Para Pembeli Kepala

Priyaris Munandar (Aris) "Mencari Mercusuar", Acrylic on canvas, 145 x 220 cm, 2010. Foto: Dok Jago Tarung Yogyakarta (blog).

Priyaris Munandar (Aris) "Mencari Mercusuar", Acrylic on canvas, 145 x 220 cm, 2010. Foto: Dok Jago Tarung Yogyakarta (blog).

Cerpen : Dee Hwang

“Belilah dengan harga itu, atau kau akan menyesal, Tuan!”

Seorang penjual berpujuk empenak kepada seorang pembeli yang berbadan tegap. Kalimat persuasifnya mantap benar. Pikirnya, ini terbukti dari lelaki itu yang memperhatikan brosur dagangan dengan seksama. Padahal, lelaki itu hanya menimbang-nimbang, apakah harga yang ditawarkan untuk kepala berkualitas dalam negeri itu patut lebih tinggi nilainya ketimbang dari luar negeri.

“Ini masih mahal. Turunkan lagi.”

“Oh. Tidak. Sudah pas. Lihat. Bentuk kepala ini elok sekali. Kalau di luar negeri, justru ini yang sedang jadi selera-seleranya.”

“Yang lain?

“Tidak ada yang lebih lonjong daripada ini, Tuan. Lagipula, bila Tuan jadi membeli kepala ini, untuk mengganti, maaf, kepala gempal Tuan yang sekarang yang, tentu saja tak masuk di cocok untuk badan berotot segegap Tuan, Tuan akan lebih berwibawa.”

“Tunggulah sejenak. Biar aku melihat-lihat yang lain.”

“Oh, Tentu. Ambillah waktumu, dan datang kepada saya kalau sudah memutuskan.”

Lelaki berbadan tegap, yang sudah kehilangan sebuah telinga dan sebuah mata pada kepalanya akibat kecelakaan sebulan lalu, mulai menyisir rak-rak tembus pandang. Di sana, ada puluhan kepala  yang dipamerkan.

Seseorang dari sebelah kanan rak tembus pandang, yang panjang rambutnya sudah melebihi tinggi pantatnya sendiri, berjalan dengan pongah.

“Aku ingin kepala yang mirip ini.” Tunjuknya pada sebuah gambar ukuran poskar. Robekan halaman bacaan. Baru saja ia temukan di rumah setelah membaca sebuah majalah.

Penjual itu menepuk kepalanya—kepala yang sudah menempel puluhan tahun lamanya dan tak pernah ia ganti karena inilah kepala yang paling cocok untuk tukang hitung dan rayu-rayu, berkata,”Kami sudah kehabisan yang seperti itu, Nona. Sayang sekali!”

Sebagai ganti atas raut wajah pelanggannya yang mulai turun, ia menunjukkan sebuah brosur sebagaimana ia menunjukkan kepada pembeli berbadan tegap tadi, ”Pilihlah di antara ini. Kalau minat, bisa saya pesankan. Esok akan sampai kepala baru untuk anda. Gratis ongkos kirim!”

Perempuan itu makin merengut, ”Aku tidak mau kepala seorang politisi. Aku mau kepala dengan isi kecerdikan saja. Yang bisa membuatku nampak pintar sekaligus bodoh dalam sekali waktu. Adakah? Eh, tunggu, berapa harga kepala perempuan di sini?”

“Harga untuk kepala perempuan di sini lebih murah dibandingkan di tempat lain. Anda tak akan menyesal. Sebentar-sebentar!” Penjual itu bersemangat sekali. Ia ganti brosur kepala dengan deretan brosur kepala perempuan yang penuh potongan harga.

Perempuan pongah yang menawan itu senang, “Astaga. Aku bisa beli dua.”

“Wah, meski saya akan senang, tetapi baiknya jangan, Nona. Belilah satu saja. Akan aneh bila perawakan badan seperti nona punya dua kepala.”

Mereka berdua tertawa.

“Begini saja,” Penjual itu membalik brosur tersebut,”Anda bisa pilih wajah juga di sini.”

“Loh, setahu saya kepala yang tidak bisa lepas dari isinya, tak bisa lepas pula dari  wajahnya.”

“Ini sudah canggih, Nona. Toko kami adalah yang terbaik di kota. Kau bisa pilih sesuka wajah. Kepala yang saya jual di sini, bagian luarnya bisa dibongkar pasang, meski untuk itu, tentu ada biaya tambahan pula.”

“Baik. Baik. Biarkan saya menghubungi kekasih saya dahulu. Saya ingin tahu ia senang wajah yang mana.” Perempuan muda itu menghubungi beberapa orang melalui telepon genggamnya. Butuh waktu untuk menghubungi para kekasihnya, ia keluar sejenak untuk menghindari suara-suara lain.

Penjual kepala memanggil istrinya. Ia meminta bantuan untuk turut melayani pelanggan yang lain. Ia kewalahan. Hari libur ditambah banyaknya barang yang baru masuk hari ini membuat toko mereka disesaki pembeli.

“Mana anak-anak?” Tanyanya. Istrinya yang berwajah aduh, sebagai contoh bahwa ia juga menggunakan produk baru dari tokonya sendiri, yang siapa paham dapat pula menarik perhatian pembelinya untuk menilai-nilai, dengan enteng menunjuk ke arah dalam. Anak-anak mereka yang berkepala lebih besar daripada badan mereka sendiri, ada di sana.

“Lagi nonton televisi, mereka.” Jelasnya. Senyum muncul sebelum ia menjawab pertanyaan dari seorang pelanggan.

******

Seorang perempuan berusia belasan berjalan masuk ke dalam toko kepala. Ia mengikuti seorang perempuan yang berjalan mundur—karena setiap kali ia mengeluarkan suara, ia akan membalikkan badannya seluruh. “Tidak sulit menemukan petak jualan ini,” Kata perempuan yang berjalan mundur itu, “Inilah toko paling bagus di kota. Meski kecil, penjualnya tak membosankan, dan barang yang masuk ke toko ini selalu menarik perhatian. Sedari muda, aku juga beli kepala di toko ini. Sehingga, sampai sematang ini pun, aku mempertahankan pemenuhan kebutuhan yang paling penting dari sini.”

Ketika mereka berdua masuk ke toko itu, seorang perempuan menerima mereka dengan ramah sementara yang lelaki—suaminya yang penjual kepala itu—hanya melambai dari jauh. Akhirnya, perempuan yang berjalan mundur dan perempuan yang bersikap terbuka tadi mulai bercakap-cakap.

“Aku ingin ganti kepala anak perempuan ini. Kau punya barang baru, kan?”

“Mau yang seperti apa nih, Madam?”

“Seperti biasa saja. Barang baru ini, soalnya.”

“Wah. Itu ada. Selalu bahkan. Kami selalu restock karena banyak pula yang memesan.”

Perempuan yang berjalan mundur, yang dandanannya lebih menor ketimbang tiga buah manekin di toko itu, tertawa cantik sambil menjauhkan badan dari perempuan yang berusia belasan dan terus mengekor di buntutnya. Ia berbisik, ”Aduh. Boleh. Tapi pastikan ia mendapatkan wajah yang tidak cacat.”

“Butuh yang cantik, Madam?”

“Alami. Aku butuh wajah yang lugu. Yang segar. Jangan lebih cantik dari aku.”

“Baiklah, Madam. Tentu saja.” Perempuan istri penjual kepala tadi tersenyum.

“Eh, Jeng! Jangan lupa.”

“Iya, Madam?”

“Yang isi kepalanya kosong. Jadi aku, atau pelangganku gak susah ngurus barang ini.” Tawa perempuan yang berjalan mundur tadi makin nakal.

Seorang lelaki masuk ke dalam toko dengan kepala yang ditinggikan. Makin tinggi, makin susahlah ia melihat telapak kakinya sendiri. Namun ia tak peduli itu. Karena, orang-oranglah yang memperhatikan telapak kakinya bukan dia.

Melihat itu dan tanpa harus menyerobot posisi, seorang pembeli yang sedang berbincang dengan lelaki pemilik toko perihal kebutuhannya tentang kepala dengan mata yang tajam dan dapat menembus segala, mengalah. Ia menjauh, memberikan ruang percakapan antara lelaki kepala tinggi dengan lelaki pemilik toko.

“Aku ingin kepala yang isinya bisa memerintah orang—semua orang!” Selorohnya kemudian.

Lelaki penjual kepala menunduk-nunduk sambil tersenyum. Tidak bisa tidak. Orang ini orang paling kaya di kota. Ia bertanya, “Wah. Tuanku ada rencana apakah yang Tuanku mau buat? Mau buat partai lagi?”

“Bukan. Aku ingin menambah pengikut baru. Orang-orang yang pandai harus masuk dalam agamaku. Payah aku memerintah orang bodoh. Tak maju-maju!”

“Ah. Saya punya yang istimewa, Tuan!” Penjual lelaki masuk ke dalam rumah lalu keluar dengan kardus yang masih mulus lipatannya.

“Ini! Produksi terbaru dan terbatas. Hanya ada sepuluh di negeri ini. Tuan tertarik? Namun, ada barang ada harga, Tuan.” Bisiknya sambil menyodorkan kepala paling licik dari daftar jualannya.

Lelaki kaya itu melongok ke dalam kardus ketika benda itu dibukakan,”Tak masalah, namun, aduh! Apa ini? Kepalanya seperti milik perempuan!”

“Tuanku pasti bercanda. Harga kepala perempuan tak pernah melebihi harga kepala lelaki di toko saya. Lagipula, untuk Tuan yang perkasa, manalah mungkin saya memberikan barang sembarang. Hehehe, belilah, Tuan! Sebelum seorang petinggi ambil langkah duluan.” Ujar penjual itu dengan senyum ramah.

Lelaki itu akhirnya menjawab usai menimbang-nimbang rupa—yang dinyatakannya sebagai kepala perempuan karena terlampau tembam, “Baiklah! Biar ajudanku yang urus semua. Aku sudah terlambat untuk sebuah pertemuan dan aku ingin barang ini sudah sampai di rumahku nanti malam.”

Lelaki berkepala tinggi itu melangkah keluar. Namun sebentar, ia memberikan senyum ke arah perempuan muda berusia belasan dan perempuan yang berjalan mundur, yang menarik perhatiannya dari awal masuk ruang. Perempuan berusia belasan merasa asing, ia langsung mendekatkan diri pada induk semangnya. Perempuan yang berjalan mundur dan berjanji untuk memberikannya kehidupan yang layak di kota, sedang memasang wajah risih karena istri penjual kepala digentoli anaknya yang paling bungsu; ia merengek minta uang.

Lelaki berkepala tinggi keluar dari toko dengan langkah yang gaya. Seorang lelaki berbadan besar membukakan pintu mobil setelah melemparkan kertas bekas transaksi yang diberikan penjual kepala, usai ia mengurusi barang belanjaan milik tuannya. Ia tak peduli, meski sampah itu jatuh di hadapan seorang perempuan pengemis, yang duduk bertekuk lutut di depan toko penjual kepala.

Perempuan itu tak punya kepala. Ia tak punya uang untuk membeli satu buah pun kepala. Akhirnya, ia hanya menyodorkan sebuah baskom besar, sambil menunggu waktu datangnya kepala gratis. Perempuan itu tak punya kepala. Satu-satunya yang ia punya hanya sebuah hati seukuran bantal untuk kepala. Sayang, hati itu tak dapat ditukarkan dengan kepala yang baru. Tak ada yang suka dengan hati di kota ini. Itulah mengapa, toko yang dulu menjadi saingan dari toko kepala, yaitu toko yang menjual hati aneka ukuran yang berlomba-lomba dengan warna putih, sudah bangkrut puluhan tahun yang lalu.

*****

Dee Hwang/Foto nusantaranews

Baca: Cerpen-Cerpen karya Dee Hwang yang lain.

*Dee Hwang, Kelahiran 9 September 1991. Lulusan FKIP Bbiologi Universitas Sriwijaya. Terakhir ini ia aktif menekuni dunia musik sebagai Violinist di SAMS Jogjakarta.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

 

Exit mobile version