Pelacur Negeri (Bagian 8: III) – Novelet Yan Zavin Aundjand

Lukisan Ratu Theodora karya Jean Joseph Benjamin Constant/Foto: dok. Istimewa

Lukisan Ratu Theodora karya Jean Joseph Benjamin Constant/Foto: dok. Istimewa

NUSANTARANEWS.CO – Masih di alam yang sama.

“Cepatlah pulang. Mereka sedang menunggumu,” kata orang tua itu menyuruhku pergi secepatnya. “Jika kau tak pergi hari ini sebelum matahari terbit, maka kau selama akan di sini.”

“Bagaimana denganmu, Orang Tua?”

“Aku akan tiada. Aku akan bersembunyi di hatimu. Cepatlah pergi, tempat ini tidak aman untukmu.”

Aku berjalan secepat mungkin. Jalan kulewati meski tak tahu ke mana arahnya, aku ikuti saja jalan yang ada belokan ke kanan. Aku sendiri. Orang tua itu sudah pergi.

Di sebuah jalan, ada banyak perkampungan. Aku pikir di sana aku menemukan jalan menuju pulang. Setelah sampai, aku lihat begitu banyak orang, ramai sekali. Mungkin ada sesuatu yang tidak beres. Pembantaian. Orang-orang berlari berkeliaran di mana-mana. Ada tangis mengiringi. Ada jerit menghantui. Aku sendiri tidak berani memasuki area perkampungan itu lebih dekat. Aku berhenti melangkah. Kulihat jalan demi jalan—rumah-rumah yang berjejer di area perkampungan itu, seperti kampungku, seperti aku pernah hidup di perkampungan itu. Tapi aku tidak yakin bahwa itu adalah kampung halamanku.

Pembantaian. Iya, aku orang yang saat itu menatap kejadian sadis itu. Oh, tidak. Kampung itu adalah kampungku. Ada masalah apa di kampung ini sampai orang-orang banyak dibantai? Aku takut sekali. Aku berdiri di atas trotoar di belakang tiang lampu. Fajar mulai membaca pagi. Sebentar lagi matahri akan terbit.

“Kenapa aku mesti takut?” Tanyaku pada kesendirianku.

Aku seorang lelaki, kata ayahku dulu. Seorang lelaki harus berani mati. Tapi dengan cara apa, sementara orang-orang pada lari dibantai oleh orang yang aku sendiri tidak tahu. Mereka yang membantainya sangat banyak. Bagaimana aku bisa tidak takut. Apa aku harus melawan dan menolong mereka yang dibantai, seperti hanya mengantarkan nyawa saja kepada mereka. Mereka tetanggaku.

Tiang listrik itu semakin kupeluk erat, karena aku benar-benar ketakutan. Air mataku tumpah menghirup bau anyir darah berceceran di tanah. Keadaan terus ribut dan semakin ribut saat matahari mulai menampakkan mereka pada kejelasan musuh. Tidak ada perlawanan dari orang-orang yang dibantai.

Jerit tangis bercampur tawa pembantai. Takut berhamburan di mana-mana. Macan dan anjing mengejarnya, sampai mereka pun tertangkap lalu diminum darahnya. Tak ada kesaksian suci pada darah yang mereka tebas. Tak ada keabadian yang menyatu dengan keangkuhan dan kegagahan, semuanya akan kembali kepada diri-Nya masing-masing.

Aku sadar dengan mata kepala telanjang, aku memandangi sebagian orang-orang yang membantai. Mereka orang kampung itu juga, ada juga sesama saudaranya sendiri di bantai. Tetangga dan sesama saudara saling bantai. Apa yang mereka perebutkan? Persoalan apa yang membuat mereka membantai sesamanya.

Ah, pikirku mencoba berdiskusi dengan dirinya sendiri. Iya, Negara ini tidak pernah selesai dengan persoalan-persoalan masyarakatnya sendiri, ribut antar suku bangsanya sendiri, saling membenarkan dan menyalahkan, sok lebih membela tanah air, harkat dan martabat dijunjung tinggi. Bendera merah putih tetap melambai di tiang yang tegak, menertawakan mereka-mereka yang bertengkar. Padahal, nasip kita sama. Negara kita sama, Negara persatuan. Tuhan kita sama. Udara yang kita hirup sama. Nyawa kita pun juga sama, satu. Lalu apa yang mereka rebut; keangkuhan? Kemenangan? Kemerdekaankah?

Keangkuhan, orang Indonesia tidak pernah berani melawan orang asing yang terus mengambil kekayaan di tanah air tercinta ini, mereka hanya berani dengan orang-orang kita sendiri. Membunuh, membantai orang-orang suku bangsanya sendiri. Di mana keberanian?

Kemenangan, hanya memerangi saudaranya sendiri sehingga menganggap semua itu adalah kemenangan. Membunuh dan membantai saudaranya sendiri itu adalah kemenangan? Sudah bisa dikatakan membela negeri? Membela tanah air? Tidak, membela tanah air adalah memukul mundur penjajah asing yang mencoba menguasai perekonomian, kebudayaan, ilmu pengetahuan, politik di tanah air kita tercinta ini. Kita bangga pada nenek moyang yang sudah berjuang mati-matian membela tanah air ini. Harus bersatu, perkokoh barisan demi melawan orang asing yang bermacam-macam di Negara ini.

Kemerdekaan, membunuh dan membantai saudaranya sendiri itu adalah keserakahan, kesombongan, dan kekejian. Mereka adalah orang yang tidak merdeka, jiwa-jiwanya dibelenggu oleh kekuasaan dan keserakahan, padahal jiwa itu hanya milik Tuhan jika percaya adanya Tuhan. Jiwa itu hanya milik kita sendiri. Kita tidak pantas dan tidak ada hak merampas jiwa-jiwa yang kita bantai itu. Di mana kemerdekaan?

Konon, kampung ini sampai harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari  orang asing, pemilik modal dari luar negeri, para penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat kampung itu menjadi korban kasus penebangan tersebut oleh pihak asing. Kini harus saling membantai.

Aku masih di balik tiang listrik itu. Bulu roma merinding dan takut. Orang-orang terus main kejar-kejaran berkeliaran di jalan-jalan. Pembantaian tanpa henti. Oh, aku tidak tahu kalau aku sampai menjadi korban bersama mereka, aku tidak mungkin akan hidup lagi.

Melihat pembantaian itu, sama halnya aku merasa tidak hidup. Ada banyak ribuan nyawa melayang, mungkin kalau ada orang yang sampai bisa menghitungnya, bisa mencapai angka ratusan nyawa tak berdosa melayang sia-sia. Banyak kunang-kunang bermain-main di atas daun-daun di pagar di tempat aku bersembunyi dan mengintip mereka. Aku berdoa, berharap ada orang datang menolongku, dan aku bisa pergi dari tempat ini. Kampung halamanku sudah tidak aman.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 8: II) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa(Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email:redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version