NUSANTARANEWS.CO – Herlina, mungkin hatiku akan selalu selingkuh, karena porsi cintaku selalu lebih besar untukmu. Kau adalah cinta yang tumbuh semakin mengakar di hati untukku saat ini, karena keadaan yang membuatku terhimpit. Tapi aku sudah pasrah, meski diri ini tidak bisa berbuat apa-apa—kau selalu menjadi bayang-bayangku di sini. Seperti sudah melewati satu dekade yang cukup lama, tapi selalu seperti baru kemarin saja kurasakan. (Cetak Miring)
Herlina, maafkan aku. Aku masih terus menyimpan rasa cinta ini untukmu; berharap kembali padamu seutuhnya, sampai tiada lagi pembatas itu antara kita. (Cetak Miring)
Iya, aku seperti menulis sebuah cerita hidup di sini, semacam penggalan pengalaman pribadi. Tak ada titik di ujung kalimat; terus menerus mengalir. Deras. Tak melambat. Bagai air yang terjun bebas tanpa henti. Jauh. Terus menjauh. Tak mendekat. Bagai burung yang bermigrasi ke benua lain, terbang jauh ke sana seperti tak ingin kembali.
Begitu pun cerita hidupku ini, terus berjalan melalui hari, melewati rel-rel yang telah berkarat. Namun, khianat juga bersanding dengannya. Menulis cerita hidup seperti menulis cerita berulang, tapi tidak di tempat yang sama, tidak dengan obyek yang sama. Menulis cerita hidup seperti hitungan matematika yang paling rumit, menguraikan rumus hidup yang paling tepat, tapi tidak pernah dapat ponten dari angka-angka yang maksimal, atau sekedar diinginkan. Menulis cerita hidup sangat sulit, sampai aku tak tahu kapan berhenti, tapi sekarang aku putuskan untuk berhenti. Mungkinkah cerita hidupku harus berhenti dan mati? Oh, tidak. Aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Hari demi hari kulewati, pelan tapi pasti, meski kadang harus kusingkirkan barang-barang di dedekatku atau bahkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku—aku biarkan begitu saja sementara waktu, sampai waktu itu sendiri mengantarkan aku kembali.
Hari ini aku merasakan menuju satu puncak tangga yang baru, seperti aku membuka lembaran baru. Aku merasakan tiba-tiba Tuhan menjatahkan umurku dan mengembalikan aku ke dunia baru. Daun-daun di halaman gugur satu-satu di sampingku. Katanya, “semua ini karena izin yang Maha Kuasa. Kau akhirnya akan menjadi daun-daun ini juga, gugur karena kering atau tertiup angin.”
Di dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan salah seorang, dia orang tua berbaju putih yang tiba-tiba mendekatiku. Dia meraba dahi, lalu ke atas ke rambutku. “Itu adalah sifatmu di dunia,” orang tua itu seperti memahami keadaanku. Aku menganggap dia sebagai peramal yang baru saja menemukan obyek tentangku. Orang itu hanya kebetulan saja bertemu denganku. Aku juga tidak menginginkan aku diramal. Meramal itu dosa kata orang tuaku dulu. Semua orang mengetahui dirinya sendiri, karena ia sendiri yang merasakannya, dan Tuhan mengetahui segala rahasianya.
“Kau tak boleh takut dengan dirimu sendiri,” ucapnya lagi.
“Aku tidak pernah merasakan takut pada siapa pun,” sanggahku membela diri. Orang tua itu sok tahu rahasia pribadiku.
“Tidak. Kau masih takut dengan dirimu sendiri. Sinar matamu tidak pernah berbohong.”
Hatiku khawatir.
Darah di tubuhku mengalir dingin aku rasakan.
“Coba kau tanyakan pada hatimu sendiri, apa yang telah kau lakukan yang membuatmu takut pada dirimu sendiri,” tambahnya lagi, seperti kata-kata orang bijak. Tapi aku lebih yakin dia peramal.
“Duniamu lebih besar dari dirimu. Kau tak bisa taklukkan duniamu sendiri.”
Kata-kata orang tua itu semakin membuatku tak mengerti. Aku seperti tidak bisa berbuat apa-apa di tempat itu, sedang orang tua itu terlalu lincah memainkan pandangan matanya ke mana-mana—menelanjangi seluruhku. Kadang aku merasakan benci, kadang merasa takut melihat orang tua itu.
“Kamu siapa?” Tanyaku kemudian.
“Aku bagian dari hidupmu,” ucapnya. Ucapan yang sangat misterius bagiku. Aku heran dan semakin khawatir mendengarnya.
“Kamu jangan main-main denganku?”
“Pandanglah aku, maka kau akan temukan dirimu!”
“Kamu tidak terlihat seperti diriku?”
“Lihatlah jauh lebih dalam.”
“Ah, kamu terlalu bermain-main. Bahasamu sulit kumengerti.”
“Buanglah rasa takutmu itu, maka kau akan temukan dirimu sendiri. Tanyakan itu di hatimu,” katanya lagi.
Kucoba mengoreksi diri, apa mungkin ada yang salah pada diriku. Kuingat-ingat masa lalu. Kuingat-ingat kejadian-kejadian dalam keseharianku. Tapi tak kutemukan satu pun yang membuatku marasa takut. Aku tidak pernah punya persoalan apa-apa.
“Kamu siapa, Orang Tua?” Tanyaku lagi. Aku mulai takut padanya. “Kenapa aku merasakan takut? Apa kamu mengenalku?” Ucapku kemudian.
“Aku adalah dirimu. Bayangan dari hatimu. Aku selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi ke suatu tempat. Kau lupa akan hal-hal yang telah kau lakukan. Kau telah lupa akan jalan pulang ke rumahmu sendiri. Aku hanya bayangmu yang tak bisa menuntunmu pulang. Kapan kau akan pergi, akulah dirimu. Sadarlah. Ingatlah masa-masa kamu berjalan. Ingatlah masa-masa kamu tertawa dengan teman-temanmu, dengan kekasihmu, dengan anakmu, orang tuamu.”
Aku terdiam.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa yang telah terjadi pada diriku? Iya, setiap kali aku singgah di sebuah tempat, aku seperti tidak pernah mengenali tempat itu. Tak pernah ada sahabat-sahabatku di sana. Aku tidak pernah bertemu dengan siapa pun yang sudah aku kenal, bahkan dengan orang tuaku, istriku, dan anakku. Iya, aku mulai ingat satu-satu di antara mereka.
“Kenapa baru sekarang kau menampakkan dirimu padaku, Orang Tua?”
“Aku ingin segera kembali ke duniamu yang lebih nyata. Aku lelah mengikutimu.”
“Apa kehidupan yang kita tempati ini tidak nyata?”
“Tidak. Kau berada di dunia yang menyembunyikanmu dari perbuatanmu sendiri.”
“Di mana duniaku yang lebih nyata?”
“Di hatimu.”
“Hatiku?”
“Iya. Hatimu. Kembalilah kepada hatimu. Buanglah jalan hitam yang menyelimuti hatimu.”
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan? Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan? Masihkah aku diberi kesempatan menelusuri jalan petang menuju hatiku?
Tetes air mataku adalah tanda kelemahanku. Benar kata orang tua itu, aku benar-benar takut pada diriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mulai merasakan kesedihan di hati kecilku. Aku ingin kembali, dunia ini terlalu memberikan ruang untukku terlalu sempit. Aku seperti orang terserang penyakit jiwa yang dikurung jauh dari tetangga dan keluarga. Pohon-pohon, jalan-jalan, rumah-rumah, orang-orang yang bertemu denganku hanya sebatas khayalan dari diriku sendiri.
Aku mulai muak dengan diriku sendiri. Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku.
Ada bayang di malam hari yang tak pernah pergi. Ada nama yang selalu mendiami—seutas wajah yang menerangi. Pada hati, bangkitkan semangat diri untuk lalui hari-hari, meski kutahu bagiku takkan mungkin lagi ada bayang-bayang yang menghantui. Kubiarkan sesuatu mendiami seluruh taman asa di antara kuntum bunga mawar yang pernah ada di antara harapan sebelum bernyanyi dan berlabuh di tempat yang asing ini. Merekah; indah di antara harapan dan nyata. Ada keyakinan kemudian yang tak terbeli oleh ribuan hari-hari penantian hati. Susuri hidup walau tertatih seorang diri, mendiami sudut paling sunyi.
(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 8: I) – Novelet Yan Zavin Aundjand)
*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa(Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.
_____________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email:redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.