angkatan perang pun bertambah dan berlipat ganda. Bahkan ditopang dengan latihan militer yang terus dilakukan serta perluasan lapangan terbang di Amahai-Letfuan Lang, Kendari dan Kupang.
Belanda mulai goyah dengan keyakinan bahwa Indonesia akan berhasil mengambil kembali tanah Irian setelah melihat segala persiapan yang dilakukan Indonesia dengan angkatan bersenjatanya. Belanda kemudian membentuk Dewan Papua pada 4 April 1961. Bahkan, dalam sidang PBB 26 September 1961 Menteri Luar Negeri Luns mengusulkan kepada PBB agar rakyat Irian Barat diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dengan mendirikan Komite yang beranggotakan 80 orang dengan mayoritas “boneka” Belanda. Komite tersebut mengusulkan agar Irian segera menentukan lagu kebangsaan, bendera negara, serta mengganti nama Nieuw Guinea menjadi Papua Barat pada 1 November 1961.
Untuk menghadapi tindakan Belanda, pada awal Desember 1961, diadakan sidang Kabinet inti bersama Gabungan Kepala Staf (GKS) yang menghasilkan keputusan pemerintah Indonesia untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap Belanda. Untuk itu, Dewan Pertahanan Nasional dihidupkan kembali atas usul Jenderal A. H Nasution yang bertugas merumuskan cara mengintegrasikan seluruh potensi nasional dalam rangka pembebasan Irian Barat.
Depertan selanjutnya menggelar sidang pada 14 Desember 1961 yang menghasilkan konsep dasar Tri Komando Rakyat (Trikora) yang disampaikan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Isi Trikora ialah sebagai berikut.
- Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Kolonial Belanda,
- Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia, dan
- Bersiap-siap untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air Indonesia.
Sebagai tindak lanjut Trikora, Depertan dan Komando Tertinggi (KOTI) mnegadakan rapat yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Irian Barat gaya baru dengan ibukota Kota Baru (sekarang Jayapura) dan membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dituangkan dalam Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 pada 2 Januari 1962.
“Kami meminta Sekretaris Jenderal PBB memasukkan masalah ini (Irian Barat) dalam agenda PBB di tahun 1954, masalah itu dibicarakan. Tap tidak terjadi apa-apa. Kemudian diulangi kembali di tahun 1955, 1956, 1957… setiap tahun. Harap dijelaskan kepada pemerintah Anda, kami tidak berniat menaklukan salah satu bagian dunia yang bukan milik kami. kami bukan ekspansionis. Tidak ada jalan lain untuk membuat Old Established Forces menghargai Indonesia. tidak ada lagi diskusi. Mulai saat ini kami menjawab dengan meriam,” Ucap Presiden Soekarno pada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Christian Herter pada sidang PBB 1960.
Operasi Penyerangan
Sejak peristiwa tenggelamnya KRI Macan Tutul yang menewaskan Komodor Yos Sudarso di laut Arafuru pada 15 Januari 1962 – sebagai akibat manuver armada laut Belanda yang telah mendetekasi pergerakan armada laut Indonesia di kawasan Indonesia Timur. Sejak itu, operasi pembebasan Irian Barat semakin ditingkatkan. Mayor Jenderal Soeharto sebagai pemimpin Komando Mandala diperintahkan untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1962 di seluruh penjuru Irian Barat. Mayjen Soeharto kemudian bergerak cepat secara simultan menggelar operasi militer untuk mengintegrasikan kembali Irian Barat ke pangkuan Indonesia dengan Operasi Jaya Wijaya. Memasuki awal tahun 1963 dimulai serangan terbuka guna menguasai pos-pos musuh.
Bahkan kemudian dilakukan infiltrasi dengan operasi pendaratan di Irian Barat baik melalui laut maupun penerjunan udara yang dikenal dengan Operasi Banteng dengan sasaran wilayah Fak-fak dan Kaimana, Operasi Serigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga di daerah Merauke, dan Operasi Jatayu diarahkan ke daerah Sorong, Kalimantan, dan Merauke. Operasi infiltrasi para gerilyawan Trikora di antaranya diambil dari kalangan mahasiswa yang merupakan sukarelawan yang dibentuk untuk mendukung pembebasan Irian Barat.
Operasi Jaya Wijaya yang merupakan operasi gabungan terbesar yang pernah direncanakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan melibatkan 70.000 ribu personil, sayang kemudian dibatalkan. Padahal persiapan sudah dilakukan ABRI dengan pemusatan armada di Teluk Peleng, Kepulauan Banggai. Persiapan serangan besar-besaran tersebut ternyata telah meyakinkan Amerika bahwa Indonesia benar-benar telah siap untuk perang. Amerika yakin bahwa Belanda tidak akan mampu menghadapi serangan itu. Oleh karena itu, Amerika segera mendesak Belanda untuk menerima syarat yang diajukan oleh Indonesia untuk penyelesaian secara diplomasi.
Akhirnya pada 15 Agustus 1962 di Markas PBB, Indonesia dan Belanda menandatangani Persetujuan New York. Tiga hari kemudian pada 18 Agustus 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak. Dengan demikian berakhirlah konfrontasi dengan Belanda dalam masalah Irian Barat. Penghentian konfrontasi, menunjukkan bahwa kekuatan militer mempunyai nilai strategis dan politis yang sangat tinggi dalam pembebasan
Kembali Ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Pada 15 Agustus 1962 dilakukan penandatanganan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dengan Amerika sebagai penengah yang menyatakan bahwa Belanda menyerahkan Irian Barat secara damai. Dalam perjanjian perdamaian itu ditetapkan bahwa mulai 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan kekuasaan Irian Barat kepada pemerintahan PBB melalui United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA) dan masalah militer diserahkan kepada United Nations Security Forces (UNSF).
Pemerintahan peralihan PBB berlangsung sampai dengan 1 Mei 1963. Selanjutnya pemerintahan atas Irian Barat sepenuhnya diserahkan kepada Indonesia. untuk melanjutkan pembinaan pemerintahan oleh pemerintahan oleh Pemerintah diangkat E.J Bonay sebagai Gubernur Provinsi Irian Barat. Irian Barat kemudian resmi menjadi provinsi ke-26 dengan ibukota Kota Baru.(AS/Nusantara)